Suka Makan Gorengan untuk Buka Puasa? Simak Tips dari Dokter

Gorengan kerap menjadi sajian yang disantap sebagai menu buka puasa. Namun ternyata, ada beberapa hal terkait gorengan yang perlu diketahui menurut wellness doctor sekaligus healthy lifestyle speaker dr. Fanny Riawati Imannuddin.

oleh Putu Elmira diperbarui 31 Mar 2023, 21:20 WIB
Warga beraktivitas jual beli makanan untuk berbuka puasa (takjil), termasuk gorengan, di kawasan Jalan Panjang, Jakarta, Selasa (5/5/2020). (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Gorengan kerap menjadi sajian yang disantap sebagai menu buka puasa. Namun ternyata, ada beberapa hal terkait gorengan yang perlu diketahui menurut wellness doctor sekaligus healthy lifestyle speaker dr. Fanny Riawati Imannuddin.

"Jadi yang saya suruh stop gorengan itu adalah yang digoreng dengan minyak yang berulang," kata dr. Fanny dalam Instagram Live Cookpad dan Morula IVF, baru-baru ini.

dr. Fanny menjelaskan penggunaan jenis minyak sebaiknya adalah minyak saturated fat yang sifatnya stabil. "Contoh misalkan minyak kelapa, virgin coconut oil. Kalau bisa minyak kelapa saja itu boleh dan itu tidak digoreng berulang," jelasnya.

"Kalau minyaknya mau goreng tepung, tepungnya harus pakai tepung singkong, jadi ada cara makan gorengan cuma kita harus cari yang jauh lebih sehat intinya itu," terang dr. Fanny.

Ia mengatakan bila gorengan yang dikonsumsi dari minyak yang digoreng berkali-kali, warna minyak berubah menjadi hitam dan sudah mengandung trans fat yang tinggi. "Yang kita harapkan di sini adalah kita mengonsumsi makanan yang rendah trans fat," ungkapnya.

"Saya lebih menganjurkan menggunakan tepung singkong jauh lebih sehat, atau jagung atau tepung almond," tutur dr. Fanny.

Sementara, dikatakan dr. Fanny, puasa adalah suatu sistem tubuh untuk menetralisir racun atau membantu untuk detoksifikasi. Tubuh terkadang perlu melakukan proses detoksifikasinya sendiri.

"Tetapi, kita dengan pola nutrisi dan kebiasaan hidup kita akhirnya menjadi proses detoksifikasinya menjadi lebih berkurang fungsinya, fungsi liver terutama," katanya.


Puasa adalah Proses Detoksifikasi

Ilustrasi puasa. (dok. Katsia Jazwinska/Unsplash)

"Karena kita banyak mengonsumsi makanan yang tidak sehat, kurang minum air putih, sering mengonsumsi makanan cepat saji, kemudian juga kurang tidur, stresnya cukup tinggi itu akan mengganggu ke proses detoksifikasi," terang dr. Fanny.

Puasa ini, dikatakannya, adalah pengaturan agar tubuh bisa detoksifikasi dengan lancar. "Kurang lebih sekitar 12--14 jam. Sebenarnya saat kita tidur, itu adalah proses detoksifikasi kita, makanya saat kita tidak berpuasa, sebenarnya kita melakukan puasa saat sehabis makan malam, setelah itu kita tidur selama 12 jam, maka itu dalam kondisi tubuh melakukan proses detoksifikasi," ungkap dr. Fanny.

Ia menambahkan, "Kita kan tidurnya tujuh jam, ada jeda waktu dari setelah dari kita makan malam kemudian empat jam, kemudian baru kita disarankan untuk tidur. Karena pada saat setelah makan, tubuh kita akan memproduksi yang namanya insulin. Nah, kalau langsung tidur, maka liver itu tidak memproduksi secara alami akhirnya untuk proses detoksifikasi, jadi setelah makan jangan langsung tidur, sebisa mungkin ditahan dulu kurang lebih sekitar 2--4 jam, paling cepat 2 jam, paling ideal 4 jam setelah itu baru ada proses tidurnya kurang lebih 7--8 jam."


Rekomendasi Makanan Sehat untuk Sahur agar Gizi Tercukupi

(Photo by Dan DeAlmeida on Unsplash)

dr. Fanny menyampaikan bahwa saat sahur, penting agar makronutrien dan mikronutrian seimbang. "Kalau makronutrien harus kita lengkapi dengan karbohidrat, bukan yang glukosanya tinggi. Perlu dicatat, kita tidak terlalu memerlukan kadar glukosa yang terlalu tinggi, tetapi memerlukan kadar glukosa yang bisa maintain di dalam darah kita," katanya.

dr. Fanny juga menjelaskan mengenai glycemic load. Itu berarti kadar gula darah itu bisa menetap, tidak terlalu tinggi bahkan nanti akan turunnya lebih cepat.

"Jadi, kita memerluka karbohidrat dengan glycemic load yang tinggi, contoh dari buah-buahan, pisang, pilih dari ubi-ubian, nasi merah, nasi hitam, ataupun dari golongan kentang," tambahnya.

Ia mengatakan itu sekitar 30--40 persen untuk kebutuhan sahur. Lalu, konsumsi juga dikombinasikan dengan protein yang harus cukup sesuai dengan berat badan tubuh.

"Kalau berat badan 50 kg, maka harus membaginya dalam porsi satu hari, kalau kebutuhan protein 1,2 gram per kg berat badan, misalkan berat badan 50 kg kebutuhan protein kita adalah 50 gram protein, kalau untuk sahur dibagi 2, sahur 25 gram, buka puasa 25 gram. Berapa banyak 25 gram protein? Itu harus dikonversikan ada beberapa kandungan dari ayam, ikan, daging, hitung sekitar 25 gram protein," terangnya.


Kandungan Lemak Baik

ilustrasi alpukat/Photo by twinsfisch on Unsplash

dr. Fanny mengingatkan bahwa perlu juga memenuhi kebutuhan lemak baik. Kandungan tersebut bisa didapatkan dari avokad, susu almond, chia seed, omega 3, sampai olive oil yang dapat dipenuhi saar konsumsi sahur.

"Saat menggoreng dengan minyak kelapa atau virgin coconut oil itu jauh lebih sehat dibanding kita pakai minyak yang biasa," katanya.

Dikatakan dr. Fanny, komponen tiga makronutrien ditambah mikronutrien dari buah-buahan. "Bisa pilih yang banyak airnya supaya kita tidak dehidrasi dan menyimpan kadar gula yang lebih dalam tubuh kita," lanjutnya.

Cara menghitung kebutuhan makronutrien, disebut dr. Fanny paling mudah dapat menggunakan telapak tangan. Menghitung kebutuhan karbohidrat dengan satu kepalan tangan banyaknya.

"Kalau untuk protein bisa kita pakai area telapak tangan bagian dalam untuk kebutuhan protein, untuk jumlah lemak baik bisa pakai ukuran dari jempol, minyak tidak perlu terlalu banyak," terang dr. Fanny. Ia Namun kebutuhan setiap orang berbeda-beda, terlebih ditilik dari profesinya.

Bila mereka membutuhkan lemak baik yang lebih tinggi, bisa menambahkan avokad atau kacang almond membantu untuk energi tambahan dari lemak baik. "Misal tubuh kurang ideal atau obesitas hanya perlu tambahkan good fat saja, jangan karbohidrat lagi," katanya.

"Karena dengan kita puasa, otomatis kita akan mempergunakan lemak cadangan kita sebagai sumber energi, jadi tidak mempergunakan karbohidrat sebagai sumber energi," tambahnya.

dr. Fanny menjelaskan, "Sekalian menurunkan berat badan, berarti proyeksinya kita lebih banyak mengonsumsi lemak baik, bukan berarti makan jeroan-jeroan nanti salah kaprah jadinya. Konsumsi lemak baik ada avokad, kacang almond, susu full cream bisa membantu untuk memberikan lemak lebih adaptif."

Kebiasaan Saat Puasa Ramadan di Indonesia (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya