Liputan6.com, Jakarta - Sebuah toko curah dengan konsep unik terletak di Kedung Prahu, Sendangrejo, Minggir, Sleman, Yogyakarta. Toko ini bernama Warung Murakabi Minggir, dengan empat orang co-founder, Ida Mandalawangi, Seno, Asri Saraswati, dan Andhika Mahardika.
Berbeda dengan toko kelontong pada umumnya, Warung Murakabi Minggir hanya menjual produk-produk lokal. Sembako dan berbagai kebutuhan sandang, pangan, dan papan dapat ditemukan di Warung Murakabi Minggir. Namun, sembako yang ditemukan bukanlah sembako biasa. Misalnya, beras putih diganti dengan sederet alternatif, seperti beras hitam, beras cokelat, dan beras campur. Minyak yang dijual adalah minyak kelapa, dan gula yang dijual adalah gula aren semut.
Advertisement
Warung Murakabi juga menjual aneka “kletikan” atau jajanan seperti enting-enting, permen tape dan kacang mete. Mereka menyediakan kebutuhan alat mandi seperti sikat gigi, garam mandi dan sabun VCO. Lebih dari itu, warung ini juga menjual serbet, kain pel, selimut hingga kerajinan seperti cobek.
"Sebenernya ya literally warung kelontong gitu, cuma bedanya sama sekali gak ada produk dari pabrik. Warung kelontong kan identiknya penuh dengan barang pabrik. Kalo ini bener-bener gak berlabel malahan, rumahan skalanya," ujar Ida Mandalawangi, co-founder Warung Murakabi Minggir, ketika diwawancarai Liputan6.com pada Senin, 27 Maret 2023.
Uniknya, warung ini merupakan pengembangan dari sebuah instalasi seni yang pernah dipamerkan di ArtJog pada 2019 dan 2020. "Murakabi movement ini dulu lahirnya di Artjog tahun 2019. Menjadi sebuah instalasi seni gitu," ujar Ida.
Inisiator instalansi seni ini adalah seorang perupa bernama Santi dan berkolaborasi dengan Singgih Hartanto, seorang desainer. Keduanya memiliki kegelisahan yang sama yakni sama-sama merasa bahwa warung zaman sekarang sangat transaksional dan sangat menjauhkan produsen dengan konsumennya.
"Muncullah ide untuk membuat semacam warung kelontong," ujar Ida. Warung Murakabi Minggir diwujudkan menjadi bentuk warung yang nyata pada 2021 dengan menjual produk lokal dari daerah Minggir dan kecamatan terdekat. "Produk-produk yang kita sendiri tahu dari mana, dibuat siapa, dengan cara seperti apa," jelas Ida.
Produk Rumahan Tidak Kalah Dengan Produk Pabrikan
Kata ‘Murakabi’ diambil dari bahasa Jawa yang berarti ‘mencukupi’. "Jadi harapannya dari nama Murakabi ini kita bener-bener bisa mencukupi kebutuhan kita sendiri, juga kebutuhan temen-temen yang ada di sekitar kita," ungkap Ida.
Pemilihan lokasi di sebuah desa di Minggir adalah karena lokasinya yang mendekati hulu atau produsen, sehingga semakin dekat dengan sumber komoditas. Selain itu, warung ini juga terletak di halaman Agradaya, sebuah bisnis pengolahan rempah-rempah menjadi minuman yang dikelola oleh Asri dan Andhika.
Walaupun ini merupakan sebuah konsep baru dalam masyarakat dan belum banyak ditemukan, Warung Murakabi bertujuan jelas. "Misi kita yang terdekat sebenarnya kita ingin memperkenalkan produk di Minggir. Kalo Minggir punya produk yang keren. Produk lokal tuh gak kalah kerennya dengan produk yang ada di pabrik," ujar Ida.
Dengan memperkenalkan aneka produk lokal yang berkualitas, Warung Murakabi beraharap masyarakat akhirnya mulai terbiasa menggunakan produk lokal. Selain itu, Warung Murakabi berharap dapat menularkan ‘virus kelokalan’. "Virus-virus kelokalan itu, isu tentang kelokalan, isu tentang cinta produk lokal, itu tuh jadi nular ke temen-temen yang lain," ungkap Ida.
Membeli produk lokal dinilai lebih ramah lingkungan karena komoditas tidak perlu melalui perjalanan panjang hingga sampai ke konsumen, juga sangat berarti untuk mendukung perekonomian masyarakat setempat. Sebelumnya, co-founder Murakabi melihat masalah serius tentang jual-beli barang.
"Zaman sekarang di zaman yang serba mudah untuk mendapatkan barang, kita makin abai sih sama produk-produk yang sebenarnya tetangga kita bikin, keluarga kita bikin," Menurutnya, orang tidak percaya dengan produk rumahan dan lebih percaya pada produk dengan label dari pabrik, padahal produk rumahan tidak kalah berkualitas.
Sebagai toko curah, Warung Murakabi mendorong pengunjung untuk membawa wadah sendiri ketika berbelanja, karena produknya tidak dikemas dengan plastik sebagaimana toko kelontong pada umumnya. Dengan belanja curah, masyarakat dapat sedikit mengurangi penggunaan plastik.
"Kalo kita belanja ke toko-toko gitu kan sampahnya gila-gilaan ya banyak banget, belom plastik buat kantongnya, plastik buat kemasannya, jadi wow ini dosa-dosa yang tidak terhitung. Terlalu banyak gitu," ucap Ida menjelaskan keresahannya ketika berbelanja di toko konvensional. Bagi masyarakat yang tidak membawa wadah sendiri, Warung Murakabi tetap menyediakan paper bag dan plastik yang dihargai Rp5000 dalam jumlah yang sangat terbatas.
Advertisement
Pentingnya Pangan Lokal Untuk Menjaga Keanekaragaman Hayati
Lebih dari sekadar warung, Warung Murakabi juga menyuguhkan makanan dan minuman secara musiman. Hal ini dilakukan karena permintaan pasar. "Karena posisi kita jauh dari kota, temen-temen yang dateng kesini awal-awal protes, ‘kok gak nyediain minum dan makan kok mba?’ Jadi kita kasihan juga, mereka udah jauh-jauh ke sini tapi gak ada makanan minuman itu kan gak tega kita ngeliatnya," jelas Ida.
Warung Murakabi menyediakan minuman simpel seperti jamu dan minuman rempah, serta pangan lokal lainnya seperti thiwul, nasi bakar, ampyang. Namun, makanan ini bukanlah menu tetap yang tersedia setiap hari, melainkan menu “musiman”.
Hal ini juga dilakukan Warung Murakabi karena melihat potensi pangan yang luar biasa di Minggir namun belum termanfaatkan. Ida menjelaskan, "Misalnya rambutan, belimbing wuluh, mayoritas dijual atau cuma jatuh dan dibiarkan membusuk sendiri. Kita sayang ya ngeliat kayak gitu. Karena kita merasa gelisah dan kita punya sedikit knowledge, kita coba olah komoditas yang gak dilirik ini, kita olah."
Salah satu program yang mengangkat isu ini dinamakan “Kebon ke Pawon”, yakni cara Murakabi merespons hal-hal apa yang ada di kebon menjadi hal di meja makan. Mengolah dan mengonsumsi pangan lokal dinilai sangat penting oleh Murakabi untuk menjaga kelestarian keberagaman jenis tumbuhan di daerah tersebut.
"Misalnya umbi-umbian di desa itu banyak banget jenisnya, ada puluhan. Cuma sekarang itu udah pada hilang atau punah karena gak dikonsumsi," ungkap Ida.
"Kalau kita membiasakan diri makan impor akhirnya yang kita punya sendiri di sekitar kita akan hilang. Itu udah banyak banget terjadi di mana-mana, akhirnya berbagai jenis umbi-umbian hilang itu karena gak dikonsumsi," lanjutnya.
Mendukung Kerajinan dan Keterampilan Masyarakat Setempat
Warung Murakabi juga banyak menggaet masyarakat sekitar untuk memanfaatkan keterampilannya dalam berbagai bidang. "Orang desa skillful banget, bikin apa aja bisa. Kayak misal orang yang bisa ‘dandanin’ payung, sepatu, panci, itu kan udah mulai langka karena harga panci pun sekarang murah banget jadi jarang orang yang memperbaiki, kebanyakan beli baru," ujar Ida.
Karena itu, Warung Murakabi membuat program Murakabi Open. ‘Open’ dalam bahasa Jawa berarti ‘Merawat’. Mereka mengajak masyarakat untuk memperbaiki barang yang rusak dibanding membeli baru untuk mengurangi sampah.
"Kemarin kita ngajakin expertise kayak tukang patri, tukang payung, tukang sol sepatu, untuk datang ke warung, kita undang dan kolaborasikan dengan seniman. Mereka bisa benerin barang-barang mereka yang rusak, terus bisa dikasih emblem-emblem dari berbagai seniman," jelas Ida.
Di Minggir, terdapat dua desa yang terkenal dengan kerajinan tangan, yakni kerajinan dari mendong dan bambu. Bambu banyak dibuat menjadi keranjang dan kap lampu, sementara mendong banyak dijadikan dompet. "Tapi isunya di sini mulai jarang anak-anak muda yang mau nerusin. Udah mulai berkurang kerajinannya," ungkap Ida dengan prihatin.
Warung Murakabi juga berkeinginan untuk membuat lokakarya bersama anak muda, supaya tertarik dengan kerajinan lokal dan menjaga agar keterampilan menganyam tidak hilang dalam budaya setempat. Sejauh ini, konsumen Warung Murakabi lebih banyak berasal dari Jakarta dan Kota Jogja. Menurut mereka, sulit sekali untuk mengajak masyarakat sekitar untuk membeli barang di warung tersebut karena berhubungan dengan kebiasaan di desa yang sudah terbentuk.
"Ini hal baru. Untuk bisa mengajak orang baru tuh cukup jadi kendala. Bahwa ‘ini loh ada pilihan lain’, itu tuh sangat PR untuk mengajak mereka pengen ke toko curah," jelas Ida.
Tantangan lainnya, karena menjual produk musiman, Murakabi sering kesulitan mencari alternatif ketika suatu produk sedang tidak berproduksi dan harus mempelajari aneka musim setempat. "Misalnya musim hujan gini, umbi-umbian gak panen, berarti produksi tentang umbi-umbian menurun drastis dan hampir gak ada. Kita sendiri nih yang ada di warung harus pinter-pinter cari produk lain," ujar Ida.
"Kalo pabrik kan terus-terusan produksi, kalo musiman itu terkendala musim. Kalau ini gak musim, kita mau jualan apa? Ini jadi bahan pembelajaran juga sih," lanjutnya.
Warung Murakabi optimistis akan terus berkembang, bahkan berharap dapat hadir di kecamatan-kecamatan lainnya. Di bulan ramadhan ini, Warung Murakabi berencana membuat program Kebon ke Pawon lagi dan buka bersama. Warung Murakabi buka setiap hari dari jam 10.00 sampai jam 16.00 WIB. Masyarakat dapat berbelanja produk lokal dengan puas, mencicipi pangan lokal, atau sekadar bermain.
Advertisement