Beasiswa YSEALI Academic Fellowship 2023 Dibuka, Anak Muda Indonesia Bisa Mulai Daftar 17 April

Program beasiswa yang disponsori oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) kembali membuka pendaftaran untuk periode Musim Gugur 2023.

oleh Alycia Catelyn diperbarui 29 Mar 2023, 18:00 WIB
YSEALI buka pendaftaran untuk program beasiswa. (YSEALI)

Liputan6.com, Jakarta - Program beasiswa yang disponsori oleh pemerintah Amerika Serikat (AS) Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) kembali membuka pendaftaran untuk periode Musim Gugur 2023, mulai 17 April 2023.

Program beasiswa YSEALI Academic Fellowship ini adalah program akademik intensif jangka pendek yang memberikan pemahaman yang lebih dalam tentang AS serta tema-tema tertentu kepada para pemimpin muda di Asia Tenggara, sekaligus meningkatkan keterampilan profesional dan kepemimpinan mereka.

"YSEALI Academic Fellowship adalah program khusus dari pemerintah AS yang membawa para pemimpin muda yang luar biasa dari negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, ke Amerika Serikat untuk lebih mengembangkan keterampilan profesional dan kepemimpinan mereka," kata Juru Bicara Kedutaan Besar AS Michael D. Quinlan dalam keterangan tertulis yang diterima Rabu (29/3/2023).

"Beasiswa tersebut mencakup visa, tiket pesawat, biaya hidup, biaya kuliah, asuransi, dan biaya lain yang terkait dengan kegiatan akademik selama program berlangsung," sambung Quinlan.

Sejak Musim Semi 2015, ratusan anggota YSEALI dari Indonesia telah bergabung dengan rekan-rekan dari negara anggota ASEAN lainnya seperti Timor-Leste, untuk berpartisipasi dalam program YSEALI Academic Fellowship dengan memilih salah satu dari tiga tema. Ketiga tema itu yakni "Keterlibatan Masyarakat", "Isu Lingkungan", dan "Kewirausahaan Sosial dan Pembangunan Ekonomi".

Program beasiswa lima minggu ini terdiri dari beberapa rangkaian seperti diskusi, seminar, kegiatan membaca, presentasi kelompok, dan perkuliahan. Pembelajaran dan kegiatan kelas dilengkapi dengan widyawisata, kunjungan lapangan, kegiatan kepemimpinan, dan peluang kegiatan sukarela dalam komunitas lokal.

Kemudian, selama residensi akademik, peserta juga akan berkesempatan untuk terlibat dalam kegiatan pendidikan dan budaya di luar kelas. Para peserta akan dilengkapi dengan widyawisata ke daerah lain di AS di mana mereka akan bertemu dengan organisasi di tingkat lokal, negara bagian, pihak swasta, dan organisasi nirlaba yang bekerja di lapangan.

"YSEALI memberi saya kesempatan untuk meningkatkan keterampilan kepemimpinan dan memberdayakan saya untuk menjadi pemimpin perempuan Tuli yang lebih visioner di Indonesia," ucap Nissi Taruli Felicia Naibaho, peserta Tuli pertama YSEALI yang berasal dari Jakarta dan mengikuti program beasiswa dengan tema "Keterlibatan Masyarakat" di University of Nebraska di Omaha pada Agustus 2022.

"Setelah menyelesaikan program, YSEALI memberi saya jaringan yang lebih luas dan lebih besar. Saya dapat berkolaborasi dengan lebih banyak komunitas dan organisasi untuk menjadikan Indonesia lebih inklusif." 

Beberapa kriteria yang diperlukan untuk mendaftar program YSEALI Academic Fellowship adalah mereka yang berusia 18 hingga 25 tahun. Mereka juga sudah atau akan mendaftar menjadi anggota YSEALI. Selanjutnya, mereka harus masih berstatus mahasiswa atau sudah lulus dari universitas kurang dari lima tahun.

Komunitas yang kurang terlayani seperti kelompok masyarakat minoritas dan penyandang disabilitas, juga dapat ikut mendaftar dengan cara mengisi lamaran yang disediakan di laman resmi U.S. Embassy in Indonesia atau Kedutaan AS di Indonesia.

Tahun 2023 juga menandai ulang tahun YSEALI yang ke-10. YSEALI ingin terus membangun kapabilitas kepemimpinan pemuda di kawasan, memperkuat hubungan antara AS dan Asia Tenggara, serta membina komunitas pemimpin yang bekerja lintas batas untuk memecahkan masalah bersama melalui berbagai program.


Tentang YSEALI

Logo Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI). (U.S. Embassy and Consulates in Indonesia)

YSEALI diluncurkan pada 2013 sebagai program khas pemerintah AS untuk memperkuat kemitraan dengan para pemimpin baru di Asia Tenggara.

Melansir dari laman resmi U.S. Embassy and Consulates in Indonesia, YSEALI juga bertujuan untuk memperluas keterampilan masyarakat Asia Tenggara sebagai pemimpin sipil, ekonomi dan non-pemerintah yang efektif di wilayah Asia Tenggara, dan mendorong mereka untuk bekerja sama lintas batas untuk memecahkan tantangan regional.

YSEALI mencakup semua negara anggota ASEAN, mulai dari Brunei, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Singapura, Thailand, hingga Vietnam.

