Gangguan Makan di Kalangan Remaja Meningkat Lebih dari 2 Kali Lipat Selama Pandemi COVID-19

Remaja dengan gangguan makan berisiko lebih tinggi untuk bunuh diri daripada populasi umum.

oleh Dyah Ayu Pamela diperbarui 04 Apr 2023, 13:01 WIB
Ilustrasi gangguan makan pada remaja. (dok. pexels/Mikhail Nilov)

Liputan6.com, Jakarta - Pandemi COVID-19 telah dikaitkan dengan memburuknya kesehatan mental di kalangan remaja, termasuk meningkatnya jumlah pasien dengan gangguan makan. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa jumlah remaja yang mengalami gangguan makan naik lebih dari dua kali lipat selama pandemi COVID-19.

Hal ini sangat memprihatinkan mengingat gangguan makan adalah salah satu yang paling mematikan dari semua diagnosis kesehatan mental. Remaja dengan gangguan makan berisiko lebih tinggi untuk bunuh diri daripada populasi umum.

Sementara para ahli tidak tahu persis mengapa gangguan makan berkembang, penelitian menunjukkan bahwa ketidakpuasan tubuh dan keinginan menurunkan berat badan adalah kontributor utama. Hal ini dapat membuat percakapan seputar berat badan dan perilaku sehat jadi sangat rumit di kalangan remaja dan dewasa muda.

"Sebagai seorang dokter bagi remaja yang berspesialisasi dalam gangguan makan, saya telah melihat secara langsung peningkatan pasien dengan gangguan makan, serta efek merugikan dari stereotip gangguan makan," ungkap Sydney Hartman-Munick dari UMass Memorial Health yang khusus menangani Layanan Spesialis Anak dan Pediatri, seperti dikutip dari Japan Today, Selasa (4/4/2023). 

Sydney mengatakan, ia secara teratur bekerja sama dengan keluarga untuk membantu remaja mengembangkan hubungan positif dengan citra tubuh, makan, dan berolahraga. Memahami tanda-tanda gangguan makan itu penting, menurutnya, karena penelitian menunjukkan diagnosis dan pengobatan tepat waktu mengarah pada peluang pemulihan penuh yang lebih baik.

Gangguan makan yang sering dimulai pada masa remaja, termasuk anoreksia nervosa, bulimia nervosa, dan gangguan pesta makan. Setiap gangguan makan memiliki kriteria khusus yang harus dipenuhi untuk didiagnosis seorang profesional dengan keahlian gangguan makan. 


Komplikasi Medis Gangguan Makan

Ilustrasi gangguan makan pada remaja/https://unsplash.com/Helena Lopes

Penelitian menunjukkan bahwa hingga 10 persen orang akan mengalami gangguan makan dalam hidup mereka. Komplikasi medis dari gangguan makan, seperti detak jantung rendah dan kelainan elektrolit, bisa berbahaya dan mengakibatkan rawat inap, sementara malnutrisi memengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tubuh.

"Banyak pasien yang saya temui di klinik menunjukkan tanda-tanda pubertas dan pertumbuhan terhenti, yang dapat memengaruhi kesehatan tulang, tinggi badan orang dewasa, dan aspek kesehatan lain jika tidak ditangani dengan cepat," papar Sydney.

Remaja juga berisiko mengalami gangguan perilaku makan, seperti muntah yang disengaja, pembatasan kalori, pesta makan, olahraga berlebihan, penggunaan suplemen penurun berat badan, dan penyalahgunaan obat pencahar. Sebuah studi baru-baru ini memperkirakan bahwa satu dari lima remaja mungkin bergumul dengan perilaku makan yang tidak teratur.

"Meski ini mungkin tidak memenuhi syarat sebagai gangguan makan, perilaku tersebut dapat memprediksi perkembangan gangguan makan di kemudian hari," sebutnya.

Lebih lanjut Sydney mengungkap metode pengobatan untuk gangguan makan bervariasi dan bergantung pada banyak faktor, termasuk stabilitas medis pasien, preferensi dan kebutuhan keluarga, sumber daya lokal, serta perlindungan asuransi.

Perawatan dapat mencakup tim yang terdiri dari penyedia medis, ahli gizi dan terapis, atau melibatkan penggunaan program gangguan makan khusus yang direkomendasikan dokter anak atau penyedia gangguan makan khusus.

 


Kesalahpahaman dan Stereotip Gangguan Makan

Ilustrasi gangguan makan pada remaja. (unsplash.com/Louis Hansel)

Stereotip tradisional tentang gangguan makan telah membuat banyak orang mendapat kesan bahwa kebanyakan wanita kurus, berkulit putih, dan kaya lah yang mengalami gangguan makan. Namun, penelitian menunjukkan bahwa siapa pun dapat mengembangkan kondisi ini, tanpa memandang usia, ras, ukuran tubuh, identitas gender, orientasi seksual, atau status sosial ekonomi.

Berlawanan dengan asumsi populer, penelitian menunjukkan remaja laki-laki juga berisiko mengalami gangguan makan. Ini sering tidak terdeteksi dan dapat disamarkan sebagai keinginan untuk jadi lebih berotot.

Namun, gangguan makan sama berbahayanya bagi anak laki-laki, seperti halnya bagi anak perempuan. Orangtua dan orang yang dicintai dapat berperan dalam membantu menghilangkan stereotip ini dengan mengadvokasi anak mereka di kantor dokter anak jika timbul kekhawatiran gangguan makan.

Juga, dengan mengenali tanda bahaya untuk gangguan makan dan perilaku makan yang tidak teratur. Mengingat betapa umum gangguan makan di kalangan remaja, penting memahami beberapa tanda kondisi tersebut.

 Perilaku bermasalah dapat mencakup makan sendiri atau diam-diam, terlalu fokus pada makanan "sehat," dan kesusahan saat makanan tersebut tidak tersedia. Tanda-tanda lain, termasuk ukuran porsi yang berkurang secara signifikan, melewatkan makan, berkelahi saat makan, menggunakan kamar mandi segera setelah makan, dan penurunan berat badan.


Cara Mengatasi Gangguan Makan

Ilustrasi mangatasi gangguan makan pada remaja. (Sumber foto: Pexels.com).

Remaja mungkin tidak langsung terbuka tentang kekhawatiran mereka. Karenanya, orangtua berperan penting dalam pengembangan harga diri remaja. Penelitian menunjukkan bahwa komentar negatif dari orangtua tentang berat badan, ukuran tubuh, dan pola makan berhubungan dengan pola pikir gangguan pola makan pada remaja.

Maka itu, saat berbicara dengan remaja, ada baiknya mengambil pendekatan berat badan netral, yang lebih berfokus pada kesehatan secara keseluruhan daripada sekadar ukuran. "Sayangnya saya memiliki banyak pasien dengan gangguan makan yang dimarahi atau diejek tentang berat badannya oleh anggota keluarga. Ini bisa sangat berbahaya dalam jangka panjang," ungkap Sydney. 

Salah satu strategi mengatasi gangguan makan adalah memasukkan banyak variasi ke dalam makanan remaja. Jika memungkinkan, mencoba makanan baru bersama keluarga dapat mendorong anak remaja mencoba sesuatu yang belum pernah mereka coba sebelumnya.

Mengajari remaja menghargai berbagai jenis makanan dalam diet mereka memungkinkan mereka mengembangkan hubungan yang sehat dan berpengetahuan dengan makanan. Penting diingat bahwa remaja membutuhkan banyak nutrisi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan.

Makan teratur membantu menghindari rasa lapar ekstrem yang dapat menyebabkan makan berlebihan.  Berfokus pada hal-hal positif yang dapat dilakukan saat berolahraga, seperti peningkatan mood dan energi, juga dapat membantu menghindari membuat gerakan terasa kompulsif atau dipaksakan.

Ketika remaja dapat menemukan gerakan yang mereka sukai, itu dapat membantu mereka menghargai tubuh mereka.

 

Infografis Tradisi Makan Bersama dari Berbagai Daerah di Indonesia. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya