Liputan6.com, Jakarta - Silicon Valley Bank (SVB) menyita perhatian publik pada pertengahan Maret 2023. Hal itu setelah bank terbesar ke-16 di Amerika Serikat ini kolaps.
Dikutip dari CNBC, Rabu (5/4/2023), regulator keuangan Amerika Serikat menutup Silicon Valley Bank pada Jumat, 10 Maret 2023. Regulator juga menyita simpanan dalam kegagalan perbankan Amerika Seriakt terbesar sejak krisis keuangan global 2008 dan terbesar kedua yang pernah ada.
Advertisement
Efek kolapsnya Silicon Valley Bank itu dimulai Rabu malam, 8 Maret 2023 ketika mengejutkan investor dengan berita perseroan perlu kumpulkan dana USD 2,25 miliar atau sekitar Rp 33,59 triliun (asumsi kurs Rp 14.932 per dolar AS) untuk menopang neraca keuangan perseroan.
Hal ini setelah SBV investasi miliaran dolar Amerika Serikat dalam obligasi pemerintah. Akan tetapi, saat the Fed menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi berdampak terhadap harga obligasi yang turun. Hal itu berdampak terhadap nilai portofolio obligasi milik Silicon Valley Bank.
Di sisi lain, startup berada dalam kekeringan pendanaan sehingga terpaksa menarik dana yang dipegang Silicon Valley Bank untuk mendanai operasi.
Nasabah pun melakukan lebih banyak penarikan dana. Sementara itu, SVB menjual portofolio dengan kerugian. Sentimen itu membuat perusahaan modal ventura naik sehingga mendorong saham Silicon Valley Bank anjlok. Saham SVB anjlok 60 persen pada Kamis, 9 Maret 2023.
Perdagangan saham Silicon Valley Bank dihentikan pada Jumat pagi, 10 Maret 2023. Regulator California intervensi dan menunjuk Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC) untuk mengambilalih SBV dan menjaminkan dana nasabah. Sentimen penutupan SVB tersebut pun menekan saham di bursa global termasuk saham bank.
Saham Bank di Eropa Tertekan
SVB effect bebani bursa saham di Eropa pada Senin, 13 Maret 2023. Investor ketakutan dengan keruntuhan Silicon Valley Bank (SVB) meski ada upaya membatasi dampaknya. Demikian dikutip dari BBC.
Saat itu, saham bank turun tajam. Saham Commerzbank Jerman merosot lebih dari 12 persen. Saham Santander turun 7 persen, mencerminkan kekhawatiran atas kesehatan sektor ini. Di London, indeks FTSE 100 ditutup melemah 2,6 persen bahkan setelah HSBC setuju beli cabang SVB di Inggris.
Saham bank Swiss Credit Suisse (AMJL) anjlok 12 persen ke rekor terendah baru, sebelum pulih. Saham HSBC (FTRXX) turun 3,8 persen, Barclays (ATMP) 5,7 persen, Deutsche Bank (DB) 4,3 persen dan Unicredit Italia (UNCFF) 7,5 persen.
Kejatuhan telah meningkatkan kekhawatiran keruntuhan perbankan AS terbesar kedua dalam sejarah dapat diikuti oleh kegagalan lebih lanjut dari bank-bank yang lebih lemah. Itu terlepas dari intervensi oleh pejabat baik di Amerika Serikat dan Eropa untuk membendung kepanikan, dan eksposur yang relatif terbatas di antara bank-bank Eropa terhadap SVB dan kliennya.
"Investor masih terguncang oleh peristiwa beberapa hari terakhir," kata kepala keuangan dan pasar di platform investasi Hargreaves Lansdown, Susannah Streeter kepada CNN.
Saham First Republic Bank Anjlok
Tak hanya berdampak terhadap saham bank di Eropa, sentimen Silicon Valley Bank juga menekan saham First Republic Bank. Saham First Republic Bank anjlok 62 persen pada Senin, 13 Maret 2023 menjadi USD 31,21.
Dikutip dari Yahoo Finance pada 14 Maret 2023, saham First Republic dan pemberi pinjaman regional lainnya berulang kali dihentikan karena volatilitas selama sesi perdagangan di tengah kekhawatiran penularan bank. Saham Western Alliance (WAL) turun 47 persen, sementara PacWest Bancorp (PACW) dan Zions Bank Corporation (ZION) menutup sesi terendah mereka, masing-masing turun 21 persen dan 25 persen.
Bagaimana Dampaknya Kejatuhan Silicon Valley Bank?
Dikutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com, hasil Polling yang dilakukan Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research menyebutkan kepercayaan masyarakat Amerika Serikat pada bank di negaranya mulai menurun karena krisis di Silicon Valley Bank, Signature Bank dan First Republic Bank.
Melansir Associated Press, Kamis, 23 Maret 2023, jajak pendapat AP menemukan hanya 10 persen orang dewasa di Amerika Serikat yang mengatakan mereka memiliki kepercayaan tinggi pada bank negara dan lembaga keuangan lainnya.
Angka itu menandai penurunan dari 22 persen yang mengatakan mereka memiliki kepercayaan diri yang tinggi pada tahun 2020.
Menyusul keruntuhan Silicon Valley Bank bulan ini, jajak pendapat dari The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research juga menemukan bahwa mayoritas (56 persen responden) menyebut pemerintah tidak berupaya cukup keras untuk menangani krisis di industri ini.
