Liputan6.com, Jakarta Badan Urusan Legislasi Daerah (BULD) DPD RI menilai UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (UU HKPD) belum sepenuhnya berpihak kepada daerah. Lantaran UU ini dikhawatirkan akan berdampak pada penerimaan pendapatan daerah.
"Dalam hal ini diperkirakan pemerintah daerah menghadapi tantangan besar khususnya dalam meningkatkan sisi penerimaan untuk ketercukupan pendapatan. Maka apakah kebijakan baru ini cukup efektif dalam menggerakkan tata kelola ekonomi daerah?" ucap Ketua BULD DPD RI Stefanus BAN Liow di Gedung DPD RI, Jakarta, Rabu (29/3).
Advertisement
Menurut Stefanus, pada prakteknya hasil pajak dan retribusi daerah belum berkontribusi secara signifikan terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) terutama pada kabupaten/kota. Tidak hanya itu, hasil yang diperoleh dari pajak dan retribusi ini dinilai lebih kecil dari pada biaya pemungutannya.
“Sebagian besar dampak dari pajak dan retribusi daerah menyebabkan ekonomi berbiaya tinggi sehingga kurang kondusif bagi iklim investasi,” tutur Stefanus.
Hakekat Pajak Harus Bersifat Adil dan Sejahterahkan Rakyat
Lebih lanjut, Stefanus menambahkan berdasarkan temuan di beberapa daerah, UU HKPD yang menerapkan opsen PKB dan BBNKB juga berdampak pada potensi penurunan penerimaan pajak pada level provinsi. Di sisi lain, untuk meningkatkan penerimaan pajak kabupaten/kota seharusnya diikuti dengan kenaikan beban pajak yang ditanggung wajib pajak.
"Potensi penurunan pendapatan ini diketahui berdasarkan simulasi pada FGD di Sumatera Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedua daerah ini menunjukkan proyeksi penurunan pendapatan daerah dari pungutan pajak dan retribusi daerah. Maka pemerintah daerah perlu menyiapkan strategi yang tepat untuk mengamankan penerimaan pajak daerahnya," kata Stefanus.
Sementara itu, Anggota DPD RI asal Provinsi Nusa Tenggara Timur Abraham Liyanto menilai pajak dan retribusi merupakan masalah bersama. Hakekatnya pajak harus bersifat adil dan tentunya menguntungkan bagi kesejahteraan masyarakat.
“Anehnya pasca UU HKPD terbit penerimaan pajak meningkat, namun pendapatan daerah berkurang. Artinya ada yang tidak beres pada UU ini,” terangnya.
Anggota DPD RI asal Provinsi Nusa Tenggara Barat Lalu Suhaimi Ismy menjelaskan UU HKPD ini menjadi tanggungjawab bersama. Artinya UU ini merupakan ‘PR’ bagi DPD RI, dan DPD RI berkewajiban menindaklanjutinya.
“UU ini merupakan PR serius maka DPD RI berkewajiban untuk menindaklanjutinya,” paparnya.
Advertisement
Rancangan Perda Tentang Pajak dan Retribusi Daerah
Di kesempatan yang sama, Ketua Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) Isran Noor mengatakan pemerintah provinsi (pemprov) seluruh Indonesia saat ini telah menyiapkan rancangan peraturan daerah (ranperda) tentang pajak dan retribusi daerah, namun pemprov masih menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) dari UU HKPD.
Ia juga berharap ranperda bisa diimplementasikan pada Januari 2024 khususnya yang terkait dengan Pungutan Pajak Alat Berat (PAB) dan retribusi, sedangkan PKB, BBNKB, dan kebijakan opsen akan diberlakukan pada Januari 2025.
“Adanya penambahan objek pajak baru seperti PAB dan opsen pajak mineral bukan logam dan batuan (MBLB) bagi wilayah tertentu cukup signifikan. Tapi tidak semua daerah memiliki potensi alat berat dan MBLB yang sama,” lontar Isran Noor.
Wakil Ketua Bidang Pemerintahan Dan Otonomi Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (APEKSI) Marten Taha mengatakan beberapa kota telah menyerahkan daftar inventaris masalah kepada APEKSI. Bahkan, pihaknya telah melakukan simulasi dan analisa pajak dan retribusi berdasarkan UU HKPD seperti Kota Balikpapan.
“Alhasil Kota Balikpapan yang menyatakan PAD dari pajak daerah secara riil akan berkurang sebesar dua persen, dan retribusi daerah secara riil akan berkurang sebesar 10 persen,” pungkasnya.
(*)