Liputan6.com, Jakarta - Harga emas berpotensi menguat dan menguji level resistance USD 2.000 per ounce. Potensi kenaikan harga emas ini seiring lonjakan harga minyak tidak akan mendorong inflasi lebih tinggi sehingga tetap menjaga the Federal Reserve (the Fed) atau bank sentral Amerika Serikat (AS) pada jalur untuk menurunkan suku bunga semester II 2023.
Dikutip dari Kitco, Selasa (4/4/2023), meski emas bertahan mendekati level tertinggi dalam setahun, harga minyak menjadi fokus setelah reli 8 persen pada awal sesi. Harga minyak mendapatkan dorongan signifikan karena pasar terus bereaksi terhadap pemangkasan produksi yang mengejutkan pada Minggu, 2 April 2023 dari organisai negara pengekspor minyak (OPEC).
Advertisement
Harga minyak West Texas Intermediate (WTI) mempertahankan kenaikan pada awalnya, kemudian diperdagangkan pada USD 80,10 per ounce, atau naik sekitar 6 persen pada awal pekan ini.
Selama akhir pekan, OPEC mengatakan akan memangkas produksi minyak sebesar 1,16 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun. Arab Saudi memimpin pemangkasan setelah mengumumkan akan menerapkan pemangkasan secara sukarela di bawah 5 persen dari produksinya atau 500.000 barel per hari. Hal ini setelah koordinasi dengan beberapa negara OPEC dan anggota non-OPEC lainnya.
Kenaikan Harga Minyak Bakal Persulit The Fed
Sejumlah analis menilai, kenaikan harga minyak dapat mempersulit upaya the Federal Reserve (the Fed) dan bank sentral lainnya menurunkan inflasi.
Harga minyak yang tinggi dapat berdampak signifikan terhadap inflasi. Beberapa analis mengatakan, pengurangan produksi dapat menyebabkan harga minyak kembali ke posisi USD 100 per barel.
“Pengurangan satu juta barel per hari (bpd) yang dilaporkan berdampak dan waktunya untuk efek maksimal,” ujar Peter McNally, Global Sector for Industrials Materials and Energy Third Bridge.
Ia menambahkan, dengan OPEC+ bergerak lebih agresif untuk menyeimbangkan pasar minyak, sumber pasokan alternatif terlihat terbatas dan dampak harga dapat menjadi material.
Direktur MarketGauge, Michele Sheinder menuturkan, jika harga minyak berpotensi tembus di atas USD 82 per barel, dan mengesampingkan pergerakan ke USD 100 per barel. Namun, ia menambahkan, hal ini akan terus mendukung harga emas karena menunjukkan the Federal Reserve tidak dapat mengendalikan inflasi.
Kenaikan Harga Minyak Menambah Ketidakpastian di Pasar Keuangan
Sementara kenaikan harga minyak menambah ketidakpastian baru untuk pasar keuangan. Kitco menyebutkan, reli tersebut tidak cukup besar untuk mengkhawatirkan the Federal Reserve, menurut beberapa analis yang selanjutnya akan mendukung harga emas.
Head of Commodity Strategy Saxo Bank, Ole Hansen menuturkan, pengurangan produksi OPEC akan membawa pasar lebih seimbang. Ia mengatakan, jika harga minyak terus diperdagangkan sekitar USD 80 per barel, itu tidak akan menciptakan rezim inflasi baru yang akan bebani emas.
“OPEC melihat apa yang dilihat emas, pertumbuhan yang lebih lemah akhir tahun ini. Pertumbuhan yang lebih lemah berarti permintaan minyak yang lebih rendah sehingga OPEC sedikit frustasi dengan aksi harga dan hanya mencoba proaktif,” tutur dia.
Hansen menambahkan, sementara harga minyak USD 100 berpotensi dongkrak inflasi itu juga akan mendorong ekonomi global ke dalam resesi. Hal ini akhirnya menurunkan permintaan minyak ke depan. “Itu adalah hal terakhir yang diinginkan OPEC saat ini,” ujar dia.
Advertisement
Prediksi Harga Emas
Sementara itu, Chief Market Strategist SIA Wealth Management, Colin Cieszynski tidak mengharapkan pemangkasan produksi minyak OPEC menyebabkan the Federal Reserve (the Fed) mengubah jalurnya saat ini dengan membiarkan suku bunga tidak berubah.
Ia mencatat jika harga minyak bertahan di sekitar USD 80 per barel, harga minyak masih akan turun dari harga tertinggi pada 2022, yang berarti inflasi masih melambat. “Inflasi masih akan melambat, tidak pada kecepatan yang diinginkan federal Reserve,” ujar dia.
Cieszynski melihat harga emas konsolidasi di kisaran USD 1.940-USD 2.050 per ounce didorong permintaan safe-haven yang sedang berlangsung.
“Inflasi masih terkendali, namun masih banyak kekhawatiran terkait kesehatan sektor perbankan dan investor khawatir selanjutnya akan turun. Ini akan membuat emas tetap didukung meski harga minyak naik,” ujar dia.
Hansen menuturkan harga emas akan mendapat dukungan. Ia mencatat meskipun OPEC memangkas produksi minyak, pasar masih mengharapkan bank sentral AS untuk memangkas suku bunga sebelum akhir tahun.
“Kecuali emas jatuh melalui support di USD 1.930 per ounce, kami melihat hal lain sebagai koreksi harga jangka pendek,” ujar dia.
Hanya Masalah Waktu
Ekonom Degussa, Thorsten Polleit menuturkan, meski harga minyak menguat sebabkan inflasi, sehingga berdampak buruk pada ekonomi dan berdampak signifikan terhadap konsumen.
Ia menuturkan, kontraksi jumlah uang beredar dan krisis perbankan saat ini menjadi tanda dunia menuju resesi. “Penurunan pasokan uang riil dan kredit riil seperti membanting ekonomi dan lonjakan harga eneri lebih lanjut akan meningkatkan kemungkinan resesi yang parah terutama jika bank sentral terus menaikkan suku bunga,” ujar dia.
Polleit menuturkan, hanya masalah waktu sebelum harga tembus di atas USD 2.000 per ounce.
“Risiko dalam arsitektur keuangan internasional terus meningkat, dan inflasi tinggi yang sedang berlangsung berarti suku bunga riil akan tetap berada di wilayah negatif tanpa akhir yang terlihat,” ujar dia.
Selain itu, bank sentral dapat dengan mudah mengubah siklus penurunan saat ini menjadi resesi yang parah. “Dalam skenario seperti itu, hampir tidak ada aset yang tersisa yang pantas mendapatkan kepercayaan investor satu pengecualiaan adalah emas dan perak fisik,” ujar dia.
Advertisement