Liputan6.com, Jakarta - Kalah perang dan diasingkan, bukan berarti hidup segera berakhir. Pangeran Diponegoro mengajarkan nilai ini saat menyusun naskah legendaris dalam pembuangannya di Manado, Sulawesi Utara pada tempo 1832 silam: Babad Diponegoro beraksara Pegon setebal 1.150 halaman.
"Banyak karya beliau yang kini terlupakan, tetapi ada satu yang monumental yaitu Babad Diponegoro yang merupakan karya beliau saat masa pembuangan," ujar KH. Ahmad Baso dalam acara Inspirasi Ramadan 2023 BKN PDI Perjuangan bersama Host Panji Rahardian, Senin (10/04/2023).
Advertisement
Baso menuturkan, karya tulis setebal 1.150 halaman itu teramat unik lantaran ditulis dengan huruf pegon. Kemungkinan besar, kemampuan menulis aksara pegon itu didapat Pangeran Diponegoro saat mengaji sastra dan menulis naskah ketika tinggal bersama nenek buyutnya, Nyai Ageng Tegalrejo.
"Pangeran Diponegoro sendiri belajar pegon waktu ikut sama nenek buyutnya Nyai Ageng Tegalrejo. Istri dari Hamengku Buwono Pertama itu mendirikan pesantren," katanya.
Salah satunya yakni ngaji kitab dan ngaji sastra. Sastranya itu adalah ngaji aksara-aksara pegon. Banyak naskah yang diminta oleh nenek buyutnya untuk ditulis, salah satunya pegon setebal 3.000 halaman
Babad Diponegoro berisi banyak hal, mulai dari dari peran semua lapisan masyarakat yang bergotong-royong dan bahu membahu dalam mengusir penjajah, hingga pada pelajaran kaderisasi bagi seorang calon pemimpin.
Buku ini, jelasnya, menyebutkan bahwa calon pemimpin tidak hanya dikader di pesantren, tetapi juga di pasar, dan di sawah. Pemimpin dikader di sawah agar tahu bertani karena pertanian itu sumber kehidupan. Selain itu, kepekaan seorang pemimpin ditunjukkan dari datangnya ia ke sawah.
"Lalu bentuk pengkaderan lainnya dilakukan di pasar. Hal ini dilakukan agar seorang calon pemimpin agar dapat memahami tentang harga kebutuhan pokok yang merupakan indikator kesejahteraan masyarakat," jelas intelektual muda NU itu.
Baso juga menjelaskan bahwa Pangeran Diponegoro sangat paham tentang agama dan bangsa. Bahkan, perjuangan dan tujuan hidupnya pun juga dilandasi dua hal tersebut.
Menurutnya melakoni agama tidak diartikan secara individual namun harus dipahami untuk mengangkat kesejahteraan dan melawan kezaliman. Hal inilah yang Diponegoro tunjukan saat mempelopori Perang Jawa.
"Ia ingin mewujudkan negeri yang direstui oleh Allah. Maka, masyarakatnya harus lepas dari penindasan, kemiskinan dan kezaliman," terang Baso.