Liputan6.com, Jakarta - Ceramah dapat menjadi salah satu media dakwah, untuk menyebarkan kesadaran akan pentingnya melakukan sedekah dengan ikhlas. Ceramah sebagai cara untuk memberikan pencerahan, nasihat dan motivasi kepada orang lain, baik dalam acara pengajian maupun acara formal keagamaan lainnya.
Itu termasuk pada bulan Ramadhan ini.
Teks ceramah kali ini mengangkat tema tentang makna kekayaan yang sesungguhnya dan bagaimana batasan yang harus dimiliki seseorang untuk meraih kekayaan tersebut.
Baca Juga
Advertisement
Siapa yang menolak jadi jutawan atau miliarder? Semua orang pasti ingin jadi orang kaya. Laki-laki ingin kaya, perempuan ingin kaya, orang kampung ingin kaya, dan orang kota pun pasti ingin kaya. Seseorang dengan uang melimpah bisa membeli semua komoditas yang dibutuhkan.
Ingin membeli baju bagus, ia bisa membelinya di toko ternama di kotanya. Ingin rumah mewah, ia bisa membeli rumah di kawasan elite yang cenderung dihuni oleh orang-orang dari lapisan atas. Bagaimana dengan nasib orang miskin? Jangankan untuk membeli baju bagus atau rumah mewah, untuk nasi bungkus saja mereka harus bekerja seharian, baru bisa melepas rasa lapar.
Tidaklah salah jika seseorang bercita-cita menjadi orang kaya. Yang salah adalah jika ada yang menyatakan bahwa kekayaan adalah suatu kemuliaan dan kemiskinan adalah suatu kehinaan. Akan tetapi sebenarnya, kekayaan dan kemiskinan adalah ujian Allah bagi hamba-hamba-Nya.
Saksikan Video Pilihan ini:
Sabar, Syarat Menjadi Kaya
Ironisnya, jika Allah mengujinya dengan memberikan kesenangan-kesenangan, ia akan berkata bahwa Allah telah memuliakannya, sedangkan jika Allah mengujinya dengan membatasi rezekinya maka ia berkata, "Allah telah menghinakanku!" Tipe orang seperti ini adalah orang yang mencintai harta benda dengan kecintaan yang berlebihan.
Sebagian orang menganggap bahwa menjadi orang kaya adalah mudah, sebab yang sulit adalah menjadi orang kaya yang saleh. Kalau sekadar kaya, orang bisa mengumpulkan harta kekayaan dan menggunakannya dengan cara apa pun. Tapi, bagaimana caranya agar harta yang kita miliki ini bernilai "halalan thayyiban" dan barakah?
Ada satu syarat penting di samping syarat-syarat lainnya agar menjadi orang kaya saleh, yaitu ia harus sabar. Ternyata, menjadi orang kaya itu harus memiliki kesabaran juga. Kalau kita telaah, sepertinya sabar ketika kita sedang pailit akan lebih me- mungkinkan daripada sabar ketika kita bergelimang harta. Sebab, ketika kita memiliki harta melimpah maka akan semakin banyak godaan yang dapat meruntuhkan benteng kesabaran kita. Maksud sabar di sini adalah sabar dalam mengharap keridhaan Allah.
Godaan pertama bagi orang kaya biasanya adalah adanya keinginan untuk memperlihatkan kekayaannya, atau lebih dikenal dengan sebutan pemer. Berbagai cara digunakan agar orang lain tahu bahwa ia memiliki segalanya. Aktivitas pamer dimulai dari menampakkan aksesoris yang bisa dipakai di badan.
Kalau memungkinkan, ia akan menggunakan semua perhiasan untuk melengkapi penampilannya agar terlihat kaya, tak peduli situasi dan kondisi yang ada tidak mendukung. Yang penting orang tahu bahwa ia adalah seorang yang kaya raya. Jauh sekali dengan sifat Nabi Sulaiman.
Beliau seorang kaya raya, namun kemuliaannya sungguh luar biasa, akhlaknya lebih tinggi daripada kekayaannya. Kekayaan yang melimpah ruah dapat menyebabkan seseorang itu mulia, sebab ia menggunakan hartanya di jalan Allah dan membelanjakannya untuk mencari keridhaan Allah.
Dan sebaliknya, kekayaan juga dapat menyebabkan seseorang menjadi boros, sombong serta merasa eksklusif, dan serakah. Seorang yang boros membelanjakan hartanya hanya untuk kepuasan nafsunya. Apa pun itu, jika menyangkut kepuasan hatinya, ia akan kuras seluruh isi kantongnya. Tapi sayangnya, jika hal itu menyangkut kebaikan orang banyak dan bernilai amal, maka ia akan berpura-pura menjadi orang yang pailit. Intinya, selain menjadi boros, la juga akan diserang penyakit pelit.
Tidak hanya itu, dengan kekayaan yang dimiliki, seseorang bisa menjadi sombong dan merasa eksklusif. Orang-orang dari lapisan bawah tidak dapat diterima dalam lingkup pergaulannya. la merasa bahwa mereka bukanlah orang yang dapat diajak bicara, sebab level mereka berada jauh di bawahnya. Dan, ia merasa bahwa dialah orang besar yang memenuhi semua kebutuhannya tanpa bantuan siapa pun.
Advertisement
Menjadi Orang Kaya Menurut Islam
Akan tetapi sebenarnya, Islam mengajarkan kepada kita untuk menjadi orang kaya yang saleh, dan menjadi miskin bukanlah suatu hal yang hina, apalagi kalau ternyata kemiskinan itu dapat menjadikannya seorang yang mulia. Yang lebih buruk adalah, miskin dan tidak saleh. Artinya, dunia dan akhirat tidak didapat. "Sudah jatuh tertimpa tangga pula", ungkapan itulah yang yang tepat bagi orang yang tidak mendapatkan kebaikan di dunia dan akhirat.
Sekali lagi, Islam mengajarkan kita untuk menjadi orang kaya. Nabi Muhammad adalah seorang kaya raya, demikian juga para sahabat. Selain kaya, mereka juga berprestasi, sehingga dapat memberikan manfaat bagi kehidupan manusia. Walaupun mereka kaya, tapi hidup mereka sederhana, intinya menjalankan kehidupan yang proporsional. Bukan saja kebahagiaan dunia yang didapat, melainkan akhirat pun tetap menjadi tujuan hidupnya.
Semua kekayaan yang ada di dunia ini adalah milik Allah Dan, kita sebagai hamba-Nya harus dapat memanfaatkannya. Pertama, kita mendapatkannya dengan cara yang halal. Kemudian, membelanjakannya dengan cara yang halal juga. Dan yang ketiga, adanya harapan dari kita, bahwa semua yang telah kita lakukan mendapat ridho Allah SWT.
Kekayaan yang bermanfaat di dunia dan akhirat adalah kekayaan yang barokah yang mempunyai ciri-ciri tertentu. Pertama, kekayaan tersebut dapat menyebabkan pemiliknya qana'ah (puas dan merasa cukup). Pemiliknya tidak merasa tersiksa dan tidak merasa kekurangan. Ia akan menggunakannya untuk beramal.
Kedua, kekayaan yang membuat batin pemiliknya tenang. Harta melimpah tidak membuatnya bingung untuk mengelolanya dan tidak pula menyebabkan rasa was-was untuk kehilangan, sebab ia yakin bahwa semua yang dimilikinya adalah amanah dari Allah SWT. Dan, kapan pun bisa Allah ambil kembali.
Ketiga, pemiliknya menjadi lebih mulia daripada kekayaan yang dimiliki. Seperti halnya Nabi Sulaiman, beliau nabi paling kaya, namun kekayaannya digunakan untuk ibadah dan kemaslahatan umat. Beliau menganggap, harta bukanlah segalanya di dunia ini, namun hartanya dapat digunakan untuk meraih kebahagiaan dunia dan akhirat.
Caranya, harta tersebut dibelanjakan di jalan Allah melalui zakat, infak, dan sedekah. Sebaliknya, jika kekayaannya tidak barakah, maka pemiliknya tidak akan merasa puas, tenteram, dan yang lebih parah lagi, ia tergolong manusia yang sangat hina. Maka dari itu, semuanya kembali kepada pribadi masing-masing.