Liputan6.com, Jakarta - Capita Selecta merupakan buku kumpulan karangan Mohammad Natsir dari 1930-1959 yang isinya menjelaskan bahwa Islam tidak hanya sebuah ajaran yang mengatur hidup seseorang.
Lebih dari itu, karya Mohammad Natsir Islam menjadi salah satu cara dan unsur penting dalam menyempurnakan tata kelola sebuah negara.
Advertisement
Pemaknaan tersebut diungkapkan Pendiri Pusat Dokumentasi Islam Indonesia Tamaddun KH. Hadi Nur Ramadhan, dalam serial "Inspirasi Sahur 2023" yang ditayangkan Youtube BKN PDI Perjuangan dipandu aktivis muda nasionalis Garda Maharasi pada Rabu (05/04/2023).
"Selain sebagai salah satu penggagas negeri ini, Natsir merupakan penggagas mosi integral Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Orang selama ini menyerukan 'NKRI Harga Mati'. Tak banyak yang tahu konsep NKRI itu lahir dari ide besar Mohammmad Natsir," jelasnya.
Dalam bahasa Bung Hatta, hari lahirnya NKRI pada 5 Mei 1950, merupakan 'proklamasi kedua' Indonesia setelah 17 Agustus 1945. Saat itu Natsir menyampaikan pidato mosi integralnya di konstituante agar semua negara Republik Indonesia Serikat melebur menjadi satu dalam bingkai NKRI.
"Natsir kita kenal sebagai menteri penerangan (1946-1947) dan perdana menteri (1950-1951) pada era pemerintahan Presiden Soekarno," ujarnya.
Begitu diakuinya reputasi Natsir, guru besar Cornell University George McTurnan Kahin yang juga pakar Asia Tenggara menyatakan, jikalau ingin mengenal Indonesia, maka harus mengenal Natsir.
"Tanpa mengenal Natsir, kita tak akan mengenal Indonesia," katanya.
Selain sebagai perumus NKRI, Natsir juga terlibat dalam pembentukan lambang negara selain tokoh-tokoh seperti Mohammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, Poerbatjaraka, dan Sultan Hamid II dari Pontianak. Lambang bintang dari Sila Pertama Pancasila adalah jasa dari Natsir.
Hadi Nur Ramadhan memaparkan, Capita Selecta merupakan ‘masterpiece’ tulisan Natsir yang pernah dimuat di Panji Islam, Pembela Islam, Al-Manar Medan, Hikmah, Menara Islam, Panji Masyarakat, Pedoman dan lain-lain.
Tulisan-tulisan itu dikumpulkan oleh sahabatnya sesama tokoh intelektual Masyumi, DP Sati Alimin dan dikategorikan sesuai tema agama, filsafat, budaya dan lain-lain.
Kali pertama buku ini dirilis oleh penerbit Van Hoeve Bandung pada 1954, yakni Capita Selecta jilid pertama dan kedua. Setelah Natsir mendapat gelar pahlawan nasional pada 2008, maka Capita Selecta jilid ketiga diterbitkan.
"Insyaallah kami akan meluncurkan Capita Selecta jilid keempat yang berisi tulisan-tulisan beliau dari 1970 hingga sebelum meninggal dunia pada 1993," kata Hadi Nur.
Lawan Debat Soekarno
Wakil Sekretaris Lembaga Seni Budaya dan Peradaban (LSBPI) Majelis Ulama Indonesia ini menjelaskan, Mohammad Natsir sebagai negarawan dan ulama memiliki keteguhan prinsip dalam berjuang khususnya pascakemerdekaan Republik Indonesia, salah satunya dengan cara menulis untuk menuangkan dan mempertajam berbagai ide dan gagasan kebangsaan.
Keteguhan Natsir sebagai seorang pemikir, negarawan, ulama, ilmuwan, dan aktivis mempertajam tulisannya dalam menuangkan ide-ide pendapat ketika dia berada di Bandung. Memberi banyak contoh tentang hubungan agama dan negara, termasuk dalam perdebatan panjang secara terbuka dengan Bung Karno.
Buah polemik intelektual itu diwujudkan dengan tulisan Sukarno di Majalah Panji Islam yang berisi mengapa Turki memisahkan antara agama dan negara.
"Saya membaca 21 referensi mengapa Turki sampai melakukan pemisahan agama dan negara," tulis Sukarno.
Serunya, Natsir membalas tulisan itu. "Dua puluh satu buku yang sudah dibaca Bung Karno itu pun sudah saya baca," ungkapnya.
Yang menarik, perdebatan antara Bung Karno, Natsir, dan gurunya Tuan Ahmad Hasan boleh terjadi secara tajam. Namun, saat Bung Karno dibuang ke Ende, para lawan debatnya itu menjadi orang pertama yang menjenguk Sukarno.
Disebutkan dalam 'Surat-Surat Islam dari Ende' pada buku 'Di Bawah Bendera Revolusi' disebut bahwa Bung Karno mendapat kiriman makanan kesukaannya seperti jambu mete. Bahkan pada pertemuan itu, Bung Karno tak sungkan meminjam uang kepada Hassan dan Natsir.
Kepada lima anak muda dari Jogja yang menemuinya di rumah Natsir di Teuku Umar, Jakarta, yakni Amien Rais, Kuntowijoyo, Yahya Muhaimin, Watik Pratiknya, dan Endang Anshari, Natsir menyebut tiga hal penentu hidup.
"Saya bisa tangguh karena punya guru, buku, dan lingkungan yang membentuk diri saya, Nah, soal memiliki mentor inilah yang hilang di kalangan anak muda sekarang," kata Natsir.
Selain Ahmad Hassan, guru Natsir antara lain Haji Agus Salim, Syekh Ahmad Surkati, dan HOS Cokroaminoto. Horizon pemikiran Natsir pun jadi luas karena sejak umur 15 tahun sudah membaca ‘Das Kapital’, umur 17 tahun sudah membaca pemikiran Bertrand Russell, Sigmund Freud, David Hume, Al Ghazali, dan lain-lain.
Tak hanya itu, pada usia 21 tahun, Natsir menerjemahkan karya tokoh intelektual muslim dan filsul Pakistan Muhammad Iqbal.Menurut Natsir, Islam bukan di Timur atau di Barat.
Tapi, yang paling penting adalah kebenaran. "Kalau memang Islam ada di Barat dan itu benar, rebutlah Islam yang ada di Barat itu. Jadi, kalau sekarang kita melihat kebangkitan Islam di Barat, Natsir sudah menyampaikan pesan itu," paparnya.
Advertisement