Liputan6.com, Jakarta Sesuai tagline-nya, "What you eat, what i eat, apa yang kamu makan, apa yang saya makan", itulah yang dipegang teguh oleh Evan, penginisiasi Nasi Darurat Jogja. Berawal dari kisahnya sendiri, program yang digagasnya itu kemudian viral di media sosial.
Baca Juga
Advertisement
Melalui laman Twitter @stefanaezer, yang kini sudah diubah menjadi @nasidaruratJogj, program tersebut sukses menyedot atensi warganet, khususnya yang tinggal di sekitar Jogja. Pemuda yang akrab dipanggil Evan itu menjelaskan kalau program Nasi Darurat Jogja didasari pada rasa kekagumannya pada seseorang.
Tentu publik masih ingat dengan kejadian pilu yang menimpa salah satu mahasiswa di Jogja. Selama berkuliah di Jogja, ia bekerja untuk membiayai kuliahnya. Ia kemudian meninggal dunia di tengah beban biaya UKT yang harus dibayarnya tiap semester. Kisahnya pun viral di Twitter.
Kejadian tersebut rupanya membuat Evan semakin membulatkan niatnya untuk menjalankan program Nasi Darurat Jogja tersebut. Ditemui oleh Liputan6.com, pemuda asal Wonosari, Gunung Kidul itu menceritakan kisah serta bagaimana program Nasi Darurat Jogja bisa berjalan hingga kini.
Dari mengantar nasi darurat dengan sepeda, hingga akhirnya mendapatkan donasi karena keviralannya pernah di-repost oleh artis Jefri Nichol lewat Instagram Story-nya. Simak kisah lengkap Evan yang dirangkum Liputan6.com, Selasa (11/4/2023).
Berawal dari Ulang Tahun Tergelap
Program Nasi Darurat Jogja rupanya terbentuk atas pengalaman pribadi dari Evan sendiri. Dimulai dari bulan Desember 2022 lalu, Evan mengalami kesulitan ekonomi hingga tidak bisa beli makan. Uang tabungannya sudah digunakan untuk mengganti LCD dan baterai ponselnya yang rusak.
"Itu berdasar pengalaman diri sendiri sih, jadi di bulan Desember 2022 kemarin aku mengalami kehabisan duit gara-gara dibuat ganti LCD sama baterai HP yang lama. Tanpa HP kan enggak bisa apa-apa, enggak bisa kerja," tutur Evan, ditemui Liputan6.com, Jumat (7/4/2023).
Beruntung, di depan rumah kosnya ada pohon sukun yang sedang berbuah. Pemuda berusia 26 tahun itu pun langsung memetik sukun itu untuk dikonsumsi selama 3 hari berturut-turut, tanpa makan nasi. Evan juga mengungkapkan perasaannya yang menyedihkan itu.
"Sakit itu rasanya, tapi bukan di badan atau fisik, lebih ke batin 'kok gini banget' kan menyedihkan," ungkapnya.
Pahitnya lagi, hal itu terjadi tepat di hari ulang tahunnya. Evan pun merasa kalau momen ulang tahunnya yang ke-26 itu menjadi ulang tahun tergelapnya. Hari itu bahkan ia tidak bisa tidur karena sedih. Hingga, datanglah seorang kawan yang membantunya.
Advertisement
Bersyukur Dibantu Teman
Selama tiga hari tidak bisa beli makan, Evan sempat berpikir untuk menjual barang. Namun tidak sampai hati, karena nilai jualnya pasti tidak seberapa.
Beruntung, ada teman yang membantunya. Evan menuturkan jika awalnya ia sama sekali tidak menyangka kalau temannya itu akan ingat dengannya. Saat itu, pemuda kelahiran tahun 1996 tersebut diajak makan bareng oleh temannya. Ia kemudian menceritakan keadaannya pada sang kawan tersebut.
"Jam 8 pagi. Aku belum tidur semaleman, aku bilang aku engga punya duit buat makan, terima kasih," ceritanya.
Kemudian, temannya itu ‘support’ Evan untuk hari keempat, kelima dan keenam, selama tiga hari hingga ia mendapat pemasukan lagi. Dari situ lah tercetus niat untuk menginisiasi Nasi Darurat Jogja. Berkaca dari diriku sendiri, yang kemudian dikuatkan lagi dengan kejadian yang dialami mahasiswa lain di Jogja.
"Kemudian lewat masa itu, aku dapat pemasukan. Di bulan berikutnya, aku mikir hidupku mau ngapain lagi sih. Yang mentrigger itu selalu kubilang mahasiswi UNY yang kemarin meninggal," terangnya.
Awalnya Masak Sendiri
Awal program Nasi Darurat Jogja, Evan memulainya dengan memasak sendiri. Temannya pun ikut membantu dengan sokongan dana, meski awalnya sempat ditolak oleh Evan. Ia juga menceritakan jika kala itu masih menggunakan sepeda untuk pengantaran.
