Menilik Buku yang Rangkum Suka Duka Perjalanan Konservasi Penyu di Ekor Borneo

Yayasan WWF Indonesia mendokumentasikan kisah upaya konservasi penyu di pesisir Paloh, Kalimantan Barat yang dilakukan sejak 2009 dalam buku bertajuk "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo."

oleh Putu Elmira diperbarui 06 Apr 2023, 20:08 WIB
Peluncuran buku bertajuk "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo". (Tangkapan Layar Zoom)

Liputan6.com, Jakarta - Yayasan WWF Indonesia mendokumentasikan langkah konservasi penyu di pesisir Paloh, Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat. Kisah suka duka dan perjuangan ini terangkum dalam buku bertajuk "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo."

CEO Yayasan WWF Indonesia, Aditya Bayunanda, mengungkap bahwa lahirnya buku ini adalah upaya konservasi penyu di Kecamatan Paloh yang berjalan sejak 2009 hingga kini. Paloh tercatat memiliki salah satu hamparan pantai sepanjang 63 kilometer.

"Hamparan pantai peneluran penyu yang terpanjang di Indonesia. Setiap tahunnya dari data yang dikumpulkan, kurang lebih 3.700 penyu mendarat di wilayah ini dan separuhnya bertelur," kata Dito, begitu ia akrab disapa, dalam peluncuran buku "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo" secara daring pada Kamis (6/4/2023).

Dito menyampaikan, sebagian besar penyu yang mendarat di pesisir Paloh adalah penyu hijau. Hal tersebut dikatakannya sangat penting karena penyu hijau termasuk hewan yang dilindungi.

"Dalam buku ini, kami berharap pembaca mendapatkan informasi tentang suka duka, kebahagiaan, dan pencapaian aktivitas konservasi di Paloh yang melewati berbagai tantangan, tapi secara bersama-sama sudah menunjukkan hasil-hasilnya," lanjutnya.

Salah satu pencapaian upaya ini adalah pada 2020 lalu, saat Paloh ditetapkan sebagai kawasan konservasi melalui Kepmen KP No. 93 Tahun 2020. Tak hanya itu, pada masa awal upaya konservasi, yakni di 2009, hampir 100 persen telur penyu hilang.

"Namun menurut catatan, sekarang ini yang terambil hanya 5,4 persen saja," kata Dito.


Ada 4 Penulis

Pelepasan bayi tukik penyu tersebut wujud kepedulian terhadap lingkungan. (AFP Photo/Chaideer Mahyuddin)

"Ini tentunya menjadi suatu hal yang membahagiakan di 2021 terjadi kembalinya penyu belimbing yang merupakan penyu yang langka, mungkin salah satu penyu yang terbesar di dunia yang sepenuhnya sebelumnya selama belasan tahun tidak muncul di Paloh," kata Dito.

Penyu belimbing dikatakannya sebagai salah satu indikator bahwa ekosistem itu membaik. "Upaya-upaya ini bukan upaya sendiri tapi bersama, kami sangat senang ini juga dari kemandirian masyarakat dan sebagai wujud dari upaya penguatan kapasitas," katanya.

Dito mengatakan, "WWF Indonesia senantiasa siap untuk mendukung pemerintah Indonesia dan semua pihak untuk berkolaborasi terutama untuk menyelamatkan penyu di kawasan konservasi perairan Paloh ini."

Sementara, buku "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo" diterbitkan Yayasan WWF Indonesia. Buku ini ditulis empat orang, yakni Abroorza Ahmad Yusra, Agri Aditya Fisesa, Andi Fachrizal, dan Hendro Susanto.

Salah seorang penulis buku, Abroorza Ahmad Yusra, menyampaikan bahwa langkah pertama yang dilakukan adalah membuat outline. Ini adalah kerangka dasar mengenai apa saja yang akan ditulis dan disampaikan.


Kerangka Dasar

Penyu Hijau (Chelonia mydas) (AP Photo/Firdia Lisnawati)

Proses membuat kerangka dasar ini, dikatakan Abroorza, cukup memakan waktu, yakni sekitar dua minggu. Setelah itu, penulis lantas berdiskusi terkait perjalanan 13 tahun konservasi.

"Kita berharap jangan sampai ada momen-momen penting yang tertinggal. Jadi, kita susun outline, kemudian outline itu yang menjadi kerangka kita untuk menulis dan melakukan survei ke lapangan," terang Abroorza.

Ia mengungkap bahwa outline punya peranan yang sangat penting. "Pengalaman saya menulis, ketika outline itu berubah jadi akan repot sampai ke belakang. Tapi syukur Alhamdulillah, di penulisan Penyu dan Paloh ini, outline tidak berubah. Ada perkembangan, tapi dari kerangka awal sudah cukup kuat," tambahnya.

Baginya, mengikuti konservasi penyu di Paloh ini adalah momen yang tak asing. "Saya tinggal di Singkawang, saya bersama WWF juga menjadi penulis juga jadi konsultan mereka hampir 10 tahun, jadi cukup paham apa yang ingin mereka lakukan. Paloh sekitar enam jam dan secara kultur masih sama, secara bahasa, adat," tutur Abroorza.


Semangat Masyarakat

Relawan membantu melepaskan penyu Hijau (Chelonia mydas) (AP Photo/Firdia Lisnawati)

"Ada hal penting yang saya pikir bisa menjadi pembelajaran dari buku ini adalah ketika semangat itu tumbuh dari masyarakat itu sendiri. Kita patut mengapresiasi kerja WWF dan staf-staf di sana, tapi ada hal penting yang saya pikir poin penting dari konservasi penyu ketika masyarakat yang terlibat di sana berperan aktif," kata Abroorza.

Ia menerangkan, masyarakat didorong dengan kesadaran. "Masyarakat ada konflik internal, itu juga coba kita kupas sedikit selama tidak menyinggung satu pihak atau pihak lain. Tapi yang ingin kita sampaikan adalah semangat-semangat masyarakat itu sendiri," tambahnya.

Dikatakan Abroorza, bukan hanya berdasarkan program, namun juga masyarakat yang menjadi inspirasi untuk pembaca. "Salah satunya ketika ada konflik sampai berakhir di penjara, saya melihatnya bukan hanya benar atau salah tapi juga lihat dari sisi semangat untuk mempertahankan kawasan konservasi penyu," ungkapnya.

Sementara, buku "Penyu dan Paloh: Perjalanan Konservasi di Ekor Borneo" tidak diperjualbelikan. Bagi Anda yang ingin membaca kisah perjalanan konservasi penyu dari Paloh selama 13 tahun ini, dapat mengakses e-book di laman resmi WWF Indonesia dengan memilih "Publikasi" dan mengunduh e-book tersebut.

Infografis: 4 Unsur Wisata Ramah Lingkungan atau Berkelanjutan

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya