Mengetahui Apa Itu Gratifikasi, Kasus yang Menjerat Rafael Alun Trisambodo

Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Rafael Alun Trisambodo, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi senilai 90 ribu dolar AS atau sekitar Rp 1,3 miliar lewat perusahaan konsultan pajak miliknya. Lantas apa yang dimaksud dengan gratifikasi?

oleh Camelia diperbarui 04 Apr 2023, 12:09 WIB
Rafael Alun ditahan usai diperiksa untuk pertama kalinya sebagai tersangka. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Jakarta Mantan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI, Rafael Alun Trisambodo, akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dugaan gratifikasi senilai 90 ribu dolar AS atau sekitar Rp 1,3 miliar lewat perusahaan konsultan pajak miliknya.

Ketua KPK Komjen Pol Firli Bahuri mengatakan, kasus ini bermula saat Rafael Alun Trisambodo diangkat menjadi Kepala Bidang Pemeriksaan, Penyidikan dan Penagihan Pajak pada Kantor Wilayah Ditjen Pajak Jawa Timur I pada 2011.

"Dengan jabatannya tersebut diduga RAT (Rafael Alun) menerima gratifikasi dari beberapa wajib pajak atas pengkondisian berbagai temuan pemeriksaan perpajakannya," ujar Firli dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta Selatan, Senin (3/4/2023).

Lantas apa yang dimaksud dengan Gratifikasi dan seperti apa contohnya? Dilansir dari laman resmi Ditjen Perbendaharaan Kemenkeu, Selasa (4/4/2023) gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yaitu meliputi pemberian uang, barang, rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. 

Gratifikasi tersebut bisa diterima baik di dalam negeri maupun di luar negeri, yang dilakukan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik. Masih berdasarkan dari sumber yang sama, gratifikasi pada dasarnya dikatakan sebagai “suap yang tertunda” atau sering juga disebut “suap terselubung”. 

Nantinya pegawai negeri atau penyelenggara negara yang terbiasa menerima gratifikasi terlarang lama kelamaan dapat terjerumus melakukan korupsi bentuk lain, seperti suap, pemerasan dan korupsi lainnya. Sehingga gratifikasi dianggap sebagai akar dari korupsi.

Tentunya gratifikasi dilarang karena dapat mendorong pegawai negeri atau penyelenggara negara bersikap tidak obyektif, tidak adil dan tidak professional. Sehingga pegawai negeri atau penyelenggara negara tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.


Pasal yang Mengatur Larangan Gratifikasi Serta Sanksinya

Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Liputan6.com/Fachrur Rozie)

Sementara itu dilansir dari laman resmi KPK, peraturan yang mengatur gratifikasi terdapat dalam Pasal 12B ayat (1) UU No.31/1999 jo UU No. 20/2001, yang berbunyi: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya,

Sedangkan terkait sanksi sendiri terdapat dalam Pasal 12B ayat (2) UU no. 31/1999 jo UU No. 20/2001 yang berbunyi: Pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.


Lantas Apa Bedanya Gratifikasi dengan Suap dan Pungli?

Ilustrasi korupsi (Istimewa)

Rupanya ada perbedaan yang jelas antara gratifikasi dengan suap dan pungli. Dilansir dari laman KPPN Kotabumi, Suap terjadi apabila pengguna jasa secara aktif menawarkan imbalan kepada petugas layanan dengan maksud agar tujuannya lebih cepat tercapai walau melanggar prosedur. 

Sementara itu pungli terjadi apabila petugas layanan secara aktif menawarkan jasa atau meminta imbalan kepada pengguna layanan dengan maksud agar dapat membantu mempercepat tercapainya tujuan si pengguna jasa. 

Secara singkat, dalam kasus suap dan pungli ada sebuah transaksi antara kedua belah pihak sedangkan dalam gratifikasi tidak ada. Gratifikasi lebih sering ditujukan agar petugas layanan dapat tersentuh hatinya sehingga suatu hari akan mempermudah tujuan pengguna jasa. 


Contoh Gratifikasi yang Wajib Dilaporkan dan Tidak Wajib Dilaporkan

Ilustrasi Korupsi. (Photo by Pixabay)

Ada beberapa kategori gratifikasi yang wajib dilaporkan dan tidak boleh diterima. PMK Nomor 7/PMK.09/2017 tentang Pedoman Pengendalian Gratifikasi di Kementerian Keuangan membagi Gratifikasi menjadi dua kategori yaitu gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan.