"Sore belanja, sampai kos langsung masak nasi, sayur oseng buncis, lauknya telur goring. Selesai masak jam 10 malam, mbungkusin, lalu antar jam 11. Waktu itu dari Maguwo ke Kota Gede pakai sepeda. Sampai kos jam setengah 1 pagi. Masih kepikiran lagi belum nyuci peralatan masak tadi. Nah, itu malah bikin trauma karena kelelahan," ungkapnya.
Jadi, pada hari berikutnya, sang kawan memberi saran kalau sebaiknya nasi bungkus itu beli saja, tidak perlu masak sendiri. Alhasil, cara masak sendiri hanya berjalan dua hari. Selanjutnya, beli.
Alur Berjalannya Program Nasi Darurat Jogja
Dalam wawancaranya, Evan berkali-kali menegaskan kalau program ini merupakan ‘nasi darurat’ bukan nasi gratis. Jadi, sasarannya untuk orang-orang yang benar darurat tidak bisa membeli makan.
"Ya Gratis, tapi darurat. Standarnya itu diriku sendiri, yang pas ngalamin hal itu kemarin," tandasnya.
Dalam kesempatan itu, anak pertama dari dua bersaudara tersebut juga menjelaskan alur dari program yang ia jalankan sejak 14 Januari. Pertama, dari banyaknya nomor yang masuk, ia masukkan dulu ke arsip. Kemudian minta lokasinya. Dari situ, Evan akan menamai kontak yang lokasinya sama. Setelah itu, barulah ia mendistribusikan kontak-kontak itu kepada relawan yang mengantar makanan.
Awal program berjalan, Evan bekerja sendiri. Namun, sekarang ia sudah punya tim,yakni para relawan pengantaran. Meski sudah punya tim, pemuda berlogat Jogja itu tetap ikut mengantarkan makanan yang sudah diminta oleh orang-orang melalui WhatsApp.
Dalam menjalankan programnya, Evan dibantu oleh relawan yang berjumlah 25 orang. Kebanyakan, mereka menawarkan diri lewat Twitter. Namun, kini yang aktif hanya ada 6-7 orang saja. Pemuda lulusan SMK itu juga hanya memberikan job kepada relawan yang bisa dan dekat dengan lokasi pengantaran.
Evan mulai mendata lokasi dari chat yang masuk pukul 16.00-17.00. Setelah dipetakan areanya, relawan pun mulai jalan paling lambat sebelum jam 19.00. Nasi bungkusnya pun langsung dibeli dekat dengan lokasi yang mau didatangi, sehingga masih baru dan hemat waktu. Per bungkus dibatasi Rp10 ribu.
Karena aksi ini merupakan cerminan dari dirinya, maka ia berpikir untuk membatasi memberi makan darurat kepada orang yang sama maksimal 3 kali.
"Kasih makan maksimal 3 kali. Aksi ini adalah cerminan dari diriku. Tapi seandainya orangnya ada effort, bisa lah kasih 3-4 kali bahkan lebih. Aku menilainya masih subjektif jadi ngga tega. Kalau jam 8 atau 9 malam udah selesai, tapi ada yang minta lagi, ya tetap diantar," ungkapnya.
Advertisement
Donasi Berdatangan Usai Viral di Media Sosial
Program Nasi Darurat Jogja rupanya mendapat respons yang bagus dari warganet, khususnya yang kini berada di Jogja. Melalui laman Twitter pribadinya @stefanaezer, Evan mencoba mempromosikan programnya tersebut. Tidak disangka, setelah itu tambah banyak yang menghubungi.
The power of media social, postingan yang mulai diunggah pada 12 Februari 2023 itu pun meledak. Dari situ, donasi pun mulai banyak berdatangan.
"Awalnya mengandalkan uang pribadi, dan nggak mau terima donasi. Dulu cuma terima beras, mi, telur, sayur, aku pede masak sendiri. Dulu berat hati, tapi sekarang jadi senang hati untuk menerima karena kita sekarang cuma jadi penyalur," tuturnya.
Karena saat viral banyak yang masuk, sehingga uang donasi dimasukkin ke kas. Kasnya disimpan untuk dua bulan ke depan. Hal itu juga solusi jika donasi sudah mulai sepi karena viralnya sudah lewat. Evan juga mengaku program ini akan tetap berjalan meski dananya habis.
"Itu akan terus berjalan, diusahakan jalan meski dananya habis. Setidaknya satu atau dua orang bisa terbantu," ucapnya.
Pernah Di-notice Jefri Nichol
Bahkan saking viralnya, template program Nasi Darurat Jogja yang dibuat Evan sempat di-repost oleh artis Jefri Nichol lewat Insta Story. Setelah itu, chat yang masuk semakin banyak. Meski begitu, ia merasa senang karena tidak perlu membuat iklan.
"Engga tahu tiba-tiba di-repost sama Jefri Nichol. Ada salah satu influencer. Habis itu kacau, tapi ya senang. Karena engga perlu iklan, tapi nomerku udah tersebar dengan sendirinya," ucapnya.
Bulan Ramadhan dan Rencana Masa Depan
Saat ditanya apakah ada program khusus di bulan Ramadhan, Evan mengaku tidak ada. Padahal, ada beberapa orang atau akun di media sosial yang mengajaknya kolaborasi, seperti bagi takjil atau sahur on the road.
"Di bulan Ramadhan engga ada program. Padahal banyak sih yang ngajak kolab bagi-bagi takjil atau sahur on the road. Tapi engga bisa, apa yang aku lakukan ini untuk tetap tagline nasi darurat, dengan jadwal dan konsep yang kami bikin," tuturnya.
Dalam hal ini, Evan menyatakan prinsipnya. Bahwa aksi ini tidak serta merta agar orang yang dia bantu ingat dengannya, namun ia ingin agar orang yang dia bantu nantinya bisa berdampak yang lebih luas, untuk keluarga dan lingkungan sekitar. Ia ingin apa yang dilakukan, manfaatnya bisa dirasakan oleh orang lain.
"Prinsipku, kita harus punya value, aku sendiri dengan pekerjaanku belum bisa mengeluarkan potensi maksimal yang ada pada diriku, istilahnya belum bisa bermanfaat buat banyak orang," lanjutnya.
Sampai saat ini, Evan mengaku akan berkomitmen untuk fokus ke program ini. Bahkan, ia sampai menolak pekerjaan freelance. Kedepannya, ia juga ingin agar tidak selalu mengandalkan donasi. Ia ingin bertanggung jawab dengan apa yang sudah diinisiasinya.
Setelah lebaran, ia punya rencana untuk mencari kontrakan di daerah yang paling banyak orang minta nasi (berdasarkan area yang sudah terpetakan). Di sana, Evan ingin membuat dapur umum. Agar orang-orang bisa ambil sendiri.
Cerita Seram Saat Melewati Kuburan
Menyela sekilas dari cerita masa depan program, Evan mengungkapkan pernah mengalami kejadian seram saat mengantar nasi daruratnya jam setengah 3 pagi. Pengalaman itu dialaminya saat lewat di daerah Panggung Krapyak, Yogyakarta. Di sana, ada jalan yang lebar dan terdapat makam yang luas.
"Sempat pengalaman ada di daerah Panggung Krapyak, sebelah timur ada makam luas banget. Pertama kali nggak tau, ngikutin gmaps, ada jalan lumayan lebar, santai karena nggak sadar, pas lihat ternyata kuburan," ceritanya.
Namun, dia tidak terlalu menghiraukan walaupun harus mengantar melewati kuburan atau tersesat di sawah. Yang terpenting adalah ketemu orangnya.
Advertisement
Pencapaian yang Dirasakan Hingga Kini
Dua bulan berjalan, Evan mengaku sudah membagikan lebih dari 2.500 bungkus nasi. Sehari rata-rata 70 bungkus yang dibagi. Kalau ramai, bisa sampai 25-35 lokasi. Biasanya di atas tanggal 17, karena awal bulan selalu sepi. Meski begitu, ia mengaku terharu. Sedikit tidak masalah, yang penting tepat sasaran, sesuai tagline 'darurat'.
Bicara tentang kendala, Evan mengatakan yang terasa sekali adalah waktu, karena dia dan tim harus langsung ke lokasi. Bahkan ketika belum punya banyak relawan, ia sempat beberapa kali sakit karena mengantar saat hujan. Selain itu, stand by di lokasi pengantaran sambil menunggu orang yang minta juga lelah, di badan dan pikiran.
"Pengantaran setiap hari. Karena banyak waktu luang, dulu aku antar pakai sepeda. Awalnya 5 sampai 10 tempat aja. Lokasi antar paling jauh dari Maguwo ke Gamping pakai sepeda. Kalau sekarang sudah ada motor, paling jauh ke ISI, Sewon, Bantul," katanya.
Kini, program nasi daruratnya sehari rata-rata bisa habis Rp 700 ribu hingga Rp 1 juta untuk beli makan dan bensin relawan. Sebelum viral, ia mengatakan hanya menghabiskan Rp 400-500 ribu sehari. Dalam keberjalanan program ini, Evan juga ingin bisa tepat sasaran dalam pemberian nasi darurat.
"Tepat sasaran itu, misal ada yang minta 1-2 kali udah, meskipun keliatannya seperti orang nggak butuh-butuh banget, tapi justru itu yang tepat sasaran karena benar-benar memanfaatkan. Tapi justru merasa dimanfaatkan kalau orang itu minta 1-3 kali lebih minta terus. Kalau ada sisa baru aku kasih," jelasnya.
"Dalam hidup, aku melakukan sesuatu bukan karena cari duit sebanyak2nya, sukses, pengin terlihat punya pencapaian, aku merenung aku engga kesitu," tutupnya.