Badai Sanksi Belum Berlalu, Prospek Ekonomi Rusia Masih Berkabut

Rusia masih terus terjerat sanksi ekonomi akibat menyerang Ukraina.

oleh Liputan6.com diperbarui 07 Apr 2023, 07:00 WIB
Dalam foto selebaran yang dirilis oleh Kantor Pers Kepresidenan Rusia ini memperlihatkan Presiden Rusia Vladimir Putin (kanan) dan Presiden Tiongkok Xi Jinping berjabat tangan sebelum pembicaraan mereka di Kremlin di Moskow, Senin (20/3/2023). (Russian Presidential Press Office via AP)

Liputan6.com, Moskow - Federasi Rusia masih terus bertahan di tengah badai sanksi ekonomi dari negara-negara Barat. Beragam sanksi diberikan karena invasi Rusia ke Ukraina. Rusia menyebat serangan itu sebagai "operasi militer khusus". 

Namun, Presiden Putin mulai memberikan sinyal terkait dampak negatif sanksi yang berkelanjutan. 

Berdasarkan laporan VOA Indonesia, Kamis (6/4/2023), Presiden Vladimir Putin pada akhir bulan lalu menegaskan potensi terjadinya masalah ekonomi di masa depan dan mendesak pemerintah untuk bertindak cepat. 

"Sanksi yang dijatuhkan terhadap ekonomi Rusia dalam jangka menengah benar-benar dapat berdampak negatif," kata Vladimir Putin dalam pertemuan yang disiarkan televisi.

Padahal sebelumnya Putin mengatakan masa terburuk kondisi ekonomi Rusia telah berakhir. Bahkan Putin memuji kebijakan "kedaulatan ekonomi" dan bersikeras bahwa strategi sanksi yang diterapkan Barat malah menjadi bumerang.

Lalu apa sebenarnya pesan yang disampaikan Putin?

"Pengamatan Bapak Putin cukup realistis," kata Arnaud Dubien, direktur lembaga kajian Observatorium Prancis-Rusia di Moskow.

Dubien, seorang ahli veteran Rusia, mengatakan Putin berusaha untuk lebih memobilisasi perusahaan dan pejabat pemerintah karena Moskow memutuskan hubungan dengan Barat.

"Situasinya lebih baik dari yang diharapkan, tapi jangan santai, terus cari alternatif," katanya menggambarkan logika kepala Kremlin.

Alexandra Prokopenko, mantan pejabat bank sentral Rusia, menyatakan bahwa pesan Putin terutama menargetkan perusahaan yang terkena sanksi berat.

“Ini pesan untuk bisnis,” kata Prokopenko, yang bekerja di bank sentral antara 2017 dan 2022 dan berhenti setelah dimulainya serangan Moskow di Ukraina.

"Anda hanya aman di Rusia di bawah tanggung jawab saya, tidak ada jalan kembali," katanya.


Bergantung ke Pelanggan Asia

Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Belarus Alexander Lukashenko menghadiri pertemuan di Minsk, Belarus, pada Senin, 19 Desember 2022. (Pavel Bednyakov, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Lebih dari setahun setelah serangan Moskow di Ukraina, Rusia menjadi semakin bergantung pada ekspor energi ke Asia dan semakin tertinggal di banyak sektor bernilai tinggi. Eksodus ratusan ribu orang Rusia dan gerakan mobilisasi wajib militer Kremlin menyebabkan negara itu kekurangan tenaga kerja.

Dubien menggarisbawahi masalah khusus dalam industri mobil, yang berkembang pesat ketika produsen mobil asing terkemuka mendirikan toko di Rusia pada awal 2000-an.

“Sektor yang paling terkena sanksi seperti produksi otomotif adalah yang paling terbuka untuk investasi dan kerja sama internasional,” ujarnya.

Pada akhir Maret, produsen mobil andalan Rusia AvtoVAZ mengatakan bahwa sejumlah pemasok suku cadang menghentikan pengiriman, mendorong perusahaan yang kesulitan itu untuk memajukan liburan tahunan. 

Prokopenko, yang sekarang meneliti pembuatan kebijakan pemerintah Rusia di Dewan Hubungan Luar Negeri Jerman yang berbasis di Berlin, mengatakan bahwa sektor-sektor yang terkait dengan kompleks industri militer -- seperti optik, farmasi, dan produksi logam -- adalah sektor "di mana pertumbuhan ekonomi berjalan baik."

Sergei Tsyplakov, seorang profesor di Sekolah Tinggi Ekonomi Moskow, memperingatkan bahwa perubahan poros Kremlin yang kini mengarah kepada China dan India tidak dapat menyelesaikan semua masalah.

"Meski ekonomi Rusia tidak langsung runtuh setelah pengenaan sanksi, situasinya tetap sulit," katanya.


Kemunduran Ekonomi

Presiden Rusia Vladimir Putin berbicara bersama Pemimpin Republik Rakyat Luhansk Leonid Pasechnik (kiri), dan Pemimpin Republik Rakyat Donetsk Denis Pushilin (kanan) saat perayaan menandai penggabungan wilayah Ukraina dengan Rusia di Lapangan Merah, Moskow, Rusia, 30 September 2022. (Sergei Karpukhin, Sputnik, Kremlin Pool Photo via AP)

Banyak ekonom memperkirakan prospek ekonomi Rusia akan semakin gelap dalam beberapa bulan mendatang. 

Prokopenko menunjukkan bahwa rejeki nomplok dari harga energi yang sangat tinggi itulah yang membantu Rusia mengatasi guncangan awal dari sanksi yang belum pernah terjadi sebelumnya.

"Ini tidak akan terjadi tahun ini," katanya.

"Pada 2023, tidak ada tanda-tanda Rusia akan mendapatkan penghasilan tambahan ini."

Pada Februari, pendapatan Moskow dari ekspor minyak anjlok hingga 42 persen dibandingkan pada tahun lalu, menurut Badan Energi Internasional.

Reorientasi Rusia, yang pernah menjadi pemasok gas utama Eropa, menuju pasar Asia diperkirakan akan memakan waktu.

Putin, kata para pengamat, memiliki kepentingan vital untuk melihat pendapatan energi yang tinggi jika dia ingin membiayai serangan Moskow ke Ukraina dan menjauhkan perbedaan pendapat di dalam negeri.

Prokopenko mengatakan dia melihat "banyak masalah" di depan.

"Dalam perspektif jangka pendek ekonomi Rusia tidak buruk, masih berfungsi," katanya, tetapi menekankan bahwa menemukan mitra baru akan memakan waktu.

"Masa depan (Rusia) berkabut."

Dubien memperkirakan Putin mampu membiayai serangan di Ukraina selama "tiga hingga empat tahun" lagi. Namun ia memperingatkan bahwa ekonomi Rusia akan menghadapi kemunduran lebih lanjut selama bertahun-tahun.

“(Rusia) kehilangan pembangunan yang setara dengan satu dekade sejak 2014,” katanya, mengacu pada tahun ketika Barat memukul Rusia dengan sanksi atas pencaplokan Krimea dari Ukraina.

"Sekarang hal tersebut dapat terjadi kembali."

Infografis 1 Tahun Perang Rusia - Ukraina, Putin Tangguhkan Perjanjian Senjata Nuklir dengan AS. (Liputan6.com/Trieyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya