Liputan6.com, Cianjur - Reak merupakan sebuah kesenian Cianjur. Kesenian ini lahir dengan memadukan kesenian-kesenian lainnya, seperti reog, angklung, kendang pencak, dan topeng.
Mengutip dari warisanbudaya.kemdikbud.go.id, konon, kesenian ini lahir sekitar abad ke-12. Kala itu, Prabu Kiansantang (putra Prabu Siliwangi) ingin penduduk Pulau Jawa, khususnya Jawa Barat, menganut agama Islam. Sementara dalam agama Islam, ada kewajiban khitan bagi anak laki-laki.
Prosesi khitan yang berarti memotong bagian ujung penis ini kerap membuat anak ketakutan. Oleh karena itu, para sesepuh Sumedang menciptakan suatu kesenian untuk menghibur anak-anak yang akan dikhitan, sehingga mengurangi rasa takut.
Baca Juga
Advertisement
Adapun nama 'reak' merupakan perpaduan dari berbagai jenis kesenian, sehingga mewujudkan sorak-sorai dari pemain maupun penonton. Pada era 50-an, kesenian ini dibawa oleh para pedagang Sumedang ke daerah Cianjur. Hal itulah yang membuat sebagian besar seniman reak di daerah Cianjur merupakan keturunan orang-orang Sumedang.
Kesenian reak umumnya dimainkan oleh minimal 20 orang. Masing-masing pemain memiliki perannya masing-masing, misalnya 4 orang pemegang alat reog, 4 orang penggendang pencak, 10 orang pengangklung, 2 orang penari topeng, 6 orang penari, dan 4 orang pengecrek.
Busana yang dikenakan adalah pakain sehari-hari dan tidak seragam. Adapun peralatan yang digunakan dalam kesenian tradisional reak adalah dogdog yang terbuat dari kayu dan kulit, angklung yang terbuat dari bambu, kendang yang terbuat dari kayu dan kulit, goong yang terbuat dari perunggu, terompet yang terbuat dari kayu dan tempurung, topeng yang terbuat dari karton (kertas) dan kulit, serta kecrek yang terbuat dari besi.
Saat penabuh dogdog mulai beraksi, para pemain pun berjalan mengelilingi arena, termasuk para penggendang, pengangklung, dan pengegoong. Hal ini merupakan suatu pengenalan agar para penonton mengetahui orang-orang yang akan memainkan kesenian ini.
Setelah diperkenalkan, maka pemimpin akan memberi sambutan yang kemudian dilanjutkan dengan lagu-lagu. Dalam hal ini, mereka tidak hanya menunjukkan kelincahan dalam menggerakkan tubuh dan memainkan peralatan, tetapi juga menunjukkan gerakan-gerakan tertentu untuk menarik penonton.
(Resla Aknaita Chak)