Liputan6.com, Jakarta Azan magrib menjadi hal yang amat ditunggu-tunggu oleh orang yang tengah menjalankan puasa Ramadhan.
Pasalnya, azan tersebut menandakan tibanya waktu berbuka puasa. Namun saking laparnya, tak jarang ada orang yang langsung buka puasa ketika mendengar azan meski dari desa sebelah.
Advertisement
Menurut pengabdi di Ma'had Aly PP Nurul Jadid Paiton, Probolinggo Ustaz Musta'in Romli, beberapa azan yang dikumandangkan terkadang tidak berbarengan karena perbedaan jam. Meskipun perbedannya tidak terlalu signifikan, hanya sekitar satu hingga dua menit.
Tidak hanya antar desa, perbedaan waktu azan bahkan kerap terjadi di beberapa masjid yang berada dalam satu desa.
“Sebenarnya, waktu berbuka puasa, sebagaimana dalam literatur turats, tidak berpatokan pada waktu azan, melainkan dilihat dari terbenamnya matahari di waktu sore yang tak lain merupakan waktu masuknya shalat magrib,” kata Musta’in dikutip dari NU Online, Sabtu (8/4/2023).
أن التحلل عن الصوم يحصل بدخول وقت الافطار وهو غروب الشمس تعاطي المفطر أم لا
Artinya: “Seseorang bisa dikatakan terbebas dari tanggungan berpuasa ketika telah masuk waktu berbuka dengan terbenamnya matahari (masuk waktu magrib), baik orang yang berpuasa telah makan atau tidak.” (Abdul Hamid As-Syirwani, Hawasyis Syirwani, [Mesir, Al-Maktabah At-Tijariyah Al-Kubra:1983], juz IV, halaman 172).
Waktu Magrib Merupakan Hasil Perhitungan Ilmu Falak
Waktu magrib merupakan waktu dibolehkannya berbuka bagi orang yang berpuasa, berlandaskan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas di dalam Kitab Musnad Ahmad, sebagai berikut:
صَلَّى بِي الْمَغْرِبَ حِينَ أَفْطَرَ الصَّائِمُ ، ثُمَّ صَلَّى بِي الْعِشَاءَ حِينَ غَابَ الشَّفَقُ ، ثُمَّ صَلَّى بِي الْفَجْرَ حِينَ حَرُمَ الطَّعَامُ وَالشَّرَابُ عَلَى الصَّائِمِ
Artinya: “Rasulullah SAW salat magrib bersamaku (Ibnu Abbas) di waktu berbukanya orang yang berpuasa, kemudian beliau salat isya denganku ketika mega-mega merah telah hilang, lalu shalat Fajar (Subuh) bersamaku ketika diharamkannya makan dan minum bagi orang yang berpuasa”. (Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad, [Muassatur Risalah: 2001], juz I, halaman 333).
Waktu magrib dengan berlandaskan jam waktu salat yang merupakan hasil perhitungan astronomis, sejatinya untuk mempermudah umat manusia dalam mengetahui masuknya waktu salat. Salah satunya waktu magrib, tanpa harus meneliti terbenamnya matahari.
Karena waktu salat yang beredar di masyarakat merupakan hasil dari perhitungan ilmu falak yang bisa dipastikan kebenarannya.
Advertisement
Hukumnya Boleh Selama Masih Satu Daerah
Sementara, perbedaan azan yang dikumandangkan antara satu desa dengan desa yang lain disebabkan oleh berbagai hal seperti pengaturan jam di masjid masing-masing. Ada yang cepat dan ada juga yang lambat. Namun, waktu salatnya tetap sama.
“Maka berbuka puasa mengikuti azan desa sebelah hukumnya boleh, selama masih satu daerah, seperti sekabupaten Probolinggo. Karena tidak ada perbedaan jam waktu salat selama masih satu daerah,” tambah Musta’in.
Kebolehan ini dengan syarat ketika matahari telah terbenam secara nyata, bahkan disunahkan bersegera untuk berbuka. Sebaliknya, jika hanya menduga-duga akan terbenamnya matahari atau ragu-ragu, maka tidak disunahkan bersegera untuk berbuka, bahkan haram.
يُسَنُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ إذَا تَيَقَّنَ الْغُرُوبَ خَرَجَ بِهِ ظَنُّهُ بِاجْتِهَادٍ فَلَا يُسَنُّ تَعْجِيلُ الْفِطْرِ بِهِ وَظَنُّهُ بِلَا اجْتِهَادٍ وَشَكُّهُ فَيَحْرُمُ بِهِمَا
Artinya: “Disunahkan segera berbuka puasa jika matahari terbenam secara nyata, terkecuali jika hanya menduga-duga dengan adanya ijtihad akan terbenamnya matahari, maka tidak disunahkan. Dan apabila menduga tanpa adanya ijtihad, bahkan ragu akan terbenamnya matahari, maka hukum bersegera untuk berbuka menjadi haram.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtaj, [Beirut, Darl Ihya’ at-Turats al-Arabi: tt], juz XIII, halaman 406).
Segera Buka Puasa Setelah Waktunya
Kesunahan bersegera untuk berbuka puasa berdasar pada hadits shahih Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisah, sebagai berikut:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : ثَلاَثَةٌ مِنَ النُّبُوَّةِ : تَعْجِيلُ الإِفْطَارِ ، وَتَأْخِيرُ السُّحُورِ ، وَوَضْعُ الْيَدِ الْيُمْنَى عَلَى الْيُسْرَى فِى الصَّلاَةِ
Artinya: “Diriwayatkan oleh Sayyidah ‘Aisyah, beliau berkata: ‘Ada tiga hal yang merupakan ajaran Nabi SAW; bersegera untuk berbuka, mengakhirkan sahur dan meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri ketika shalat.” (Abu Bakar Al-Baihaqi, As-Sunanul Kubra, [Beirut, Darul Kutub Al-‘Ilmiyah: 2003], juz IV, halaman 401).
Memang bersikap hati-hati dalam menentukan waktu berbuka sangat penting, karena ketika salah sedikit–tanpa adanya usaha–dalam menentukan hal tersebut, maka berakibat fatal terhadap keabsahan puasa.
“Artinya, menahan diri dari rasa lapar dan haus selama satu hari menjadi sia-sia karena puasanya tidak sah. Namun demikian, kehati-hatian tersebut tidak boleh berlebihan, sekiranya tidak sampai menimbulkan rasa was-was yang bisa menyiksa terhadap diri seseorang, Wallahu a’lam,” tutup Musta’in.
Advertisement