Liputan6.com, Jakarta - Malam Lailatul Qadar populer dengan julukannya, malam seribu bulan. Tak pelak, ini adalah malam yang begitu didamba umat Islam pada bulan Ramadhan.
Malam Lailatul qadar banyak diburu. Itulah malam ketika amal ibadah seseorang bernilai 1.000 bulan.
Baca Juga
Advertisement
Namun begitu, banyak pendapat soal kapan malam lailatul qadar terjadi. Ada yang menyebutnya tanggal 17 Ramadhan, 10 hari terakhir Ramadhan, bahkan ada pula pendapat yang menyebut bahwa malam lailatul qadar bisa saja terjadi sejak awal Ramadhan hingga akhir.
Soal ini, Ulama KH Ahmad Bahauddin Nursalim atau Gus Baha menjelaskan berbagai pertanyaan tersebut. Beliau menjelaskan soal waktu hingga hikmah kenapa ada malam lailatul qadar.
Penjelasan Gus Baha ini diulas secara apik dan terperinci oleh Ahmad Naufa Khoirul Faizun, kader NU asal Purworejo; pecinta kajian Gus Baha, di NU Online. Berikut ulasannya, semoga bermanfaat.
Saksikan Video Pilihan Ini:
Penjelasan Gus Baha soal Misteri Lailatul Qadar
Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH Bahauddin Nur Salim atau akrab disapa Gus Baha menjelaskan tentang keistimewaan malam Lailatul Qadar. Menurutnya, malam yang disebut Al-Qur'an sebagai malam yang lebih mulia dari seribu bulan itu adalah jawaban Allah terhadap keresahan yang sebelumnya menimpa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Terkait dengan penentuan waktu Lailatul Qadar, Gus Baha mengungkapkan bahwa ulama berbeda pendapat tentang hal itu. “Nuzulul Qur’an itu malam (tanggal) 17 (Ramadhan). Jadi kalau itu memang disepakati ulama, berarti itu sudah selesai. Jadi tak usah dicari. Tapi kamu ya jangan bilang begitu. Bagaimanapun, menurut Nabi, disuruh mencari di 10 akhir (Ramadhan). Tapi ada ulama yang menduga 10 + 10, berarti mulai tanggal 11,” terangnya.
Gus Baha menjelaskan, Nuzulul Quran itu memang terjadi pada tanggal 17 Ramadhan, karena tanggal itu sudah menjadi kesepakatan ulama. Beliau pun mengutip ayat tentang Perang Badar yang terkait dengan turunnya Al-Qur’an ini.
وَمَآ اَنْزَلْنَا عَلٰى عَبْدِنَا يَوْمَ الْفُرْقَانِ يَوْمَ الْتَقَى الْجَمْعٰنِ
“…Dan kepada apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari bertemunya dua pasukan….” (QS. 8:41).
“Tapi keyakinan saya, ya. Keyakinan saya, yang penting dicari, tapi yakin dapat saja. Yang penting dicari, tapi yang penting yakin dapat,” jelas Gus Baha, menekankan pada keyakinan mendapatkan keberkahan Lailatul Qadar.
Keyakinan memperoleh malam istimewa itu, beliau dasarkan pada sebuah kitab klasik, kitab-kitab hadits karya ulama kuno. Kali ini, Gus Baha tak menyebut nama kitab yang dimaksud. Hanya saja di kitab itu disebutkan, Nabi Muhammad sedang cerita bahwa Nabi Nuh umurnya 1.000 tahun kurang 50, yang berarti 950 tahun.
Nabi Ibrahim dan beberapa nabi terdahulu pun berumur panjang. Kemudian Nabi Muhammad merasa resah tentang usia rata-rata umatnya yang tergolong pendek. Lalu Allah SWT merespons keresahan Nabi Muhammad tersebut dengan memberi bonus Lailatul Qadar yang nilainya sama dengan 1.000 tahun.
“Itu rata-rata orang menghitung, (umurnya) 83,3,” kata Gus Baha, mengonversi 1.000 bulan sama dengan 83,3 tahun.
Jika melihat riwayat itu, berarti otomatis umat Nabi Muhammad dalam mengisi Ramadhan selama ini sudah benar. “Arti benar: Kalau shalat menghadap kiblat, seperti umumnya orang. Kalau tidak maksiat, menurut saya dapat Lailatul Qadar. Karena itu memang keresahan Nabi yang dijawab Allah, diberi bonus: 'Umatmu, Mahammad, meski umurnya pendek, Ku-beri ibadah Lailatul Qadar’," jelas Gus Baha.
Advertisement
Waktu Ideal Lebih Giat Ibadah
Lebih lanjut, kiai asal Narukan, Kragan, Rembang, ini menjelaskan waktu ideal mencari Lailatul Qadar. “Kalau saya biasa (malam) 11, kalau di sini (malam) 21, 23? Di desa saya, yang malam 17 itu di mushala saya saja, yang lainnya (malam) 21, 23. Jadi saya ya minoritas. Kalau malam 21, 23, orang beribadah banyak,” terangnya.
Dalam hal ini, Gus Baha juga pernah ditanya orang, "Sudah ibadah, Gus?" "Aku sudah lewat, tapi sisanya masih, punyamu,” jawabnya berseloroh.
Menurut Gus Baha, untuk menghargai Al-Qur’an dan Hadits, kita mesti mengambil yang tengah-tengah. Dalam Al-Qur’an, petunjuk itu tak disertai tanggal.
شَهْرُ رَمَضَانَ ٱلَّذِىٓ أُنزِلَ فِيهِ ٱلْقُرْءَانُ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an…” (QS. Al-Baqarah: 185).
Ia menjelaskan, ayat tersebut masih bermakna umum, bukan tanggal tertentu. Tak heran bila ada ulama yang berpendapat bahwa Lailatul Qadar bisa dimulai sejak tanggal 1 Ramadhan. Menurutnya, yang dimaksud dengan sungguh-sungguh itu berarti klimaks. Kalau ingin klimaks, berarti mulainya harus dari tanggal 1 Ramadhan.
“Kalau kamu mencari sungguh-sungguh mulai tanggal 21 (Ramadhan), kata malaikat: ‘Lho, kok baru mencari sekarang?’ Berarti dianggap pemula, kan? Makanya tak dapat, perkaranya pemula. ‘Lho, kok baru mencari?’ Jadi yang lain sudah mulai, sudah waktunya dapat, kamu baru mencari,” bebernya kepada para santri.
“Saya itu sudah start mulai tanggal 1 (Ramadhan). Saya baca Arbain Nawawi khatam. Baca Al-Qur’an juga khatam. Kemarin tanggal 17 (Ramadhan) sudah saya doain. Jadi potensi dapat saya lebih tinggi. Kalau kamu baru mulai tadi, kan? Berarti tak begitu sungguhan, karena baru mulai. Jadi, diumumkan tanggal 1 Ramadhan kamu tidur, pas tanggal 20 (baru) sungguh-sungguh. Berarti ibarat balapan kan sudah kalah banyak,” kelakar Gus Baha menjelaskan dengan logika.
Kiai yang kerapkali tampil dengan baju putih itu pun mengajak kita agar menjiwai dalam membaca hadits. Hadits tentang Lailatul Qadar menampilkan pesan bahwa Nabi bersungguh-sungguh di sepuluh akhir. Yang seharusnya digaribawahi adalah kesungguhannya itu, bukan pencariannya. Tak ada hadits yang mengharuskan kita mencari Lailatul Qadar tanggal 21 Ramadhan.
“Tapi tetap yang tadi ya. Keyakinan saya, berkah luasnya Rahmat Allah, semoga yang penting selagi umat Nabi. Yang ketika itu tak maksiat, pokoknya meski saleh-saleh biasa begini, saleh ‘kelas ringan’, yang penting tidak maksiat, itu tetap mendapat Lailatul Qadar,” terang Gus Baha, optimistis.
Ibadah
Beliau juga mencuplik sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam:
نَوْمُ الصَّائِمِ عِبَادَةٌ وَصُمْتُهُ تَسْبِيْحٌ وَعَمَلُهُ مُضَاعَفٌ وَدُعَاؤُهُ مُسْتَجَابٌ وَذَنْبُهُ مَغْفُوْرٌ
“Tidurnya orang puasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amal ibadahnya dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampuni” (HR Baihaqi).
Jadi, menurutnya, aslinya sewaktu-waktu itu ibadah. Tidurnya saja ibadah.
“Umat Nabi, menggauli istri saja ibadah. Lho, itu ada hadits sahih,” terangnya, sambil mengutip sebagian hadits yang dimaksud.
عَنْ أَبِى ذَرٍّ أَنَّ نَاسًا مِنْ أَصْحَابِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالُوا لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- يَا رَسُولَ اللَّهِ ذَهَبَ أَهْلُ الدُّثُورِ بِالأُجُورِ يُصَلُّونَ كَمَا نُصَلِّى وَيَصُومُونَ كَمَا نَصُومُ وَيَتَصَدَّقُونَ بِفُضُولِ أَمْوَالِهِمْ. قَالَ « أَوَلَيْسَ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ مَا تَصَّدَّقُونَ إِنَّ بِكُلِّ تَسْبِيحَةٍ صَدَقَةً وَكُلِّ تَكْبِيرَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَحْمِيدَةٍ صَدَقَةٌ وَكُلِّ تَهْلِيلَةٍ صَدَقَةٌ وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوفِ صَدَقَةٌ وَنَهْىٌ عَنْ مُنْكَرٍ صَدَقَةٌ وَفِى بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ ». قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيَأْتِى أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُونُ لَهُ فِيهَا أَجْرٌ قَالَ « أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِى حَرَامٍ أَكَانَ عَلَيْهِ فِيهَا وِزْرٌ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِى الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ
Dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Sesungguhnya sebagian dari para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Wahai Rasulullah, orang-orang kaya lebih banyak mendapat pahala, mereka mengerjakan shalat sebagaimana kami shalat, mereka berpuasa sebagaimana kami berpuasa, dan mereka bersedekah dengan kelebihan harta mereka’. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Bukankah Allah telah menjadikan bagi kamu sesuatu untuk bersedekah? Sesungguhnya tiap-tiap tasbih adalah sedekah, tiap-tiap tahmid adalah sedekah, tiap-tiap tahlil adalah sedekah, menyuruh kepada kebaikan adalah sedekah, mencegah kemungkaran adalah sedekah, dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah’. Mereka bertanya, ‘Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala’,” (HR Muslim No. 2376).
Sampai-sampai, lanjut Gus Baha, ada sahabat janggal, "Nabi, masak bersenggama kok ibadah?" "Lha kalau menggauli istri orang?" jawab Nabi.
Nabi Muhammad dalam menjawabnya juga lucu: "Kalau menggauli istri orang?" Kan musibah.
Berarti kalau menggauli istri sendiri? Ibadah. Gus Baha meminta agar Lailatul Qadar tak usah diperdalam. Kita mesti yakin saja bahwa itu adalah bentuk kasih sayang Tuhan untuk menggantikan umur umat Nabi yang tak sepanjang umur orang-orang zaman dahulu.
“Itu jelas, saya baca teks, tidak mimpi, tidak mengigau, memang begitu. Biar tidak berlebihan. Jadi itu dari awal sudah bonus, sudah hadiah. Tapi sekarang kita berlebihan: ‘Gerakan Menangkap Lailatul Qadar,’ malaikat ketangkap, ya malu,” seloroh Gus Baha.
“Malah repot; bikin istilahnya itu lho, repotnya. Malaikat itu ‘nur’ kok mau ditangkap. Malah berlarian. Aneh-aneh saja kamu. Jadi, Lailatul Qadri khairum min alfi syahr (QS. Al-Qadr: 2) itu menggantikan umur Nabi Nuh, dan nabi-nabi zaman kuno,” pungkasnya. (Sumber: nu.or.id).
Tim Rembulan
Advertisement