Liputan6.com, Tel Aviv - Puluhan ribu orang turun ke jalan di seluruh wilayah Israel setelah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant.
Pemecatan ini dilakukan disinyalir terkait rencana PM Netanyahu mengubah aturan kehakiman di Israel, namun ditentang karena dicurigai sarat kepentingan pribadi.
Advertisement
Sebelumnya, Yoav Gallant melakukan protes terhadap langkah Netanyahu.
Dikutip dari laman BBC, Selasa (28/3/2023) reformasi hukum yang diajukan Netanyahu termasuk rencana kendali penuh untuk pemerintah agar mengendalikan komite pengangkat hakim.
Reformasi itu juga akan menyulitkan pengadilan untuk mencopot pemerintah yang dianggap tak pantas menjabat. Banyak yang marah terhadap hal tersebut karena dianggap menguntungkan Benjamin Netanyahu yang sedang menghadapi pengadilan kasus korupsi.
Kronologi kericuhan Israel bermula ketika pendemo berunjuk rasa di luar rumah PM Benjamin Netanyahu di Yerusalem.
Sejumlah demonstran mengibarkan bendera Israel serta memukul-mukul panci dan wajan. Polisi menyiram para pendemo dengan water cannon.
Setelahnya, demonstran lanjut unjuk rasa di parlemen Israel.
Gallant mendengar protes dari tentara cadangan Israel yang tidak senang dengan reformasi tersebut. Pada awal bulan ini, pilot tempur Israel juga bersumpah ogah latihan sebagai bentuk protes ke pemerintah.
Penolakan Gallant diungkap secara tegas di TV pada Sabtu pekan lalu. Ia berkata anggota Israel Defense Forces merasa marah dan kecewa.
Pemecatan Gallant dikritik oleh pihak oposisi sebagai hal "rendahan yang baru" dari pemerintah. Selain itu, pihak Gedung Putih juga mengaku prihatin dengan pemecatan tersebut.
Gedung Putih mengingatkan Israel pentingnya nilai-nilai demokrasi sebagai bagian penting dari relasi Amerika Serikat dan Israel.
Netanyahu: Reformasi Peradilan Jalan Terus
Parlemen Israel mengesahkan undang-undang baru yang mempersulit pengadilan untuk mencopot perdana menteri yang dianggap tidak layak menjabat pada Kamis (23/3/2023). Langkah tersebut dianggap demi memuluskan kepentingan petahana, Benjamin Netanyahu, yang tengah menghadapi proses hukum atas tiga kasus terkait suap, penipuan, dan pelanggaran kepercayaan.
Beberapa jam setelah pemungutan suara, demonstran memulai apa yang mereka sebut sebagai hari kelumpuhan.
Puluhan ribu demonstran berkumpul di Tel Aviv dan sejumlah kota lain, memblokir jalan-jalan utama. Polisi menggunakan meriam air dan mengirim petugas untuk membubarkan kerumunan di jalan raya Tel Aviv yang sibuk dan mengatakan mereka telah menangkap puluhan orang di seluruh negeri karena menyebabkan gangguan publik.
Di tengah gejolak politik yang berkembang di dalam negeri, Netanyahu sendiri melawat ke Inggris. Dia bertolak pada Kamis dan dijadwalkan menggelar pertemuan dengan PM Rishi Sunak pada Jumat (24/3).
Netanyahu bersumpah akan melakukan segalanya untuk menenangkan situasi hingga mencapai solusi yang dapat diterima baik oleh pendukung maupun kritikusnya.
"Kita tidak bisa membiarkan perselisihan apapun membahayakan masa depan kolektif kita," kata Netanyahu seperti dilansir BBC.
Tahapan reformasi peradilan berikutnya menurut Netanyahu adalah memberi pemerintah kendali penuh atas komite yang akan menunjuk hakim. Dia mengatakan bahwa perundangan terkait itu akan disahkan parlemen pekan depan.
Advertisement
Merusak Demokrasi
Pemimpin oposisi dan mantan Perdana Menteri Israel Yair Lapid menolak janji-janji Netanyahu, menyebutnya sebagai kebohongan.
"Hentikan upaya untuk mengubah kita menjadi negara yang tidak demokratis," desak Lapid. "Dengarkan ratusan ribu patriot setia yang turun ke jalan."
Pemimpin Partai Persatuan Nasional yang juga mantan menteri pertahanan Benny Gantz men-twit bahwa dia percaya banyak orang di parlemen Israel menentang perubahan tersebut.
"Malam ini jelas tanpa keraguan bahwa kudeta akan sangat merusak demokrasi dan masyarakat Israel," kata Gantz. "Ini akan menjadi pelanggaran langsung terhadap keamanan Israel dan kurangnya tanggung jawab nasional."
UU Ketidakmampuan, yang disahkan dengan 61 suara banding 47 di parlemen Israel yang memiliki 120 kursi setelah perdebatan panas, mencegah seorang perdana menteri dinyatakan tidak layak menjabat oleh jaksa agung. UU tersebut menetapkan bahwa hanya perdana menteri atau tiga per empat dari kabinet yang dapat menyatakan mereka tidak layak memegang jabatan atas dasar fisik atau psikologis.