Liputan6.com, Jakarta - Kapasitas kita sebagai manusia untuk peduli pada orang lain mungkin memiliki asal usul yang sangat mendalam kuno, demikian menurut sebuah studi baru.
Hal itu mungkin berakar dalam pada hewan prasejarah yang hidup jutaan tahun lalu, sebelum ikan dan mamalia seperti kita menyimpang di pohon kehidupan, menurut para peneliti yang menerbitkan studi mereka pada Kamis, 23 Maret 2023 di journal Science.
Advertisement
"Beberapa mekanisme yang mendasari kemampuan kita untuk mengalami ketakutan, atau jatuh cinta, jelas merupakan jalur yang sangat kuno," kata Hans Hofmann, ahli saraf evolusioner di University of Texas di Austin, yang tidak terlibat dalam penelitian.
Ilmuwan biasanya enggan mengaitkan perasaan manusiawi dengan binatang. Namun, secara umum diterima bahwa banyak hewan memiliki suasana hati, termasuk ikan.
Studi baru menunjukkan bahwa ikan dapat mendeteksi rasa takut pada ikan lain, dan kemudian turut merasakan takut juga, dilansir dari NBC News, Selasa (28/3/2023). Kemampuan itu diatur oleh oksitosin, zat kimia otak yang sama yang mendasari kapasitas empati pada manusia.
Para peneliti mendemonstrasikannya dengan menghapus gen yang terkait dengan produksi dan penyerapan oksitosin di otak ikan zebra, ikan tropis kecil yang sering digunakan untuk penelitian. Ikan-ikan itu pada dasarnya antisosial, mereka gagal mendeteksi atau mengubah perilakunya ketika ikan lain sedang cemas.
Namun, ketika beberapa ikan mendapatkan suntikan oksitosin, kemampuan mereka untuk merasakan dan mencerminkan perasaan ikan lain dipulihkan, yang oleh para ilmuwan disebut "penularan emosional".
"Mereka menanggapi ikan lain yang ketakutan. Dalam hal itu, mereka berperilaku seperti kita," kata Ibukun Akinrinade, ahli saraf University of Calgary dan juga salah satu penulis studi tersebut.
Oksitosin Berperan Penting
Studi tersebut juga menunjukkan bahwa ikan zebra akan lebih memperhatikan ikan yang sebelumnya stres, perilaku yang disamakan oleh para peneliti untuk menghibur mereka.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan bahwa oksitosin memainkan peran serupa dalam menularkan rasa takut pada tikus.
Penelitian baru menggambarkan "peran leluhur" oksitosin dalam mentransmisikan emosi, kata Rui Oliveira, ahli biologi perilaku di Institut Sains Gulbenkian Portugal dan rekan penulis studi.
Menurut Hofmann, pemrosesan otak itu "mungkin sudah ada sekitar 450 juta tahun yang lalu, ketika Anda dan saya serta ikan kecil ini terakhir kali memiliki nenek moyang yang sama."
Oksitosin kadang-kadang dianggap sebagai love hormone atau hormon cinta, tetapi Hofmann mengatakan itu sebenarnya lebih seperti "termostat yang menentukan apa yang menonjol secara sosial dalam situasi tertentu, mengaktifkan sirkuit saraf yang dapat membuat Anda lari dari bahaya, atau terlibat dalam perilaku pacaran."
Itu bisa menjadi dasar bagi kelangsungan hidup banyak hewan, terutama mereka yang hidup berkelompok, kata ahli ekologi Universitas Stony Brook Carl Safina, yang tidak terlibat dalam penelitian.
"Bentuk paling dasar dari empati adalah ketakutan yang menular, itu adalah hal yang sangat berharga untuk tetap hidup, jika ada anggota kelompok Anda yang melihat pemangsa atau bahaya lainnya."
Advertisement
Mengenal Lebih Dalam Oksitosin
Oksitosin, kerap disebut sebagai hormon cinta.
Oksitosin dapat menciptakan ikatan sosial dan menghasilkan perasaan menyenangkan yang terkait dengan seni, olahraga, dan seks.
Para peneliti dalam sebuah studi pada 2012 menemukan bahwa setiap orang yang memiliki pasangan memiliki tingkat oksitosin yang jauh lebih tinggi daripada teman-teman mereka yang tidak memiliki pasangan. Khususnya pada pasangan yang baru menjalin hubungan.
Namun, oksitosin lebih dari sekadar cinta. Oksitosin juga dilepaskan selama aktivitas seksual dan terikat dengan intensitas orgasme.
Mengutip dari Healthline, seseorang dengan oksitosin yang tinggi khususnya dalam hubungan mempengaruhi peningkatan hubungan itu sendiri. Hal tersebut karena oksitosin menimbulkan adanya kepercayaan, empati, kesetiaan, komunikasi, dan adanya ikatan yang erat.
Oksitosin juga merupakan hormon yang bertindak sebagai neurotransmitter yang memainkan peran penting dalam reproduksi.
Penelitian pada 2010 juga menunjukkan bahwa oksitosin intranasal dapat membantu orang dengan autisme lebih memahami dan menanggapi isyarat sosial.
Pijat Oksitosin Bisa Lancarkan Menyusui
Bicara soal oksitosin, pijat oksitosin juga ternyata bisa melancarkan menyusui. Beberapa orang menganggap bahwa menyusui merupakan tanggung jawab ibu seorang. Padahal, bapak sekaligus suami juga memiliki peranan penting dalam hal kelancaran proses menyusui.
Menurut Ketua Satuan Tugas (Satgas) ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Naomi Esthernita F Dewanto, salah satu upaya yang bisa dilakukan suami agar istri lancar menyusui adalah dengan melakukan pijat oksitosin.
Pijat oksitosin dapat dilakukan dengan memijat area tulang belakang yang dapat membantu ibu menjadi lebih rileks, sehingga dapat melancarkan produksi ASI.
Jenis pijatan satu ini dianggap bisa efektif bila dilakukan secara rutin dan penuh kasih sayang. Istri pun bisa merasa diperhatikan mulai dari mental hingga fisiknya.
Mengutip laman Verywell Family, hormon oksitosin memungkinkan bayi untuk mendapatkan ASI dengan lebih baik dan menjadi hormon yang penting dalam hal menyusui karena dapat meningkatkan relaksasi, menurunkan stres, dan kecemasan.
Salah satu upaya untuk menstimulasi hormon tersebut adalah dengan melakukan pijatan. Selain itu, hormon oksitosin juga bisa distimulasi dengan mandi air hangat dan menciptakan ruang sekitar yang nyaman tanpa banyaknya distraksi yang dapat memicu stres.
Advertisement