YSEALI juga program yang terbuka untuk anak muda mulai dari usia 18 sampai 35 tahun.

Menanggapi prioritas pemuda di kawasan ASEAN, program YSEALI berfokus pada empat tema yakni keterlibatan masyarakat, pembangunan berkelanjutan, pendidikan, dan pertumbuhan ekonomi.

Peluang yang diberikan YSEALI untuk anak-anak muda termasuk pertukaran profesional dan akademik ke AS, lokakarya regional untuk pengembangan jejaring dan keterampilan, dan kompetisi hibah untuk mendukung upaya para pemimpin baru untuk menangani masalah-masalah regional.


Program YSEALI Pernah Sorot Pentingnya Akses bagi Penyandang Disabilitas

Sesi berbincang oleh Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) dengan para pembicara yakni Duta Besar Gina Abercrombie-Winstanley, Duta Besar Yohannes Abraham, Rezky Achyana, Adhura Husna, dan Hamzi Omar pada Selasa (14/2/2023) di @america Pacific Place Mall, Jakarta. (Liputan6.com/Alycia Catelyn)

YSEALI tidak lama ini pernah menghadirkan sesi berbincang bertajuk "Institutionalizing Accessibility: Reforming from the Inside" bersama Duta Besar (Dubes) AS untuk ASEAN dan beberapa tokoh yang mengadvokasikan persamaan hak dan kewajiban untuk penyandang disabilitas.

Acara itu diselenggarakan pada Selasa, (14/2/2023), turut mengundang mantan Dubes AS untuk Malta Gina Abercrombie-Winstanley selaku Chief Diversity and Inclusion Officer for the Department of State, serta Dubes AS untuk ASEAN Yohannes Abraham.

"Kita ingin menjadi agen perubahan. Kita ingin membuat dunia lebih baik," ucap Gina dalam pembukaan di @america, Pacific Place Mall, Jakarta.

"Tantangannya adalah, bagaimana membuat organisasi-organisasi untuk mengapresiasi setiap individu," imbuhnya.

Menurut Gina, langkah-langkah kecil berperan penting untuk membuat perubahan. Hal-hal kecil seperti meminta ruang publik yang lebih inklusif dan mudah diakses bagi seluruh entitas termasuk para penyandang disabilitas, sangatlah penting.

"Kami (AS) berkomitmen untuk bekerja sama dengan Indonesia dan ASEAN untuk mempromosikan lebih banyak dialog seputar disabilitas," kata Dubes Yohannes.

Dengan menormalkan percakapan mengenai disabilitas, hal itu akan membantu dalam membuang stigma-stigma terkait para penyandang disabilitas.

Percakapan bisa mulai dari lingkup kecil misalnya dalam keluarga atau pertemanan. Lingkungan sosial yang lebih besar seperti komunitas dan sekolah, juga dapat berperan signifikan, khususnya dalam mengedukasi serta menciptakan ruang publik yang nyaman bagi penyandang disabilitas.

Baca selebihnya di sini...

 


Lingkungan yang Inklusif Sangat Dibutuhkan

Sesi berbincang oleh Young Southeast Asian Leaders Initiative (YSEALI) dengan para pembicara yakni Duta Besar Gina Abercrombie-Winstanley, Duta Besar Yohannes Abraham, Rezky Achyana, Adhura Husna, dan Hamzi Omar pada Selasa (14/2/2023) di @america Pacific Place Mall, Jakarta. (Liputan6.com/Alycia Catelyn)

Dalam acara berbincang itu, Hamzi Omar adalah salah satu pembicara yang hadir. Ia adalah presiden Asosiasi Tunanetra Nasional Brunei Darussalam atau Brunei Darussalam National Association of the Blind (BDNAB). 

"Di sini (BDNAB), kami ingin memastikan penyandang tunanetra mendapatkan persamaan hak dan kewajiban di segala aspek mulai dari pendidikan, pekerjaan, dan lingkungan sosial," kata Hamzi.

Meskipun tergolong minoritas, keberadaan penyandang disabilitas haruslah dijamin keberlangsungan hidupnya.

"Kita semua harus diperlakukan secara sama," ujar Adhura Husna, ketua Layanan Konsultatif Etika Independen untuk Populasi Terpinggirkan atau Independent Ethics Consultative Service for Marginalised Populations (ECS-MP) di Universitas Malaya.

Adhura mengatakan dalam ruang publik masih minim fasilitas yang mengakomodasi kebutuhan kelompok difabel. Spektrum difabel tidak sebatas pada mereka yang memiliki disabilitas sensorik, disabilitas fisik, disabilitas intelektual, dan disabilitas mental.

Manusia yang sehat secara fisik dan mental pun kemungkinan bisa merasakan apa yang dirasakan kelompok difabel, kata Adhura. Misalnya, ketika seseorang mengalami cedera sehingga membutuhkan kursi roda untuk beraktivitas meski hanya beberapa bulan.

Lingkungan atau fasilitas publik yang menyediakan ruang untuk mereka yang menggunakan kursi roda pun masih minim dan jarang ditemukan.

 

Baca selebihnya di sini...

Infografis Gerhana Matahari Total, Tidak Buta karena Gerhana (Liputan6.com/Abdillah)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya