Liputan6.com, Rwanda - Kenangan masa kecil yang menyakitkan bagi Pastor Marcel Uwineza, ketika dirinya yang baru berusia 14 tahun menyaksikan genosida tahun 1994 di Rwanda, Afrika Timur.
Ingatannya merekam jelas bagaimana ayah, ibu, dua saudara laki-laki, dan seorang saudara perempuannya dibunuh saat perang saudara antara Tutsi dan Hutu.
Advertisement
Melansir Catholic News Agency, Rabu (5/4/2023), bertahun-tahun lamanya Uwineza hidup sebagai seorang yatim piatu. Kini ia telah menjadi seorang imam Katolik di Serikat Yesus.
Uwineza merasa kemampuannya dalam mengatasi rasa kehilangan itu dibantu oleh imannya.
Perjalanan yang sangat panjang bagi Uwineza hingga akhirnya ia maafkan pembunuh keluarganya.
Pastor itu menulis sebuah buku berjudul "Risen from the Ashes: Theology as Autobiography in Post-genocide Rwanda”, di dalamnya ia mengenang pengalamannya selamat dari genosida.
Melalui buku itu, ia berusaha menyampaikan caranya memahami secara spiritual peristiwa tragis Rwanda tahun 1994 yang kemudian menumbuhkan pengampunan dan rekonsiliasi.
Uwineza sedikit bercerita saat peluncuran resmi buku barunya pada 13 Januari lalu, "Saya berdoa dan menyadari inilah saat untuk mencurahkan apa yang telah saya pelajari."
"Bagaimana saya bisa menceritakan kisah saya dengan cara yang lebih bermakna dan rasional, dengan tidak memihak, yang bisa membantu orang."
Bukan hanya dirinya yang menderita karena terjerat luka masa lalu, banyak orang lain di luar sana yang juga sama menderitanya. Uwineza berharap dapat membantu mereka.
Uwineza akhirnya menyadari pentingnya memaafkan setelah bertemu dengan orang yang membunuh saudara kandungnya.
Bertemu Pembunuh Saudaranya di Makam
Pada tahun 2003, Uwineza ditugaskan untuk melanjutkan studinya di luar negeri. Sebelum berangkat ia pergi ke desanya untuk berdoa di makam kerabatnya.
Di sanalah ia bertemu dengan pria yang membunuh saudaranya. Pria itu telah dibebaskan dari penjara oleh negara.
"Untungnya, saya bertemu dengan pria yang membunuh saudara saya," ucapnya.
Uwineza bercerita, ketika ia bertemu dengan sang pembunuh, "Ia berlutut, dan kemudian dia menatap saya. Dia berkata, 'Marcel, kamu tahu apa yang saya lakukan? Apakah Anda memiliki ruang di hati Anda untuk memaafkan saya?',” kenangnya.
Sang pastor mengatakan bahwa pada saat itu, mendengar pertanyaan tersebut, ia merasa sangsi.
"Saya memintanya untuk bangkit, lalu kami saling berpelukan. Pada saat itu, saya merasa rantai telah terlepas dari kaki saya. Seperti saya, juga telah dipenjara dan sekarang saya dibebaskan."
Bersama dengan pria itu, Uwineza menuju ke sebuah pub terdekat. Di sanalah mereka berbagi minuman dan menangis bersama.
Advertisement
Memaafkan Berarti Membebaskan Diri Sendiri
"Memaafkan dapat membebaskan Anda. Pengalaman saya mungkin bukan pengalaman semua orang, tapi saya harap ini menginspirasi," katanya.
Mencapai tahap ini pun tidak terbayangkan bagi Uwineza. Bagaimana pun, luka masa lalu itu telah merebut kebahagiaan hidupnya.
"Pengampunan benar-benar berarti banyak hal, tetapi bagi saya, itu adalah keajaiban," kata Uwineza.
"Benar-benar melakukan hal yang tak terbayangkan," tambahnya Uwineza.
Baginya, memaafkan berarti mengingat lukanya dengan cara yang berbeda juga mengikhlaskan masa lalu, "Memutuskan untuk tidak menjadi tawanan masa lalu," katanya.
"Ketika Anda masih tidak dapat melupakan atau melepaskan, Anda juga adalah seorang tahanan. Dan ingat, ini adalah proses, jadi tidak sama untuk semua orang," ucap Kepala Sekolah Hekima University College Kenya itu.
Untuk dapat memaafkan, ia juga terinspirasi dari sebuah latihan spiritual.
Uwineza mengatakan bahwa hari ini Rwanda, secara bertahap, pulih dari genosida.
Menurutnya, rekonsiliasi adalah sebuah proses dan butuh waktu cukup lama untuk memperbaiki segala hal yang rusak, termasuk hubungan.
Hubungan yang rusak itu bahkan terkadang mungkin tidak akan pernah membaik kembali.
Kisah Ibu Maafkan Pelaku Bom Bunuh Diri Manchester yang Tewaskan Anaknya: Jiwanya Dibajak Iblis
Bernasib sama dengan Uwineza yang kehilangan keluarga, ibu ini juga kehilangan anggota keluarganya dalam sebuah tragedi menyedihkan dan tragis.
Memaafkan pelaku pembunuhan putranya sendiri tidak pernah menjadi hal yang mudah bagi wanita ini.
Figen Murray adalah ibu dari Martyn Hett, salah satu dari 22 orang yang terbunuh dalam serangan teroris di Manchester Arena pada 22 Mei 2017 lalu.
Melansir The Spectator, Selasa (4/4/2023), diketahui bahwa kehilangan putra dalam ledakan bom telah mengguncang kehidupan Murray. Kehidupannya berubah total, kebahagian bersama sang putra terenggut seketika.
Sehari-hari Murray yang bekerja sebagai psikoterapis sibuk dengan praktik pribadinya. Selain itu, kehidupan rumah tangganya pun tak kalah sibuk dengan lima anak, empat cucu, dan satu rumah yang harus diurusnya.
Ia memang cukup sibuk, tapi Murray menikmatinya, hingga kejadian tragis itu mengubah dan membalikkan seluruh kebahagiaannya. Murray mati rasa, syok, dan semenjak itu rasa ketidakpercayaan telah kehilangan salah satu buah hati, telah mengambil alih dirinya.
Tiga hari setelah ledakan bom bunuh diri Salman Abedi yang merenggut nyawa putranya, menjadi kali pertama Murray melihat wajah sang pembunuh putranya.
Advertisement