Liputan6.com, Jakarta - Hidung elektronik atau e-nose, merevolusi cara kita berinteraksi dengan dunia di sekitar kita.
Sistem ini menggabungkan sensor gas kimia, pemrosesan sinyal, dan algoritme machine learning untuk meniru indera penciuman, sehingga memungkinkan berbagai aplikasi seperti pemeriksaan kualitas makanan, pemantauan polusi udara, diagnosis penyakit, dan pendeteksian bahan peledak.
Advertisement
Namun, bagaimana cara kerja hidung elektronik itu dan apa saja tantangan serta peluang di bidang ini?
Sebuah tim yang dipimpin oleh Jingdong Chen dari Northwestern Polytechnical University dan Weiwei Wu dari Xidian University, keduanya berbasis di Xi'an, Tiongkok, baru-baru ini mengeksplorasi pertanyaan-pertanyaan ini dalam sebuah tinjauan komprehensif tentang metode dan algoritma yang dikembangkan untuk pengembangan dan penelitian terkait hidung elektronik.
Diterbitkan di Intelligent Computing, Science Partner Journal, tinjauan ini merangkum metode dan algoritme yang ada di bidang hidung elektronik, lalu mengelompokkannya sesuai dengan kerangka kerja klasifikasi yang menyoroti tantangan yang dihadirkan oleh keterbatasan sensor gas.
Hidung elektronik bekerja dengan meniru indera penciuman biologis secara artifisial. Sensor gas pada hidung elektronik sesuai dengan neuron reseptor penciuman biologis.
Ketika molekul di udara masuk ke dalam hidung, sensor bereaksi terhadap molekul ini dan berubah dengan cara yang dapat diukur dengan sinyal elektronik. Sinyal-sinyal ini kemudian dikonversi dari format analog ke format digital, sehingga komputer dapat menganalisis dan menginterpretasikan data.
Keterbatasan sensor gas
Namun demikian, sensor gas memiliki sejumlah keterbatasan yang perlu diatasi. Misalnya, sensor ini merespons semua rangsangan dalam campuran bau, sehingga sulit untuk membedakan bau yang berbeda. Sensor ini juga dapat terpengaruh oleh bau nontarget, dan sensor yang berbeda dapat merespons secara berbeda terhadap rangsangan kimiawi yang sama.
Selain itu, setiap sensor gas beroperasi dalam rentang yang ditentukan oleh jumlah minimum dan maksimum yang dapat dideteksi, dan sensor bervariasi dalam kemampuannya untuk mendeteksi konsentrasi bau secara akurat.
Sensor gas juga sering kali tidak menghasilkan respons yang stabil dan dapat direproduksi terhadap rangsangan kimiawi yang sama karena penuaan material, perubahan lingkungan, atau kegagalan sensor.
Advertisement
Jalan panjang
Selain itu, dua sensor gas dengan jenis yang sama mungkin memiliki respons yang berbeda terhadap gas yang sama dalam kondisi yang sama, dan dipengaruhi oleh kebisingan eksternal dan internal.
Terlepas dari kemajuan signifikan yang dicapai dalam beberapa dekade terakhir, penyebaran e-nose dalam skala besar dalam aplikasi praktis masih harus menempuh jalan panjang. Untuk memastikan ketahanan sistem e-nose, para peneliti pun meyakini bahwa tugas-tugas tertentu harus diberi perhatian lebih besar.
Hal ini termasuk penekanan dan pengenalan gangguan, optimalisasi susunan sensor, deteksi penyimpangan dan kegagalan sensor, pengurangan dan pemanfaatan kebisingan, dan menentukan batas deteksi, antara lain.
Penting juga untuk mempelajari model matematika dasar dari mekanisme penginderaan, yang merupakan dasar untuk memecahkan banyak masalah yang terkait dengan e-nose.
Infografis 7 Tips Pulihkan Penciuman Akibat Terpapar Covid-19. (Liputan6.com/Abdillah)
Advertisement