Gratifikasi Wajib Dilaporkan

Gratifikasi yang wajib dilaporkan meliputi gratifikasi yang diterima dan/atau ditolak oleh ASN Kemenkeu, yang berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas yang bersangkutan dan gratifikasi yang ditujukan kepada unit kerja dari pihak yang mempunyai benturan kepentingan. Untuk memudahkan pemahaman, contoh gratifikasi yang tidak boleh diterima biasanya seperti:

  1. Terkait dengan pemberian layanan pada masyarakat diluar penerimaan yang sah.
  2. Terkait dengan tugas dalam proses penyusunan anggaran diluar penerimaan yang sah.
  3. Terkait dengan tugas dalam proses pemeriksaan, audit, monitoring dan evaluasi diluar penerimaan yang sah.
  4. Terkait dengan pelaksanaan perjalanan dinas diluar penerimaan yang sah/resmi dari instansi.
  5. Dalam proses penerimaan/promosi/mutasi pegawai.

Gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan

Sementara itu, gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan meliputi:

Gratifikasi yang terkait kedinasan, terdiri atas:

  • Segala sesuatu yang diperoleh dari seminar, workshop, konferensi, pelatihan, atau kegiatan lain sejenis, di dalam negeri maupun di luar negeri, baik yang diperoleh dari panitia seminar, penyelenggara, atau penyedia layanan transportasi dan penginapan dalam rangka kepesertaan yang antara lain seperti disebutkan di dalam PMK Nomor 7/PMK.09/2017.
  • Kompensasi yang diterima dari pihak lain sepanjang tidak melebihi standar biaya yang berlaku di Kementerian Keuangan, tidak terdapat Pembiayaan Ganda, Benturan Kepentingan, atau pelanggaran atas ketentuan yang berlaku di instansi penerima yang antara lain seperti disebutkan di dalam PMK Nomor 7/PMK.09/2017.

Gratifikasi yang tidak terkait kedinasan, meliputi:

  • Hadiah langsung/undian, rabat (diskon), voucher, point rewards, atau suvenir yang Berlaku Umum;
  • Prestasi akademis atau non (kejuaraan / perlombaan / kompetisi) biaya sendiri;
  • Keuntungan/bunga dari penempatan dana, investasi atau kepemilikan saham pribadi yang Berlaku Umum;
  • Kompensasi atas profesi di luar Kedinasan yang tidak terkait dengan tugas fungsi dari ASN Kemenkeu, dan tidak mempunyai Benturan Kepentingan serta tidak melanggar kode etik pegawai;
  • Pemberian karena hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus 2 (dua) derajat atau dalam garis keturunan ke samping 1 (satu) derajat sepanJang tidak mempunyai Benturan Kepentingan dengan penerima Gratifikasi;
  • Pemberian karena hubungan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus 1 ( satu) derajat atau dalam garis keturunan kesamping 1 (satu) derajat sepanjang tidak mempunyai Benturan Kepentingan dengan penerima Gratifikasi;
  • Pemberian yang berasal dari Pihak Lain sebagai hadiah pada perayaan perkawinan, khitanan anak, ulang tahun, kegiatan keagamaan / adat / tradisi, dengan nilai keseluruhan paling banyak Rpl.000.000,00 (satu juta rupiah) dari masing-masing pemberi pada setiap kegiatan atau peristiwa yang bersangkutan dan bukan dari Pihak yang Mempunyai Benturan Kepentingan dengan penerima Gratifikasi;
  • Pemberian dari Pihak Lain terkait dengan musibah dan bencana, dan bukan dari Pihak yang Mempunyai Benturan Kepentingan dengan penerima Gratifikasi;
  • Pemberian dari sesama rekan kerja, baik dari atasan, rekan setingkat atau bawahan yang tidak dalam bentuk uang, dengan nilai maksimal Rp 200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) per acara/ peristiwa dengan batasan nilai maksimal Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun dari masingmasing pemberi, dalam rangka promosi jabatan; dan/atau pindah/mutasi kerja.
Infografis rincian harta kekayaan Rafael Alun Trisambodo. (Foto: Dok. Instagram @liputan6)

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya