Liputan6.com, Jakarta - Puasa Ramadhan merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan setiap muslim yang mampu dan memenuhi syarat untuk berpuasa.
Puasa di bulan Ramadhan memiliki banyak keutamaan dan keistimewaan, di antaranya adalah mendapat pahala yang berlipatganda, meningkatkan ketaqwaan, dan melatih kesabaran.
Advertisement
Salah satu syarat sah berpuasa adalah dapat menahan diri dari segala hal yang membatalkan puasa, seperti makan, minum, dan berhubungan intim. Sudah seharusnya untuk menjaga ibadah puasa dengan benar, seperti syarat, rukun, serta menghindari hal-hal yang dapat membatalkan puasa.
Namun, dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan, banyak gangguan yang muncul sehingga menjadi penyebab batalnya puasa, seperti makan dan minum di siang hari dengan sengaja.
Biasanya, saat sedang membuat menu santapan berbuka, sebagian besar orang tertantang untuk mencicipi rasa dari aneka masakan yang dibuatnya, jangan sampai masakan untuk berbuka menjadi kurang sempurna karena terasa hambar. Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana hukumnya mencicipi makanan bagi mereka yang berpuasa?
Dilansir dari NU Online, Sabtu (01/04/2023), hukum mencicipi makanan saat berpuasa diperbolehkan karena ada kepentingan syar’i. Dengan catatan makanan tersebut harus segera dikeluarkan dari mulut (diludahkan). Jangan sampai makanan berdiam terlalu lama di mulut, apalagi sampai tertelan. Jika sampai tertelan, bukan makruh lagi, tapi juga batal puasanya.
Bagaimana caranya agar tidak terlanjur memakannya saat sedang mencicipi makanan untuk berbuka puasa? Dengan cara meletakkan makanan di ujung lidah, dirasakan sebentar, kemudian dikeluarkan tanpa ada yang ditelan sedikitpun.
Mencicipi Makanan Saat Berpuasa Diperbolehkan dan Dibenarkan Syar’i
Syekh Abdullah bin Hijazi asy-Syarqawi dalam kitab karangannya, Hasiyah asy-Syarqawi (1/881) menjelaskan:
وذوق طعام خوف الوصول إلى حلقه أى تعاطيه لغلبة شهوته ومحل الكراهة إن لم تكن له حاجة ، أما الطباخ رجلا كان أو امرأة ومن له صغير يعلله فلا يكره في حقهما ذلك قاله الزيادي
Artinya,
“Di antara sejumlah makruh dalam berpuasa ialah mencicipi makanan karena dikhawatirkan akan mengantarkannya sampai ke tenggorokan. Dengan kata lain, khawatir dapat menjalankannya lantaran begitu dominannya syahwat. Posisi makruhnya itu sebenarnya terletak pada ketiadaan alasan atau hajat tertentu dari orang yang mencicipi makanan itu. Berbeda lagi bunyi hukum untuk tukang masak baik pria maupun wanita, dan orang tua yang berkepentingan mengobati buah hatinya yang masih kecil. Bagi mereka ini, mencicipi makanan tidaklah makruh.” Demikian Az-Zayadi menerangkan.
Advertisement
Penjelasan Fiqih dari Ulama Tentang Hukum Mencicipi Masakan Saat Puasa
Mencicipi makanan tidak termasuk ke dalam hal yang dapat membatalkan puasa. Karena, mencicipi tidak sama dengan menelan makanan. Mencicipi merupakan sebuah upaya untuk memastikan bahwa rasa makanan yang dibuat untuk berbuka puasa sudah sesuai dan tidak hambar.
Merujuk pada pendapat Imam Ibnu Abbas ra, yang mengatakan bahwa boleh-boleh saja orang puasa mencicipi sesuatu ketika sedang puasa, sebagaimana dikutip oleh Syekh Badruddin al-‘Aini dalam salah satu karyanya, ia mengatakan:
نِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوقَ الْخَلَّ، أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
Artinya,
“Dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Tidak masalah apabila seseorang mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk pada kerongkongan, dan ia dalam keadaan berpuasa.” (Al-Aini, Umdatul Qari Syarhu Shahihil Bukhari, juz XVI, halaman 379).
Penjelasan Fiqih dari Ulama Tentang Hukum Mencicipi Masakan Saat Puasa
Sementara itu, Syekh Sulaiman As-Syafi’i Al-Makki berpendapat bahwa hukum asal dari mencicipi rasa makanan bagi orang yang sedang puasa adalah makruh jika memang tidak ada kebutuhan untuk mencicipinya.
Sebab, mencicipi makanan bisa berpotensi membatalkan puasa. Namun jika ada kebutuhan, seperti juru masak, maka hukumnya boleh-boleh saja dan tidak makruh. Syekh Sulaiman berkata:
وَيُكْرَهُ ذَوْقُ الطَّعَامِ أَوْ غَيْرِهِ لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْرِيْضِ الصَّوْمِ لِلْفَسَادِ، وَهَذا اِذَا لَمْ تَكُن حَاجَة. أَمَّا الطَّبَّاخُ رَجُلًا كَانَ أَوْ اِمْرَأَةً فَلاَ يُكْرَهُ لَهُ ذَلِكَ كَمَا لَايُكْرَهُ المَضْغُ لِطِفْلٍ
Artinya,
“Dimakruhkan (bagi orang berpuasa) mencicipi makanan atau selainnya, karena hal tersebut bisa berpotensi membatalkan puasa. Dan (hukum makruh) ini apabila tidak ada kebutuhan (hajat). Sedangkan juru masak, baik laki-laki maupun perempuan, maka tidak makruh baginya untuk mencicipi makanan, sebagaimana tidak dimakruhkan mengunyah (makanan) untuk anak kecil.” (Sulaiman Al-Makki, At-Tsimarul Yani’ah fir Riyadhil Badi’ah , halaman 157).
Advertisement