Liputan6.com, Jakarta - Setelah 77 tahun, Tupperware dilaporkan melihat retakan terbentuk dalam bisnis wadah kedap udara revolusioner yang membuatnya terkenal, dengan utang yang meningkat dan penurunan penjualan memicu peringatan bahwa perusahaan itu bisa bangkrut tanpa investasi. Lalu, bagaimana nasib bisnis Tupperware Indonesia?
Frangky Purnomo Angelo, Marketing Director Tupperware Indonesia, mengatakan bahwa dampak informasi tersebut terhadap bisnis Tupperware di Indonesia "nol." "Berita yang beredar itu mengutip dari CNN (Internasional), dari analis, bukan pernyataan resmi dari Tupperware US. Inc.," katanya pada Liputan6.com, Rabu (12/4/2023).
Advertisement
Ia mengakui bahwa perusahaan di AS terlambat dalam mengisi form khusus. Ia menerangkan, "Itu form yang harus diisi perusahaan publik terdaftar di bursa efek. Tupperware terdaftar di New York Stock Exchange. Kami terlambat submit. Keterlambatan itu karena kami sedang bekerja (bersama) internal finance dan external advisor untuk memastikan tidak ada data yang salah. Karena submission terlambat, jadi muncul spekulasi."
Ketika ditanya nasib Tupperware Indonesia, Frangky menegaskan bahwa bisnis tetap berjalan seperti biasa. "Tidak ada yang terganggu, suplai tetap lancar, inovasi sesuai rencana, distribusi barang kita tidak terganggu sampai saat ini dan (kami) percaya tidak ada dampak di masa depan, program juga tetap akan berjalan," paparnya.
Dalam laporan BBC, dilansir Rabu (12/4/2023), disebut bahwa meski ada upaya memperbaharui produknya dalam beberapa tahun terakhir dan memposisikan diri kembali ke audiens lebih muda, penjualan Tupperware gagal melesat. Dalam catatan sejarahnya, "Pesta Tupperware" perusahaan menjadikannya ikon selama revolusi konsumen tahun 1950-an dan 1960-an, dengan wadah kedap udara dan kedap air mereka yang menggemparkan pasar.
Tapi, model bisnis intinya yang menggunakan individu sebagai penjual, terutama dari rumah mereka sendiri, dinilai telah ketinggalan zaman untuk sementara waktu, dan telah pensiun sama sekali di Inggris pada 2003. Sekarang, bos perusahaan mengakui bahwa tanpa pendanaan baru, perusahaan AS itu akan menghilang dari pasar alias bangkrut.
"Kami menggunakannya (Tupperware) sebagai kata benda, yang sangat tidak biasa untuk sebuah merek," kata Catherine Shuttleworth, pendiri firma analisis ritel Savvy Marketing. "Saya pikir banyak anak muda akan terkejut bahwa ini adalah merek tersendiri."
Asal-mula Bisnis Tupperware
Tupperware adalah "produk ajaib" ketika pertama kali dijual beberapa dekade lalu. Shuttleworth menambahkan, pasar telah dibanjiri perusahaan yang menawarkan alternatif produk lebih murah dalam beberapa tahun terakhir. Perjalanan merek ini dimulai ketika penemunya, Earl Tupper, menciptakan Tupperware di awal 1940-an, mengutip situs resminya.
Pada 1944, Tupper mendirikan "Perusahaan Plastik Tupperware." Ahli kimia Amerika ini adalah perintis penggunaan polietilen untuk keperluan rumah tangga. Dua tahun kemudian, pada 1946, ia memperkenalkan Wonderlier Bowl, segel kedap udaranya yang legendaris dengan pola tepi terbalik pada kaleng cat, yang mencegah makanan mengering, layu, atau kehilangan rasanya di lemari es.
Brownie Wise adalah perintis pramuniaga Amerika yang sangat bertanggung jawab atas keberhasilan Tupperware, melalui pengembangan sistem Tupperware Home Demonstrasi. Tupperware Home Party pertama, tonggak dalam sejarah Tupperware, diadakan pada 1948, memperkenalkan cara baru bagi produk Tupperware untuk menjangkau konsumen.
Demonstrasi terbukti jadi cara yang sangat efektif untuk memamerkan manfaat segel revolusioner ini. Wakil Presiden Brownie memahami sejak awal bahwa wanita membutuhkan lebih banyak pilihan untuk mencari nafkah yang baik.
Di bawah kepemimpinannya pada 1950-an, Tupperware jadi terkenal karena menawarkan kesempatan lebih luas pada wanita Amerika untuk mendapatkan penghasilan, mendorong karier mereka, dan meningkatkan kepercayaan diri dengan membangun kesuksesan dengan cara mereka sendiri.
