Liputan6.com, Jakarta - Pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mendapatkan berkah dari momen Lebaran dan pemilihan umum (Pemilu). Dengan dua momen tersebut diharapkan pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 5 persen pada akhir 2023.
Indonesia mendapatkan sejumlah katalis positif dari dalam negeri pada 2023. Vice President of Sales and Distribution PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Felicia Iskandar menuturkan, semester I 2023 konsumsi akan naik seiring ada momen Lebaran.
Advertisement
Apalagi momen Lebaran tersebut tidak ada pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM). Pada semester II 2023, ada momen kampanye untuk menghadapi pemilu 2024. Dengan ada pemilu dapat meningkatkan perputaran uang.
“Semester 2 kampanye, sirkulasi uang naik biasanya di bawah Rp 100 triliun, pergerakan di atas Rp 150 triliun. Perputaran uang naik, konsumsi naik, daya beli naik, pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, jadi dua katalis konsumsi tahun ini jarang ditemukan,” ujar dia, kepada Liputan6.com, ditulis Minggu (2/4/2023).
Ia menambahkan, saat ini pemilu paling akbar karena memilih presiden-wakil presiden, kepala daerah, dan DPR serentak. Selain itu, pemilih pada pemilu 2024 akan didominasi generasi muda sehingga berdampak terhadap konsumsi. Dengan momen tersebut, Felicia prediksi berdasarkan konsensus, pertumbuhan ekonomi di kisaran 5-5,3 persen pada 2023.
“Compact dan masif dalam periode pendek, konsumsi itu akan meningkat banyak, apalagi banyak yang pilih generasi milenial dan generasi Z suka shopping. Euforia pemilu dampak ke konsumsi akan lebih intens,” tutur dia.
Sentimen Global
Sementara itu, sentimen global seperti krisis perbankan yang terjadi di Amerika Serikat (AS) dan Eropa. Menurut Felicia tidak terlalu berdampak. Hal ini karena solusi sudah mulai jelas dengan koordinasi bank sentral menjaga agar tidak terjadi domino effect.
“So far aman, dalam arti apa yang dilakukan bank sentral, intinya bank regional di Amerika Serikat contoh tidak bisa bayar utang mereka akan dibeli obligasi oleh bank sentral di harga par, harga beli, jadi tidak rugi,” kata dia.
Felicia menambahkan, deposan dijamin uangnya sehingga tidak hilang. “Tadinya (dijamin-red) USD 250 ribu per bank, akhirnya bank sentral jamin 100 persen, akan terus dilakukan. Global financial crisis 2008 seperti terhindarkan,” ujar dia.
Namun, sisi lain, ia melihat bank sentral Amerika Serikat (AS) atau the Federal Reserve (the Fed) dilematis antara menaikkan suku bunga untuk menekan inflasi. Akan tetapi, hal itu berdampak terhadap likuiditas perbankan dan berpotensi berdampak terhadap ekonomi.
“Naikin pelan-pelan tapi ibaratnya inflasi tidak turun-turun, kelihatan inflasi 6-7 persen, suku bunga setop dulu (naik-red),” kata dia.
Advertisement
Menakar Dampak Kondisi Global Terkini bagi Ekonomi dan Pasar Modal RI
Sebelumnya, ekonomi Indonesia disebut lebih resilien selama periode krisis beberapa waktu terakhir. Termasuk saat bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed agresif mengerek suku bunga acuan untuk mengatasi inflasi.
Vice President of Sales and Distribution PT Ashmore Asset Management Indonesia Tbk (AMOR), Felicia Iskandar menilai ekonomi Indonesia sudah tidak lagi sepenuhnya mengekor pada Amerika Serikat. Sehingga sentimen yang terjadi di negara itu, akan berdampak relatif minim untuk ekonomi Indonesia.
“Kondisi perekonomian Indonesia sudah tidak terlalu mengekor AS. Jika ada dampak, itu lebih ke sisi kurs mata uang. Misalnya saat suku bunga naik, kurs rupiah terhadap dollar menguat. Artinya rupiah melemah,” terang Felicia dalam Money Buzz, Selasa (28/3/2023).
Di sisi lain, Felicia mengapresiasi langkah pemerintah Indonesia bersama Bank Sentral Indonesia, Bank Indonesia (BEI) dalam upaya untuk mewujudkan hilirisasi. Menurutnya, upaya tersebut berdampak positif pada surplus neraca dagang RI. Sehingga ekonomi domestik cukup resilien meski terjadi ketidakpastian pada ekonomi global.
“Ekonomi Indonesia sudah cukup independent.Ini prestasi dari pemerintah dan BI dalam 5-6 tahun terakhir yang melakukan perubahan yang struktural. Downstreaming atau hilirisasi, ini sukse tidak hanya naikkan ekspor, tapi juga jaga stabilitas rupiah,” jelas dia.
Volatilitas Masih Terjadi di Pasar Modal
Melalui hilirisasi, Felicia mengatakan lebih banyak dolar Amerika Serikat masuk. Bersamaan dengan itu, ekspor naik setidaknya 10 kali lipat hingga mengalami current account surplus. Kondisi ini menunjukkan Indonesia telah masuk pada pertumbuhan yang lebih baik, dari sebelumnya yang mungkin terhambat ongkos impor saat rupiah tertekan.
“Selama ini kita kalau mau tumbuh harus impor lebih banyak, rupiah melemah. Sekarang rupiah stabil, current account surplus. Kalau mau genjot impor untuk pertumbuhan ekonomi itu tidak terhambat,” ujar Felicia.
Sementara di pasar modal, Felicia mengatakan volatilitas masih mungkin terjadi. Namun melihat ekonomi domestik yang masih positif, dia menilai pasar modal Indonesia berpotensi mengalami tren serupa.
“Kalau pasar modal, investor mau lebih dulu untuk mengambil momentum atau kesempatan. Jadi pasti volatilitas ada… Tapi secara keseluruhan, indonesia punya katalis domestik yang bisa gerakkan pasar modal indonesia,” ujar dia.
Advertisement