Liputan6.com, Jakarta - Niat merupakan bagian dari rukun puasa, baik yang fardhu atau wajib maupun yang sunah. Itu artinya sebuah ibadah tidak akan dianggap sah dan berpahala jika tidak disertai niat.
Apa yang dikatakan para ulama tersebut sejalan dengan isi dari salah satu hadis populer yang diriwayatkan dari Amirul Mukminin Sayyidina Umar bin Khattab.
Advertisement
Diperintahkan untuk melakukan niat pada awal amal ibadah. Karena jika melakukan ibadah tanpa berniat terlebih dahulu, maka apa yang dilakukan akan sia-sia.
"Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya sahnya suatu amal itu sebab niat dan setiap orang akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan niatnya. Barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barang siapa yang hijrahnya kepada dunia yang ingin diraih atau wanita yang ingin dinikahi, maka hijrahnya kepada apa yang dia berhijrah kepadanya." (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Lantas, apa perbedaan niat puasa fardhu dan sunah? Berikut penjelasannya yang dilansir dari nu.or.id:
Perbedaan Niat Puasa Fardhu dan Puasa Sunah
1. Waktu pelaksanaan niat
Untuk puasa fardhu, niat bisa dimulai sejak masuknya waktu maghrib hingga fajar maka wajib dilakukan di malam hari. Sedangkan untuk niat puasa sunah bisa dilakukan mulai masuknya maghrib hingga sebelum dzuhur, maka tidak wajib dilakukan di malam hari.
2. Kewajiban memberikan kejelasan jenis puasa yang hendak dilakukan
Jika puasa fardhu, seseorang yang hendak melakukannya wajib untuk memperjelas jenis puasanya, seperti puasa Ramadhan, kafarat, nazar, atau qadha’. Sementara, untuk puasa sunah, orang tersebut tidak perlu untuk memperjelas jenis puasa yang hendak dilakukan olehnya.
Namun, menurut pendapat yang mu’tamad, orang tersebut hendaknya memperjelas jenis puasa yang akan dilakukan olehnya jika puasa tersebut sudah ditentukan waktunya, seperti puasa sunah Arafah.
3. Kebolehan untuk menggabungkan dua puasa di hari yang sama
Untuk puasa wajib, seseorang tidak diperbolehkan menggabungkan dua puasa fardhu di hari yang sama. Sedangkan untuk puasa sunah, seseorang boleh menggabungkan dua puasa sunnah atau lebih dengan satu niat.
Hukum Puasa bagi Pekerja Berat Seperti Kuli hingga Buruh Kasar
Di sisi lain, adakah 'denda' yang harus dibayarkan seorang muslim jika tidak menjalankan ibadah puasa di bulan suci Ramadhan?
Diketahui, puasa Ramadhan merupakan salah satu kewajiban yang harus ditunaikan oleh umat Islam. Maka jika puasa ditinggalkan, akan ada 'denda' yang harus dibayar sesuai ketentuan syariat.
Lantas, bagaimana hukum berpuasa berlaku bagi para pencari nafkah yang bekerja sebagai kuli, tukang bangunan, buruh tani, dan berbagai profesi yang mengandalkan kekuatan fisik sehingga sangat melelahkan ketika bekerja di siang pada bulan Ramadhan?
Dalam kitab Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtadi’i, Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani menerangkan bahwa para ulama membagi tiga kategori orang sakit dan statusnya saat tengah menjalankan ibadah puasa.
Pertama, kalau misalnya diprediksi mengidap penyakit kritis yang membolehkannya tayammum, maka penderita dihukumi makruh untuk berpuasa sehingga diperbolehkan tidak berpuasa.
Kedua, jika penyakit kritis itu benar-benar terjadi atau kuat diduga kritis atau kondisi kritisnya dapat menyebabkannya kehilangan nyawa atau menyebabkan disfungsi salah satu organ tubuhnya, maka penderita haram berpuasa, sehingga wajib membatalkan puasanya.
Ketiga, kalau sakit ringan yang sekiranya tidak sampai keadaan kritis yang membolehkannya tayammum, penderita haram membatalkan puasanya dan tentu wajib berpuasa sejauh ia tidak khawatir penyakitnya bertambah parah.
Advertisement