Sementara itu, 27 persen rmengatakan pihak berwenang sudah melakukan langkah yang tepat, dan 63 persen responden Partai Demokrat mengatakan regulasi bank saat ini tidak memadai, seperti halnya 51 persen dari Partai Republik.
Selain 10 persen yang mengatakan mereka memiliki kepercayaan yang tinggi terhadap perbankan negara, 57 persen mengungkapkan mereka memiliki kepercayaan, sedangkan 31 persen hampir tidak memilikinya.
Meskipun kepercayaan pada bank dan lembaga keuangan di AS telah menurun bahkan sejak jajak pendapat terakhir AP-NORC pada tahun 2020, rendahnya kepercayaan di antara orang Amerika pada lembaga publik mereka ternyata bukanlah hal baru.
General Social Survey yang telah melacak tren pendapat selama beberapa dekade, menunjukkan bahwa kepercayaan terhadap institusi mulai dari industri keuangan hingga Kongres telah menurun secara substansial sejak tahun 1970-an.
Secara keseluruhan, sekitar setengah dari orang dewasa AS memperkirakan kondisi ekonomi AS akan memburuk tahun depan, ungkap jajak pendapat AP-NORC.
Advertisement
Bagaimana Dampak ke Indonesia?
Pengamat ekonomi dan perbankan Universitas Bina Nusantara, Moch.Doddy Ariefianto menuturkan, penutupan Silicon Valley Bank tidak berdampak terhadap Indonesia. Lantaran kemungkinan exposure bank nasional, menurut Doddy tidak ada ke SVB. Selain itu, regulator AS juga bergerak cepat untuk mengatasi masalah Silicon Valley Bank agar tidak menular ke bank lainnya.
"Tidak langsung (berdampak ke Indonesia-red). Mestinya otoritas Amerika Serikat bisa handle, jadi tidak berdampak,” kata Doddy saat dihubungi Liputan6.com, Senin, 13 Maret 2023.
Langkah Out of The BoxMeski demikian, kejadian penutupan Silicon Valley Bank, menurut Doddy memberikan pelajaran penting. Salah satunya langkah regulator Amerika Serikat yang out of the box, seperti FDIC.
Doddy menuturkan, FDIC seperti LPS di Indonesia yang menjaminkan dana nasabah. Di AS, dana nasabah dijamin sekitar USD 250.000 atau sekitar Rp 3,84 miliar (asumsi kurs Rp 15.379 per dolar AS). Dalam kasus Silicon Valley Bank, Doddy menuturkan, deposan yang memiliki dana di atas USD 250.000 juga dijamin.
“Ambil langkah out the box. Sudah siap dengan escape lost. Penjaminan di atas USD 250.000, ini mereka lakukan,” kata dia.
Menkeu Sri Mulyani Pelototi Krisis Perbankan di AS dan Eropa
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani menuturkan, pihaknya memantau dengan cermat situasi krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa.
“Sekarang kita mengerti bahwa situasi di Amerika Serikat dan Silicon Valley Bank, di mana bank yang memegang obligasi pemerintah, tingkat suku bunga yang sangat curam oleh Federal Reserve memengaruhi harga. Jadi market to market pasti akan menggerus neraca mereka,” tutur Sri Mulyani, di Bali Nusa Dua Converssation Center 1, Nusa Dua, Bali, Rabu, 29 Maret 2023, demikian mengutip dari Kanal Bisnis Liputan6.com.
Ia menambahkan, Bank Indonesia, Menteri Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan lembaga penjamin simpanan (LPS) melihat dengan kewaspadaan tinggi pada episode yang terjadi di Amerika Serikat dan Eropa.
Sri Mulyani menuturkan, pihaknya terus diskusi dan stress test, masalah tersebut tidak akan sampai menjadi kejutan potensi risiko yang mungkin datang dari dinamika yang sangat berbeda.
"Dan itulah mengapa dalam kalibrasi kebijakan, ketika kami memiliki waktu untuk berkonsolidasi, kami harus berkonsolidasi, melakukannya dengan cara yang sangat kredibel dan transparan, sehingga kami dapat membuat buffer karena kami benar-benar tidak tahu apakah 6 bulan atau 12 bulan ke depan situasinya tidak akan menguntungkan dan Anda membutuhkan semua kekuatan untuk menghadapi ketidakpastian," imbuhnya.
Dilanjutkan Sri Mulyani, kebijakan memainkan peran yang sangat penting sebagai shock absorber counter cyclical policy.
"Masalah ekonomi mana pun akan berada dalam situasi yang sangat sulit, ketika kebijakan Anda menjadi prosiklikal. Saat ada cycle down malah bikin tambah parah, saat cycle up malah bikin overheat," ujarnya.
Pentingnya Koordinasi
Maka dari itu, penting untuk terus melakukan koordinasi antara semua otoritas.
Sri Mulyani mengungkapkan, bahwa dia terus menjalin relasi baik dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, dan itu sangat membantu karena pada saat krisis, pasar dan ekonomi membutuhkan jangkar kepercayaan.
"Kami belajar banyak tentunya, Pak Perry adalah seorang veteran dan dia pernah di IMF dan di World Bank. Sehingga kami tahu bahwa di saat krisis, kami harus (bekerja) bersama," tambahnya.
Advertisement