Liputan6.com, Jakarta Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Suahasil Nazara buka suara soal adanya transaksi janggal berupa manipulasi keterangan soal impor emas batangan di Direktorat Jenderal Bea Cukai Kemenkeu yang nilainya mencapai Rp 189 triliun.
Suahasil menjelaskan kronologis pencegahan ekspor emas batangan Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai (KPU BC) Soekarno-Hatta.
Advertisement
Pada Januari 2016, pegawai Bea Cukai memang melakukan pencegahan ekspor logam mulia berupa perhiasan. Ternyata setelah diselidiki bukan ekspor perhiasan melainkan ingot emas atau emas batangan.
"Ekspor apa yang dicegah? ekspor logam mulia, karena dikatakan ekspor perhiasan tapi ternyata isinya bukan perhiasan, tapi isinya ingot emas dan itu di stop oleh bea cukai. Kemudian didalami dan ada potensi tindak pidana kepabeanan, maka ditindaklanjuti dengan penelitian, penyidikan, bahkan sampai ke pengadilan," jelas Wamenkeu dalam Media Briefing: Perkembangan Isu Kemenkeu Terkini, di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (31/3/2023).
Bea Cukai Kalah
Setelah dilakukan penghentian ekspor emas batangan tersebut, kemudian ditindaklanjuti hingga ke pengadilan dalam kurun waktu selama 3 tahun yakni 2017-2019. Dalam prosesnya, Bea Cukai kalah, dan mengajukan kasasi. Lalu Bea Cukai menang kasasi.
Selanjutnya, pada 2019 dilakukan penelitian dan pemeriksaan kembali atas permintaan terlapor. Akhirnya Bea Cukai kalah lagi, sehingga dianggap tidak terbukti tindak pidana kepabeanan dalam peninjauan terakhir.
Kata Suahasil, tindak pidana pencucian uang selalu terkait tindak pidana asalnya. Ketika tindak pidana asalnya ada maka TPPU-nya bisa mengikuti, namun jika tindak pidana asalnya tidak terbukti oleh pengadilan maka TPPU nya tidak bisa diusut atau dihentikan.
"Dalam periode 2016-2019 inilah ada berbagai macam pertukaran data yang termasuk yang dikatakan diskusi diskusi rapat-rapat yang dilakukan antara kementerian keuangan dengan PPATK yang ada nama Pak Heru disebut menerima data," ujarnya.
Kejadian Lagi 2020
Pada tahun 2020, Bea Cukai kembali menemukan modus yang sama. Bea Cukai menduga modus ekspor emas batangan pada tahun 2016 berlangsung lagi. Atas dasar itu, pada 2020 Bea Cukai kembali diskusi dengan PPATK, kemudian PPATK mengirimkan lagi data terkait dengan modus yang terjadi.
"Ini ditindaklanjuti melalui beberapa macam rapat sampai dengan bulan Agustus 2020 di satu rapat itu dikatakan bahwa kalau modusnya kasus 2016-2019 kita sudah dikalahkan oleh pengadilan, tindak pidana kepabeanan itu dikalahkan oleh pengadilan, modusnya sama," ujar Suahasil.
Menurutnya, dengan logika seperti itu maka pada Agustus 2020 disepakati jika tindak kepabeanannya tidak bisa ditindak maka Bea Cukai mengalihkan untuk mengejar pajaknya, sehingga kemudian PPATK mengirimkan lagi hasil pemeriksaan atau mengirimkan data kepada DJP pada Oktober 2020.
"Dalam statement ini adalah berkaitan dengan hasil pemeriksaan PPATK, DJP telah melakukan pemeriksaan bukti permulaan terhadap 3 WP, pemeriksaan terhadap 3 WP ini dan pengawasan terhadap 7 orang WP setelah dipaparkan bahwa indikasi pelanggaran bidang kepabeanannya berdasarkan situasi modus yang sama di tahun 2019 itu dinyatakan oleh pemeriksaan kembali tidak masuk. Jadi, dikejar pajaknya dapatnya sekian," ujarnya.
Advertisement
Terbuka
Intinya, kata Suahasil tidak ada hasil rapat bersama PPATK yang ditutup-tutupi kepada Menteri Keuangan. Semua rapat dilakukan secara terstruktur.
Segala laporan apapun dari DJP, DJBC, dan Inspektorat Jenderal semua tersedia di dalam sistem Kementerian Keuangan, sehingga bisa dilakukan pemantauan satu per satu.
"Hubungan dengan PPATK kalau kita lihat kasus kita lakukan dengan detail, rapat-rapat dengan PPATK kita lakukan dengan sangat terstruktur, ada notulennya, ada yang hadir, komplit. Karena itu ini saya harap bisa mengklarifikasi Rp 189 triliun kemarin. Ada yang bilang Rp 189 triliun enggak disampaikan ke Menteri keuangan, ada yang ditutup-tutupi dari Menteri Keuangan," pungkasnya.