10.000 Warga Myanmar Melarikan Diri ke Thailand Pasca Pertempuran Militer Vs Kelompok Etnik Bersenjata

Pekerja bantuan di daerah perbatasan telah menyerukan bantuan kemanusiaan yang mendesak bagi para pengungsi Myanmar.

oleh Khairisa Ferida diperbarui 08 Apr 2023, 14:27 WIB
Aktivitas pelatihan militer yang dilakukan oleh kelompok pemberontak KNPP di Negara Bagian Kayah, Myanmar.Serangan yang dilancarkan junta militer di desa-desa membuat para warga berlindung di hutan dan menguatkan tekad mereka untuk berjuang melawan kudeta. (Handout/Kantarawaddy Times/AFP)

Liputan6.com, Bangkok - Sekitar 10.000 warga Myanmar melarikan diri ke Thailand untuk menghindari pertempuran sengit antara militer dan kelompok etnik bersenjata sejak Rabu (5/4/2023). Hal tersebut diungkapkan pihak berwenang Thailand.

Mereka melarikan diri dari Kota Shwe Kokko, yang dikendalikan oleh milisi pro-militer dan rumah bagi kasino milik China. Junta militer Myanmar sejauh ini belum merilis pernyataan apapun tentang pertempuran dengan kelompok etnik bersenjata.

Fenomena ini merupakan salah satu pergerakan lintas batas terbesar sejak kudeta militer Myanmar dua tahun lalu, yang mengakibatkan ribuan orang tewas dan sekitar 1,4 juta orang mengungsi. Menurut PBB, hampir sepertiga dari populasi Myanmar membutuhkan bantuan.

Pernyataan Tentara Pembebasan Nasional Karen (KNLA) yang dilansir BBC, Sabtu (8/4/2023), menyebutkan bahwa pertempuran pecah setelah mereka melancarkan serangan terhadap pos-pos militer pada Rabu. Lebih dari 80 orang tewas dari kedua sisi.

KNLA juga telah menutup jalan raya Myawaddy-Kawkareik Asia -salah satu jalan utama menuju perbatasan- selama dua minggu mulai Jumat (7/4).

Pekerja bantuan di daerah perbatasan -Mae Sot dan Mae Ramat Thailand- telah menyerukan bantuan kemanusiaan yang mendesak. Sementara para pengungsi mencari perlindungan di sekolah, biara dan perkebunan karet.

"Dalam jangka panjang, kami membutuhkan lebih banyak donatur," kata seorang relawan Myanmar Kay Thi Htwe di sebuah biara di Mae Sot, yang menampung 500 pengungsi.

Pasukan Penjaga Perbatasan yang berpihak pada militer memperingatkan penduduk untuk tetap tinggal di dalam rumah. Seruan itu terjadi ketika militer dilaporkan terus menghancurkan perlawanan sipil, menargetkan sekolah, klinik, dan desa.


Guru dan Petugas Kesehatan Jadi Target

Para pengunjuk rasa bereaksi ketika mereka diliputi oleh gas air mata yang ditembakkan oleh polisi, dan ketika pengunjuk rasa lainnya melepaskan alat pemadam kebakaran, selama demonstrasi menentang kudeta militer di Yangon (6/3/2021). (AFP Photo)

Awal pekan ini, militer menangkap 15 guru yang memberikan kelas online untuk sebuah sekolah yang didukung oleh Pemerintah Persatuan Nasional Myanmar (NUG) yang diasingkan.

"Para guru ditangkap dari rumah mereka di Mandalay, Saigang dan Magway," kata seorang anggota Komite Pemogokan Umum Pekerja Pendidikan Dasar kepada BBC.

Pada Juli, sekitar 30 guru juga dilaporkan ditangkap karena mengajar via sekolah online yang diakui NUG.

Sejak awal, pendidikan telah menjadi medan pertempuran di Myanmar. Guru termasuk yang pertama, bersama dengan petugas kesehatan, yang melancarkan protes terhadap kudeta dan berada di garis depan protes besar-besaran yang diserukan oleh Gerakan Pembangkangan Sipil pada minggu-minggu pertama setelah kudeta militer.

Ketika gerakan protes dihancurkan, sebagian besar dari mereka masih menolak perintah junta militer untuk kembali bekerja. Pada Mei 2020, sekitar 150.000 guru dan dosen universitas diberhentikan dari pekerjaannya. Banyak yang memutuskan untuk bersembunyi, bergabung dengan sekolah dan klinik di daerah di mana komunitas telah memulai perjuangan bersenjata melawan kekuasaan militer.

Militer memandang pendirian sekolah dan klinik independen sebagai ancaman eksistensial. Angka resmi menunjukkan jumlah siswa yang mengikuti ujian matrikulasi kelas 10 di sekolah negeri sekarang hanya seperlima dari jumlah sebelum kudeta.

Adapun guru yang bekerja di luar organisasi yang diakui negara dicap teroris.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya