Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) membuka peluang pemanfaatan Rumah Sakit (RS) menjadi sarana atau tempat pendidikan dokter spesialis. Ini artinya, rumah sakit dapat mencetak produksi dokter spesialis.
Dirjen Tenaga Kesehatan Kemenkes RI Arianti Anaya mengungkapkan, pemanfaatan rumah sakit bertujuan untuk memperluas sarana pendidikan dokter spesialis. Nantinya akan ada standar tertentu dari rumah sakit. Artinya, rumah sakit harus terakreditasi.
Advertisement
Upaya pemanfaatan rumah sakit juga melihat pembelajaran dari luar negeri. Di negara-negara maju, banyak sarana atau tempat untuk mendidik dokter spesialis sehingga rasio produksi dokter spesialis pun bisa mencukupi kebutuhan populasi penduduk.
“Kalau kita belajar dari luar negeri, mereka punya tempat untuk mendidik itu lebih banyak gitu ya. Inilah yang sedang kita lakukan, bagaimana kita bisa memanfaatkan rumah sakit-rumah sakit yang ada, yang memang sudah mampu untuk bisa menjadi sarana pendidikan,” ungkap Ade, sapaan akrabnya saat ditemui Health Liputan6.com usai acara ‘Sosialisasi dan FGD RUU Kesehatan: Percepatan Produksi Dokter Spesialis’ di Hotel Gran Melia, Jakarta, Rabu (29/3/2023).
“Itu bisa juga mendidik dokter-dokter spesialis. Nah, tentunya standar yang dihasilkan dari rumah sakit yang akan menjadi sarana pendidikan ini tentu harus tetap sesuai dengan standar yang terakreditasi.”
Standar Kemampuan Dokter Spesialis Akan Sama
Adanya standar rumah sakit dalam mendidik dokter spesialis dapat menghasilkan dokter spesialis berstandar sama. Hal ini dimaksudkan standar kemampuan yang dihasilkan antar jenis dokter spesialis tertentu akan sama dengan dokter spesialis lain.
“Sehingga nanti dokter yang dihasilkan sama dengan dokter-dokter spesialis yang lain,” lanjut Ade.
Tak Mudah Cetak Dokter Spesialis
Diakui Arianti Anaya, tidak mudah memproduksi dokter spesialis di Indonesia. Indonesia termasuk terhambat dalam memproduksi dokter spesialis.
Salah satu faktor penyebab minimnya produksi dokter spesialis adalah program studi dokter spesialis masih terbatas dan Fakultas Kedokteran (FK) yang terakreditasi A terbilang kurang.
“Memang tidak mudah mencetak dokter spesialis itu ya. Selama ini kita terhambatnya karena memang program studi dokter spesialis itu terbatas di Indonesia,” terangnya.
“Baru ada 21 program studi dokter spesialis dari 92 FK yang ada dan sebenarnya ada 35 FK yang sudah akreditasi A. Jadi masih belum sesuai dengan kebutuhan kita.”
Produksi Dokter Spesialis Sangat Sedikit
Dampak dari minimnya prograam studi dokter spesialis berujung pada produksi dokter spesialis yang sangat sedikit.
“Hasilnya juga produksinya (dokter spesialis) juga jadi sangat sedikit kan. Nah, kita tentunya harus berpikir nih, mau sampai kapan kita selesaikan?” Ade menjelaskan.
“Oleh karena itu, kita perlu menambah, pertama kita ingin menambah kuota tetapi menambah kuota itu paling maksimal kita sekarang sudah dibikin rasio dokter spesialis di 1 banding 5, itu pun kalau dengan prodi yang hanya 20 atau 21 prodi kan kita baru menghasilkan sekitar 100 dokter spesialis ya kan.”
Pemerintah menyediakan 2.500 beasiswa untuk dokter dan tenaga kesehatan dalam dan luar negeri. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dokter, dokter spesialis, dan fellowship di Indonesia.
Advertisement
2.500 Beasiswa untuk Dokter
Pemerintah menyediakan 2.500 beasiswa untuk dokter dan tenaga kesehatan dalam dan luar negeri. Upaya ini dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dokter, dokter spesialis, dan fellowship di Indonesia.
Pada pernyataan resmi, Juru Bicara Kemenkes RI Mohammad Syahril mengatakan, masyarakat terbatas untuk mendapatkan akses kepada dokter. Melalui beasiswa dokter spesialis, Pemerintah ingin mempercepat produksi dokter dan dokter spesialis untuk mengatasi kekurangan dokter.
“Diperlukan sistem yang baru untuk meningkatkan jumlah produksi dan upaya pemerataan dokter di semua kabupaten/kota di Indonesia,” ujar Syahril di Jakarta pada Selasa (28/3/2023).
Simplifikasi Izin Pendidikan Kedokteran
Pembaruan sistem dilakukan melalui transformasi SDM Kesehatan. Sebagaimana telah diketahui, Kementerian Kesehatan menginisiasi transformasi kesehatan dengan 6 pilar, yakni pilar Layanan Primer, Layanan Rujukan, Pembiayaan Kesehatan, Ketahanan Kesehatan, SDM Kesehatan, dan Teknologi Kesehatan.
Simplifikasi izin pendidikan kedokteran dalam mencetak jumlah tenaga kesehatan yang cukup melalui konsep piloting collegium based di 6 rumah sakit mulai Juli 2023.
“Transformasi memang tidak mudah, butuh kerja keras, cerdas, sinergi, kolaborasi, termasuk keteguhan hati dalam memulai dan menjalankannya. Hilangkan ego sektoral, kita sama-sama berpikir luas, jangka panjang, untuk kepentingan masyarakat luas,” tambah Syahril.