Liputan6.com, Jakarta Hingga kini, Indonesia diketahui masih kekurangan dokter spesialis. Dari sana, sistem pendidikan kedokteran rencananya akan mengalami perubahan melalui RUU Kesehatan Omnibus Law. Harapannya tentu agar jumlah dokter bisa bertambah.
Dalam menanggapi hal itu, pihak Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengadakan diskusi terbuka untuk membahas RUU Kesehatan. Kali ini, diskusi tersebut berfokus pada isu pendidikan kedokteran dan kesehatan.
Advertisement
Ketua Umum Pengurus Besar IDI, Dr Adib Khumaidi, SpOT mengungkapkan bahwa jika hendak mengubah sistem pendidikan kedokteran untuk menambah jumlah dokter, maka ia akan memulai dari data yang sudah ada.
Pasalnya, ada perbedaan jumlah dokter yang sudah ada milik IDI, Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), dan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.
Adib menyebut, dari data Kemenkes RI, sempat dikatakan bahwa Indonesia kekurangan 160 ribu dokter.
"Dari data dari IDI dan Kemenkes itu gapnya berbeda. KKI menyebut 214 ribu (dokter), IDI menyebut 204 ribu. Ada sedikit perbedaan antara IDI dan KKI tapi kita polanya sudah terintegrasi data kita. Nah, Kemenkes 145 ribu," kata Adib dalam mimbar publik pertama bertema Menyikapi Isu-Isu Pendidikan kedokteran dan Kesehatan di dalam RUU Kesehatan ditulis Rabu, (29/3/2023).
Disparitas Data Jumlah Dokter Spesialis di Kota dan Daerah
Adib mengungkapkan dari data yang telah diperoleh, masih ada disparitas data antara jumlah dokter spesialis di masing-masing daerah. Hal tersebutlah yang berisiko menghasilkan disparitas pada pelayanan kesehatan.
"Ada disparitas terkait jumlah dokter spesialis yang juga akhirnya berimplikasi pada disparitas pelayanan," ujar Adib.
Risiko Overload Jumlah Dokter di Masa Depan
Lebih lanjut Adib mengungkapkan bahwa jika merujuk pada jumlah dokter yang ideal sesuai dengan penduduk di Indonesia, maka dibutuhkan kurang lebih 270 ribu dokter.
Artinya, dalam kondisi saat ini, Indonesia kekurangan sekitar 78 ribu dokter bila mengikuti data yang dimiliki oleh IDI.
"Dengan produksi dokter dari 92 fakultas kedokteran, 12 ribu per tahunnya. Dengan enam tujuh tahun kita sudah dapatkan jumlah yang sesuai," kata Adib.
Adib menjelaskan, ketika nantinya produksi dokter dipercepat, maka yang berisiko terjadi adalah overload jumlah dokter. Mengingat jumlah dokter terus akan diproduksi bertahun-tahun setelahnya, tak berhenti pada enam tujuh tahun.
"Hal yang akan kita hadapi lagi kedepannya lagi adalah overload-nya, karena terus akan produksi soalnya. Ini yang harus dipikirkan juga," ujar Adib.
Advertisement
Produksi Dokter Harus Disesuaikan dengan Distribusinya
Berdasarkan dokumen target rasio kesehatan 2023 milik Kemenkes RI, jumlah dokter spesialis untuk beberapa kategori pun sudah melebihi rasio yang dibutuhkan. Seperti rasio dokter spesialis anak, spesialis penyakit dalam, spesialis obstetri dan ginekologi, serta spesialis bedah anestesi.
Sehingga, menurut Adib, bukan tak mungkin dokter berisiko pengangguran jika yang difokuskan hanya produksinya saja, apalagi jika hanya pada lima kategori di atas.
"Kalau kita melakukan produksinya saja yang lima spesialis tadi maka yang terjadi adalah overload, karena kita hanya bicara produksi. Jadi enggak bisa kita hanya pikir produksi tanpa distribusi (sesuai slot spesialis yang dibutuhkan per wilayah)," kata Adib.
"Kita perlu ada pola analisa kebutuhan nakes dan tenaga medis berbasis wilayah, per kabupaten, per provinsi," tambahnya.
Harus Ada Asesmen yang Tepat
Adib mengungkapkan bahwa diperlukan adanya asesmen yang tepat dalam hal produksi dan distribusi dokter nantinya. Sehingga tidak memicu angka pengangguran dari jumlah dokter yang overload.
"Kalau upaya produksi dokter-dokter spesialis yang tidak melalui asesmen, maka yang potensi kedepannya adalah overload. Kemudian akan terjadi penumpukan dokter-dokter spesialis dalam satu wilayah," ujar Adib.
"Jadi (harus) ada pola link and match-nya. Kalau tidak dilakukan, maka yang akan terjadi adalah double burden, beban ganda di dalam jumlah dokter dan mungkin akan terjadi bonus demografi dokter," tambahnya.
Adib menambahkan, bonus demografi dokter tersebut berisiko menambah masalah baru. Mengingat bukan tak mungkin dokter bisa menjadi pengangguran jika jumlahnya terlalu banyak dan tak sesuai dengan kebutuhan yang sesungguhnya.
"Itu akan berimplikasi bukan pada perbaikan pelayanan, tapi akan banyak membuat problem. Bahkan, bukan tidak mungkin membuat akan terjadi pengangguran intelektual profesi dokter," pungkasnya.
Advertisement