Advertisement
Mendorong Pemberdayaan Perempuan
Produk Tupper, yang menggunakan plastik baru untuk menjaga kesegaran makanan lebih lama, sangat berharga ketika lemari es masih terlalu mahal untuk banyak orang. Tapi sampai Wise datang, itu tidak laku.
Ia sudah mulai mengadakan acara untuk menjual kontainer, bertemu langsung dengan ibu-ibu rumah tangga dan ibu-ibu yang ingin dijangkau perusahaan, pada pertemuan-pertemuan yang lebih banyak tentang sosialisasi daripada bisnis. Gaya inovatifnya, dan angka penjualannya, menarik perhatian Tupper, dan ia dipromosikan ke tingkat eksekutif saat sebagian besar wanita dikeluarkan dari ruang rapat.
Pengaruh Wise dan Tupperware masih diperdebatkan oleh para akademisi, tapi banyak yang mengatakan bahwa hal itu memainkan peran penting dalam membawa perempuan ke dunia kerja di Amerika pascaperang, dan menyediakan sumber pendapatan bagi perempuan lain di seluruh dunia.
Salah satunya adalah Alison Clarke, profesor sejarah dan teori desain di Universitas Seni Terapan, Wina, dan penulis buku Tupperware: The Promise of Plastic in 1950s America. "Saya pikir, warisannya adalah caranya menyediakan sumber pekerjaan bagi perempuan yang tidak selalu memiliki akses ke tenaga kerja fleksibel," katanya pada BBC.
Ia menyambung, "Saat pertama kali dijual di pesta-pesta di AS, banyak wanita diisolasi di kota-kota pinggiran pascaperang, jauh dari keluarga mereka. Pesta Tupperware mengagungkan pekerjaan rumah tangga yang membosankan, dan Anda hanya bisa membelinya jika Anda mengenal seseorang yang menjualnya, jadi itu eksklusif, sosial, dan tentang hubungan dengan wanita lain."
"Saya mulai berpikir itu adalah konspirasi kapitalis yang eksploitatif terhadap wanita, dan kemudian saya bertemu semua wanita yang memiliki kehidupan yang fantastis karenanya dan melihat bagaimana hal itu memberdayakan mereka," imbuhnya.
Tidak Bisa Bersaing di Dunia Digital?
Sementara perusahaan selalu dipimpin wanita di lapangan, hal itu belum tentu terjadi di ruang rapat. Prof Clarke mengatakan telah berjuang menceritakan kisah positifnya sendiri, atau mengikuti perkembangan zaman. "Itu adalah produk yang dirancang dengan cemerlang yang dibuat ajaib dengan cara penjualannya," tambahnya. "Tapi, di dunia digital ini, model tatap muka itu tidak lagi relevan".
Itu adalah analisis yang dibagikan Neil Saunders, direktur pelaksana ritel di konsultan GlobalData. Iq mengatakan Tupperware telah "gagal berubah seiring waktu" dalam hal produk dan distribusinya, menyoroti bahwa metode penjualan langsung melalui pihak-pihaknya "tidak terhubung" dengan pelanggan muda atau tua.
Konsumen yang lebih muda juga menggunakan produk lebih ramah lingkungan, seperti kertas lilin lebah untuk menjaga makanan tetap segar, tambahnya. Richard Hyman, analis ritel lainnya, mengatakan prinsip dasar produk Tupperware "tidak sulit ditiru" oleh perusahaan lain.
Mengingat persaingan yang ketat itu, ia mengatakan perusahaan telah "berjalan dengan baik." Perusahaan telah melakukan beberapa upaya untuk mendiversifikasi strateginya, termasuk dengan menjual di Target, rantai ritel AS dan lain di seluruh dunia, dan memperluas jangkauannya untuk memasukkan produk memasak lain.
Seandainya Tupperware membuat perubahan besar 10 tahun lalu, tambah Saunders, perusahaan mungkin berada dalam posisi yang berbeda sekarang. Tapi sekarang, tidak ada waktu bagi bos Tupperware untuk bertanya-tanya apa yang mungkin terjadi.
Perusahaan bisa bangkrut tanpa suntikan uang cepat, dan dengan nama merek yang begitu terkenal, prospek raksasa ritel seperti Walmart, bahkan Amazon masuk tidak dapat dikesampingkan, kata Saunders. Saham Tupperware anjlok pada Senin, 10 April 2023, dan, meski pemulihan kecil tercatat pada Selasa, 11 April 2023, kekhawatiran berkembang bahwa tanpa dukungan finansial baru yang signifikan, pesta Tupperware dapat padam selamanya.
Advertisement