Liputan6.com, Jakarta Kredit macet bisa dikatakan merupakan musuh utama bagi industri peer to peer lending (P2P Lending). Terlebih saat masa pandemi covid-19, potensi kredit macet meningkat akibat berbagai hal, seperti usaha yang lesu, pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga pemotongan upah yang harus diterima pekerja.
Ancaman kredit macet ini juga tumbuh seiring perkembangan industri Financial Technology (FinTech) P2P Lending di Indonesia. Hal ini terlihat dari outstanding pembiayaan FinTech P2P Lending pada Januari 2023 yang mencatatkan pertumbuhan sebesar 63,47 persen yoy mencapai Rp51,03 triliun (Desember 2022: Rp51,12 triliun atau sebesar 71,1 persen yoy).
Advertisement
Sementara itu, tingkat risiko kredit atau TKB90 tercatat 97,25 persen yoy dengan TWP90 tercatat turun menjadi 2,75 persen yoy (Desember 2022: 2,78 persen yoy). Sedangkan FinTech P2P Lending yang berizin dan diawasi oleh OJK telah mencapai 102 perusahaan.
Namun, salah satu perusahaan rintisan (startup) P2P Lending yang mampu menjaga eksistensinya dari ancaman kredit macet, yaitu PT Akseleran Keuangan Inklusif Indonesia (Akseleran).
Sebagai Platform P2P Lending di Indonesia, Akseleran telah berizin dan diawasi oleh OJK sebagai Penyelenggara Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan No. 77/POJK.01/2016.
Penyaluran Pinjaman
Perusahaan yang berdiri sejak 2017 ini, telah menyalurkan pinjaman sebesar hampir Rp7 triliun (2017-2022) dimana sebesar sekitar 97 persen di antaranya disalurkan kepada sektor produktif, khususnya UMKM.
Selain itu, yang lebih mengagumkan lagi ialah tingkat rasio kredit macetnya alias TKB90 yang konsisten berada di level 99,50 persen. Ini artinya kredit macet atau TWP90 yang ada di Akseleran hanya 0,5 persen.
Lantas bagaimana Akseleran bisa menjaga tingkat wanprestasi penyaluran kreditnya yang begitu rendah?
Group CEO & Co-Founder Akseleran, Ivan Nikolas Tambunan mengatakan, dalam industri Fintech P2P Lending, kredit macet atau bahasa perbankannya NPL merupakan tantangan terberat dan hama nomor satu di Akseleran. Oleh karenanya, sejak awal berdiri, pihaknya sudah fokus bagaimana memanage kredit macet.
"Buat kami di Akseleran hama nomor satu dari bisnis funding itu NPL. Nah ini yang harus kita pastikan kita lakukan assessment pinjaman secara seksama, secara prudent. Untungnya karena dari awal kita concern sama NPL, NPL kita compare to industry bagus banget, NPL to outstanding kita 0,5 persen makanya TKB90 kita 99,5 persen, itu jauh di atas average industri sekitar 97 persen artinya NPL-nya sekitar 3 persen," ujar Ivan, dikutip Sabtu (1/4/2023).
Mematikan Usaha Fintech
Lebih lanjut, dia menjelaskan bahwa NPL disebut seperti hama karena bila NPL itu tidak dikendalikan akan mematikan usaha Fintech itu sendiri.
"Jadi ini challenge yang menurut saya penting banget karena kalau NPL tinggi pemberi pinjamannya rugi, kalau pemberi pinjaman rugi, mereka akan kabur ya nggak ada fundingnya selesai marketplace. nah inilah challenge yang perlu make sure assessment harus dilakukan secara prudent," katanya.
Oleh karena itu, Ivan telah memiliki sejumlah strategi untuk mengendalikan kredit macet di perseroannya. Pertama, melakukan assessment pinjaman secara prudent dan seksama.
"Jadi kita lihat borrower itu nggak asal kita pinjamin duit tapi make sure borrower itu memang layak. Lihat layaknya dari mana sih? kita lihat dari sisi keuangannya, kita lihat lagi invoice atau PO Financing-nya, kita lihat underlying-nya sama credit history-nya. Ini semua digabung untuk melihat orang ini layak atau tidak. itu step satu ya," papar alumni Fakultas Hukum, Universitas Indonesia tersebut.
Kemudian langkah kedua, Akseleran menerapkan joint account arrangement di mana rekening pembayaran invoice akan masuk ke rekening debitur yang dikontrol bersama-sama Akseleran.
"Jadi dia tuh nggak bisa keluarin uang tanpa otoritasi dari kita," tambahnya.
Advertisement
Jurus Terakhir
Selanjutnya, apabila kedua langkah tersebut tetap berpotensi menjadi NPL, Akseleran masih punya jurus terakhir yakni credit insurance yang dapat meng-cover pinjaman tertunggak hingga 99 persen.
"Nah di sinilah peran lapis terakhir kita jagain dengan yang namanya credit insurance. kita punya credit insurance yang bisa cover 99% dari pokok pinjaman yang tertunggak. Efeknya ya TKB90 kita bagus di level 99,5 persen," ungkap lulusan S2 Queen Mary University of London ini.
Melalui strategi tersebut, Ivan berharap Akseleran dapat berkontribusi nyata bagi pertumbuhan UMKM di Indonesia dan mengurangi funding gap-nya yang begitu besar.
"Saya ingin punya andil untuk bantu UMKM apalagi di Indonesia ada funding gap yang diderita UMKM. Menurut OJK itu funding gap-nya bisa Rp1.000 sampai Rp 2.000 triliun per tahun dan ini makin membesar tiap tahunnya," imbuhnya.
Menurut pria kelahiran Jakarta, 36 tahun silam ini, tingginya funding gap tersebut karena skala dan jumlah UMKM semakin besar namun tidak diimbangi dengan kemudahan akses pendanaan bagi UMKM itu sendiri.
"Kenapa ada funding gap? karena ketika mereka meminjam, produk yang ditawarkan itu selalu membutuhkan agunan dalam bentuk tanah dan bangunan. Ini nggak cocok dengan usaha kecil menengah. Mereka kebanyakan nggak punya tanah dan bangunan dan kalaupun punya nggak cukup meng-cover modal kerjanya," pungkasnya.
Berangkat dari hal tersebut, hadirlah Akseleran yang menawarkan konsep baru pendanaan bagi UMKM yakni crowdfunding yang akan menghubungkan si pemberi pinjaman dan penerima pinjaman dengan produk pinjaman berbasis cashflow.
"Itu akan sangat membantu men-tackle funding gap tadi sambil skalian kita buka opportunity kepada masyarakat luas untuk berinvestasi pendanaaan," tutup Ivan yang juga menjabat sebagai ketua bidang hukum, etika dan perlindungan konsumen, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).