Pasar IPO Global Anjlok Imbas Risiko Resesi dan Gejolak Perbankan

Risiko resesi dan gejolak perbankan telah menekan pasar IPO global. Nilai IPO global anjlok menjadi USD 19,7 miliar atau sekitar Rp 294,30 triliun pada awal 2023.

oleh Agustina Melani diperbarui 08 Apr 2023, 07:15 WIB
Gejolak perbankan dan risiko resesi menimbulkan masalah bagi pasar IPO global pada 2023. (AP Photo/Richard Drew)

Liputan6.com, Jakarta - Gejolak perbankan dan risiko resesi menimbulkan masalah bagi pasar penawaran umum perdana atau initial public offering (IPO) global. Dua sentimen itu membuat pasar IPO global anjlok bahkan setelah investor meulai 2023 dengan berpikir kalau tekanan saham mulai berakhir.

Dikutip dari Yahoo Finance, ditulis Sabtu (8/4/2023), perusahaan hanya mengumpulkan USD 19,7 miliar atau sekitar Rp 294,30 triliun (asumsi kurs Rp 14.939 per dolar AS) melalui IPO pada 2023, berdasarkan data Bloomberg. Nilai IPO itu turun 70 persen year on year dan catat jumlah terendah sejak 2019.

Penurunan paling tajam terlihat di Amerika Serikat yang hanya terkumpul USD 3,2 miliar atau sekitar Rp 47,80 triliun. Aktivitas IPO yang melemah terjadi dari tahun lalu ketika inflasi tinggi dan kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank sentral melemahkan selera risiko investor.

Di sisi lain, reli saham yang kuat pada awal 2023, didorong oleh optimisme tentang kebangkitan China dari kebijakan zero COVID-19 dan kenaikan suku bunga yang lebih kecil, sebagian besar gagal dan memupus harapan untuk pembukaan kembali pasar IPO.

Masalah di sektor perbankan setelah jatuhnya beberapa pemberi pinjaman menengah di AS, dan krisies Credit Suisse Group telah menambah ketidakpastian soal suku bunga karena the Federal Reserve atau bank sentral AS bekerja untuk menahan inflasi sambil menghindari lebih banyak tekanan.

“Tingkat suku bunga adalah masalah nomor satu, dan ada perdebatan yang jelas seputar berapa lama pengetatan berlangsung atau berubah arah dan seberapa cepat,” ujar Co-Head of ECM, Asia Pacific Citigroup Inc, Udhay Furtado.

Ia menambahkan, ada beberapa hal yang perlu dilihat orang, termasuk arah bank sentral untuk memastikan apakah itu kuartal II, III dan IV. “Pada titik ini, sepertinya itu akan berakhir,” ujar dia.

Stabilitas yang dibutukan IPO sangat kurang dengan pengukur volatilias yang diawasi ketat melonjak jauh di atas 20 pada Maret 2023 setelah jatuhnya Silicon Valley Bank dan pemberi pinjaman regional Amerika Serikat lainnya. Selain itu, ada tanda-tanda masalah perbankan berdampak pada rencana IPO perusahaan.


Kesepakatan Ditahan

Ekspresi spesialis Michael Pistillo (kanan) saat bekerja di New York Stock Exchange, Amerika Serikat, Rabu (11/3/2020). Bursa saham Wall Street anjlok pada akhir perdagangan Rabu (11/3/2020) sore waktu setempat setelah WHO menyebut virus corona COVID-19 sebagai pandemi. (AP Photo/Richard Drew)

Oldenburgische Landesbank AS, bank Jerman yang didukung private equity telah hentikan rencana IPO yang diharapkan berlangsung pada awal Mei. Hal ini karena kekhawatiran investor terhadap kesehatan sistem perbankan global, berdasarkan laporan Bllomberg.

“Masih ada begitu banyak ketidakpastian tentang apa yang akan terjadi pada akhir tahun ini yang menurut saya benar-benar menyebabkan investor menjadi sangat gugup,” ujar Portfolio Manager, Global Suistanaible Equities Ninety One, Stephanie Niven.

Ia menuturkan, ini terasa seperti waktu yang tidak nyaman untuk memasukkan modal ke dalam bisnis yang tidak diketahui. Satu titik terang dalam aktivitas pasar modal adalah penjualan saham di perusahaan terbuka. Penawaran sekunder telah hasilkan USD 76 miliar atau sekitar Rp 1.135 triliun pada 2023, meningkat 48 persen dari tahun lalu. Itu termasuk perdagangan Japan Post Bank yang dapat kumpulkan 1,3 triliun yen atau USD 9,9 miliar, penjualan terbesar dalam hampir dua tahun.

Pemegang saham dan perusahaan dengan cepat menjual saham untuk mengambil keuntungan dari reli saham pada awal tahun dan mengamankan pendanaan di tengah kenaikan suku bunga.

 

 


Perusahaan Beralih ke Obligasi Konversi

Ilustrasi Obligasi (Photo created by rawpixel.com on Freepik)

Biaya utang lebih tinggi juga berarti beberapa perusahaan telah lepaskan kepemilikan silang untuk membebaskan modal untuk pembayaran utang dan kebutuhan pendananaan lainnya.

Fomento Economico Mexicano mengumpulkan USD 4 miliar atau sekitar Rp 59,75 triliun dari saham dan penawaran terkait Heineken pada Februari, kesepakatan terbesar di Eropa, Timur Tengah dan Afrika sejak 2004. Penjualan besar lainnya termasuk perdagangan USD 2,4 miliar dan London Stock Exchange Group Plc dan Belgia menjual saham BNP Paribas SA senilai USD 2,3 miliar.

Perusahaan juga beralih ke obligasi konversi yang memungkinkan meminjam lebih murah mengingat sekuritas tersebut memiliki opsi beli. Perusahaan dari perusahaan pengiriman makanan Jerman Deliversy Hero SE hingga perusahaan hiburan video China Iqiyi Inc dan produsen kendaraan listrik Rivian Automotive Inc, semuanya telah menjual obligasi tersebut. Sekitar USD 6,4 miliar atau sekitar Rp 95,59 triliun telah terkumpul dalam bentuk konverstibel secara global pada 2023, menurut data yang dikumpulkan oleh Bloomberg.

Bahkan setelah volatilitas yang disebabkan oleh runtuhnya Silicon Valley Bank, bankir optimistis kalau aktivitas pasar modal akan meningkat. Sementara konversi akan tetap menjadi instrument pendanaan yang menarik. “Kami tetap optimis dengan hati-hati pada prospek aktivitas penerbitan,” ujar Head of ECM for EMEA, Barclays Plc Lawrence Jamieson.

Ia menambahkan, penularan perbankan yang dimulai dengan runtuhnya Silivon Valley Bank lebih merupakan gejalan guncangan kepercayaan terhadap kejutan kredit.  “Apa yang telah kami lihat selama beberapa hari terakhir adalah pasar bekerja melalui berbagai risiko yang muncul,” ujar dia.

 

Infografis Bank Dunia Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi Global Bakal Terjun Bebas. (Liputan6.com/Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya