Liputan6.com, Jakarta - Selama empat tahun terakhir, Craig Pollock diam-diam telah melakukan perencanaan dasar untuk tim Formula One (F1) baru yang berbeda dari semua yang sudah ada di paddock. Sekarang dia siap berbagi rencananya dengan dunia.
Mungkin ini jadi angin segar bagi para wanita penggemar Formula 1 (F1) yang mempunyai kemampuan olahraga balap. Baru-baru ini beredar kabar bahwa ada rencana peluncuran tim F1 dengan proporsi 50% pria dan 50% wanita.
Advertisement
Proyek terbaru Craig Pollock itu, yang disebut Formula Equal, akan menjadi tim pertama dalam olahraga yang terdiri dari 50% pria dan 50% wanita. Menurutnya, pembagian yang sama berlaku di seluruh organisasi – mulai dari kokpit hingga insinyur hingga boardrooms.
Craig Pollock yang memimpin proyek untuk membawa Formula Equal ke tingkat atas motorsport bertujuan agar tenaga kerja terbagi 50/50 yang setara antara karyawan pria dan wanita.
"Ambisi kami adalah untuk memberikan dan membangun peluang bagi wanita untuk mencapai level teratas dalam olahraga ini," kata Pollock kepada Don Riddell dari CNN Sport dalam sebuah wawancara eksklusif.
"Konsep dan idenya adalah untuk mencoba dan membangun tim Formula One (F1) dengan 50% laki-laki dan 50% perempuan, yang sangat sulit dilakukan jika Anda sudah memiliki tim Formula One; akan jauh lebih mudah bila mulai baru dari selembar kertas bersih."
Jika aplikasi Pollock untuk tim ini berhasil, Formula Equal berpotensi memulai debutnya pada tahun 2026.
Ini akan menjadi perkembangan penting dalam industri yang sering disorot karena kurangnya keragaman gender.
Pollock sudah mengetahui lika-liku olahraga ini setelah menjabat sebagai pendiri dan kepala eksekutif British American Racing (BAR), yang sekarang dimiliki oleh Mercedes.
Perempuan Dalam Industri Olahraga F1
Sebuah survei tahun 2016 yang dilakukan oleh Federasi Automobil Internasional (FIA), menemukan bahwa dalam European motorsport, posisi wanita 6,5% pengemudi, 16% karyawan institusional, dan 19% sukarelawan.
FIA Women in Motorsport commission (Komisi Wanita Motorsport FIA), yang diluncurkan pada tahun 2009, berupaya mengubah angka-angka tersebut, memajukan partisipasi wanita di dalam dan luar jalur sirkuit melalui acara, inisiatif, dan program pendidikan.
Dua duta FIA adalah Susie Wolff, yang pada 2014 menjadi wanita pertama dalam 22 tahun yang ambil bagian dalam Grand Prix akhir pekan, dan Tatiana Calderon, yang menjabat sebagai test driver untuk tim Sauber F1, sekarang Alfa Romeo.
Sementara itu, program Girls on Track FIA menyediakan model kompetisi tingkat akar untuk mengembangkan dan mempromosikan wanita muda di dalam olahraga ini.
Bagi Pollock, Formula Equal bukan hanya soal wanita balap di F1, tetapi juga tentang perwakilan gender yang setara di seluruh tim.
Advertisement
Proses Seleksi Tim F1
Saat ini sudah ada 10 tim di grid F1, masing-masing dengan dua pembalap di garis start setiap balapan sepanjang musim.
Awal tahun ini, FIA membuka proses aplikasi untuk menemukan "satu atau lebih" tim F1 perempuan baru untuk bergabung dalam kejuaraan pada 2025, 2026, atau 2027.
Mengapa Pollock Memutuskan Untuk Berbicara Secara Terbuka Tentang Rencananya Sekarang?
"Formula One itu sedikit seperti penyaring," candanya, "Anda harus sangat berhati-hati dengan siapa Anda berbicara… pada dasarnya saya harus mengakui: ya, itu benar. Kami telah membuat aplikasinya dan hanya itu.”
Sebagai bagian dari proses seleksi, FIA akan menilai, antara lain, rencana bisnis yang terperinci, pengalaman tim, kemampuan teknis dan sumber daya, serta potensi untuk mengumpulkan dan mempertahankan dana yang cukup.
Karena Pollock pernah menjadi manajer juara F1 Jacques Villeneuve, dia sangat paham besarnya jumlah uang yang dibutuhkan untuk memulai sebuah tim.
Dia mengutip komentar yang dibuat oleh bos Mercedes Toto Wolff tahun lalu, memperkirakan tim baru akan menelan biaya sekitar $1 miliar (14.205.750.000.000,00 IDR) untuk bergabung dengan F1.
Pendanaan Tim F1 dari Mana
"Kami sedang dalam diskusi intensif dengan negara kawasan Teluk," kata Pollock tidak ingin terlalu rinci ketika ditanya tentang pendanaan di balik usahanya.
"Saya tidak dalam posisi untuk membicarakannya dan sepenuhnya terbuka saat ini. Dan saya hanya berharap ini akan berhasil karena… memang membutuhkan banyak uang."
Komentar semacam itu menimbulkan spekulasi bahwa pendukung Pollock berasal dari Arab Saudi, negara dengan ambisi berani dalam olahraga tersebut adalah yang pertama kali menjadi tuan rumah Grand Prix pada tahun 2021.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari Federasi Motor Arab Saudi.
Keterlibatan negara Teluk itu di F1 bukannya tanpa kontroversi. Perlombaan tahun lalu di Jeddah, tetap berlangsung meskipun ada serangan terhadap fasilitas penyimpanan minyak di dekat lintasan yang diklaim oleh pemberontak Houthi Yaman.
Sementara, juara dunia tujuh kali Lewis Hamilton, serta beberapa kelompok hak asasi manusia, telah menyatakan kegelisahan tentang sejarah hak asasi manusia di Arab Saudi.
Awal bulan ini, kelompok hak asasi manusia Reprieve, menuduh F1 menggunakan olahraga tersebut untuk menutupi rezim yang kejam.
"Untuk semua pembicaraan tentang 'nilai-nilai positif' dan 'mempercepat perubahan,' Formula One tidak pernah secara serius terlibat dengan hak asasi manusia dan cara olahraga digunakan untuk menutupi pelanggaran oleh beberapa rezim paling represif di dunia," kata Direktur Eksekutif Bersama Reprieve, Maya Foa.
Selain itu, memiliki tim olahraga motor campuran di Arab Saudi akan menjadi signifikan, mengingat negara tersebut melarang wanita Saudi mengemudi hingga 2018 lalu.
Advertisement