Liputan6.com, Jakarta Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengungkapkan bahwa sebanyak 44 negara telah menyatakan minatnya untuk meminjam dana dari program Resilience and Sustainability Trust senilai USD 40 miliar atau sekitar Rp. 595,4 triliun.
Sebelumnya, sudah ada 5 negara yang sepakat mengikuti program tersebut, yaitu Rwanda, Barbados, Kosta Rika, Bangladesh dan Jamaika.
Advertisement
Melansir Channel News Asia, Selasa (11/4/2023) Georgieva mengatakan pada acara Komite Bretton Woods pada awal pertemuan musim semi IMF dan Bank Dunia bahwa "antrian yang sehat" negara-negara adalah tanda bahwa sumber daya fasilitas ketahanan perlu ditingkatkan ke tingkat yang jauh lebih tinggi.
Sebagai informasi, program pinjaman dana Resilience and Sustainability Trust dibentuk tahun lalu untuk membantu menyalurkan kelebihan cadangan Hak Penarikan Khusus IMF dari negara-negara kaya ke negara-negara berpenghasilan menengah, untuk menyediakan pembiayaan jangka panjang pada penanganan perubahan iklim dan transisi ke energi bersih.
Georgieva menyebut faslitas pinjaman sekitar USD 40 miliar "berukuran sedang," yang dilengkapi dengan persyaratan kebijakan ekonomi tertentu seperti memenuhi target fiskal.
Komentarnya muncul saat IMF dan negara-negara anggota Bank Dunia akan membahas cara meningkatkan pinjaman terkait pencegahan perubahan iklim dan investasi di sektor swasta, untuk memenuhi kebutuhan yang diperkirakan triliunan dolar setahun untuk memenuhi target pengurangan emisi.
"Jadi USD 40 miliar bukanlah solusinya sendiri, tetapi ini merupakan kontribusi untuk solusi, jika membantu menghilangkan hambatan untuk investasi berskala besar, terutama investasi swasta, di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang," kata Georgieva.
ASEAN Butuh Investasi USD 27 Miliar per Tahun untuk Energi Baru Terbarukan
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan tantangan yang dihadapi negara ASEAN, terutama Indonesia dalam melakukan transisi ke energi terbarukan dengan pensiun dini pada batu bara.
"Tantangannya lebih besar lagi karena kita termasuk produsen batu bara terbesar dan pembangkit listrik batu bara kita sebenarnya meningkat lebih dari 60 persen dari total bauran energi di Indonesia," ujar Sri Mulyani dalam acara Southeast Asia Development Symposium (SEADS) 2023: Imaging a Net Zero ASEAN, Kamis (30/3/2023).
"Jadi untuk kita dapat mencapai target (iklim) pada tahun 2060 atau lebih awal, tidak mungkin tanpa mengatasi masalah pembangkit listrik tenaga batu bara ini," lanjutnya.
Sri Mulyani menyebut, negara-negara ASEAN masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil untuk pembangunan ekonomi dan industri.
Bahan bakar fosil dalam hal ini menyumbang lebih dari 75 persen bauran energi pada tahun 2019. Sedangkan energi terbarukan hanya menyumbang 14 persen.
"ASEAN (mentargetkan peningkatan) kontribusi energi terbarukan hingga 23 persen pada tahun 2025. Indonesia juga memiliki ambisi yang sama," ungkap Menkeu.
Selain itu, untuk mencapai 23 persen bauran energi terbarukan ini, Sri Mulyani mengatakan, ASEAN perlu berinvestasi sebesar USD 27 miliar dalam energi terbarukan setiap tahun.
"Namun dari 2016 hingga 2021, kami hanya menarik USD 8 miliar per tahun untuk energi terbarukan. Jadi kurang dari sepertiga," jelasnya.
Advertisement
Proporsi Batu Bara di Indonesia
Di Indonesia sendiri, proporsi batu bara pada tahun 2022 hampir 32 persen dari total pembangkit listrik negara ASEAN.
"Jadi sangat penting bagi ASEAN untuk menangani, di satu sisi, ada kebutuhan akan keamanan energi dengan keterjangkauan dan keberlanjutan," kata Menkeu.
"Ketika kita berbicara tentang keterjangkauan, yang akan diukur harga energi terjangkau untuk masyarakat, industri, ekonomi, anggaran pemerintah, dan dalam hal dukungan, termasuk subsidi," tambahnya.
RUU Energi Baru dan Energi Terbarukan Selesai September 2023
Pembahasan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET) selesai September 2023. Hal ini diungkap oleh Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.
Dadan bercerita, pemerintah memiliki komitmen kuat untuk menerapkan dan mengembangkan energi baru dan energi terbarukan. Oleh karena itu dibutuhkan regulasi untuk mengakselerasi hal tersebut.
"Semua komitmen saya kira sudah sangat lengkap dari sisi pemerintah. Dari sisi regulasi kami sekarang sedang menyelesaikan untuk UU EBET. Kita terus melakukan pembahasan-pembahasan dengan target kira-kira sekitar September, targetnya sekitar September Undang-Undang ini bisa diselesaikan," katanya.
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Terdapat 574 DIM dan yang sudah dibahas mencapai 160 DIM.
"Jadi mungkin sudah 15 persen berjalan dari segi pembahasan di Panja. Saya kebetulan jadi Ketua Panja mewakili pemerintah," katanya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan diperlukan untuk mendukung pembangunan green industry dan pertumbuhan ekonomi nasional.
Advertisement