Liputan6.com, Jakarta Utang publik secara global telah tumbuh lebih cepat dari yang diproyeksikan sebelum pandemi Covid-19, terutama didorong oleh Amerika Serikat dan China, dua ekonomi terbesar dunia. Hal itu diungkapkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF).
Melansir Channel News Asia, Kamis (13/4/2023) direktur Departemen Urusan Fiskal IMF, Vitor Gaspar mengungkapkan bahwa utang publik global telah melonjak hingga hampir 100 persen dari PDB pada tahun 2020, sebelum membukukan penurunan tertajam dalam 70 tahun pada tahun 2022.
Advertisement
Alih-alih normalisasi, rasio tersebut diperkirakan akan mulai meningkat lagi tahun ini, hingga mencapai 99,6 persen dari PDB pada 2028, tahun terakhir dari perkiraan IMF.
Meski menurun tajam, utang publik global masih terhitung sekitar 8 poin persentase di atas tingkat pra-pandemi. "Dan pengaruh dominan berasal dari dua negara ekonomi terbesar," sebutnya.
Sebaliknya, di negara berkembang berpenghasilan rendah, peningkatan rasio utang selama pandemi sangat moderat, dan sekarang diperkirakan akan turun ke level yang diperkirakan sebelum pandemi di tahun-tahun mendatang.
Vaspar memprediksi, 60 persen negara diproyeksikan akan mengalami penurunan rasio utang publik terhadap produk domestik bruto (PDB) hingga tahun 2028, tetapi sejumlah besar ekonomi besar, termasuk Brasil, China, dan Amerika Serikat, mengalami pertumbuhan pesat dalam rasio utang.
"Ada sejumlah besar ekonomi maju besar, ekonomi pasar berkembang besar, di mana rasio utang publik terhadap PDB diproyeksikan tumbuh cepat dan daftar negara ini termasuk Brasil, China, Jepang, Afrika Selatan, Turki, Amerika Serikat, dan Inggris," kata Gaspar.
Mengurangi Kerentanan Utang Harus jadi Prioritas Utama
Ke depan, Gaspar menyarankan, semua negara harus menyelaraskan kebijakan fiskal dan moneter mereka untuk menekan inflasi dan membangun penyangga yang dapat digunakan jika terjadi krisis.
Dia mencatat bahwa negara-negara tanpa penyangga yang memadai akan mengalami resesi yang lebih lama dan lebih dalam jika terjadi krisis.
Laporan IMF juga memperingatkan bahwa ada risiko tinggi dari tingginya utang, dan mengurangi kerentanan utang harus menjadi "prioritas utama", terutama di negara-negara berkembang berpenghasilan rendah di mana 39 negara sudah berada dalam atau dekat kesulitan utang.
Selain itu, masalah perbankan baru-baru ini di Amerika Serikat dan Swiss telah meningkatkan risiko krisis keuangan yang meluas, yang akan memberi lebih banyak tekanan pada neraca sektor publik.
"Di antara kemungkinan krisis terburuk, adalah krisis di mana Anda mengalami krisis keuangan bersamaan dengan krisis utang negara, dan itu adalah sesuatu yang disebut sebagai lingkaran malapetaka," ujarGaspar.
Selama risiko keuangan terkendali, perjuangan melawan inflasi adalah prioritas terbesar, katanya, seraya menambahkan bahwa kebijakan fiskal yang lebih ketat juga dapat mengekang permintaan, mengurangi kebutuhan akan kenaikan suku bunga yang lebih agresif.
Advertisement
Utang Luar Negeri Indonesia Terkontraksi Jadi Rp 6.221 Triliun di Januari 2023
Bank Indonesia mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada Januari 2023 tetap terkendali. Posisi Utang Luar Negeri Indonesia pada Januari 2023 tercatat sebesar USD 404,9 miliar atau Rp 6.221 triliun (estimasi kurs rupiah 15.366 per dolar AS).
Dengan perkembangan tersebut, pertumbuhan Utang Luar Negeri Indonesia pada Januari 2023 secara tahunan mengalami kontraksi sebesar 1,9 persen (yoy), melanjutkan kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 4,1 persen (yoy).
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi Bank Indonesia Erwin Haryono menjelaskan, kontraksi pertumbuhan ini bersumber dari Utang Luar Negeri pemerintah dan sektor swasta.
"Perkembangan posisi Utang Luar Negeri pada Januari 2023 juga dipengaruhi oleh faktor perubahan akibat pelemahan mata uang dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, termasuk Rupiah," jelas dia dalam keterangan tertulis, Selasa (14/3/2023).
Utang Luar Negeri Pemerintah
Utang Luar Negeri pemerintah masih berada dalam fase kontraksi. Pada Januari 2023, posisi Utang Luar Negeri pemerintah tercatat sebesar USD 194,3 miliar, atau secara tahunan mengalami kontraksi sebesar 2,5 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan dengan kontraksi pada bulan sebelumnya sebesar 6,8 persen (yoy).
Perkembangan Utang Luar Negeri tersebut terutama didorong oleh peningkatan penempatan investasi portofolio di pasar Surat Berharga Negara (SBN) domestik dan internasional seiring sentimen positif kepercayaan pelaku pasar global yang makin meningkat.
Pemerintah terus berkomitmen untuk mengelola Utang Luar Negeri secara hati-hati, kredibel, dan akuntabel, termasuk menjaga kredibilitas dalam pemenuhan kewajiban pembayaran pokok dan bunga utang secara tepat waktu.
Sebagai salah satu komponen dalam instrumen pembiayaan APBN, Utang Luar Negeri berperan penting untuk mendukung upaya Pemerintah dalam pembiayaan sektor produktif serta belanja prioritas, khususnya dalam rangka menopang dan menjaga pertumbuhan ekonomi Indonesia tetap solid di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian global.
Dukungan tersebut antara lain mencakup sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (24,0 persen dari total Utang Luar Negeri pemerintah), administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,8 persen), jasa pendidikan (16,7 persen), konstruksi (14,3 persen), dan jasa keuangan dan asuransi (10,4 persen).
Posisi Utang Luar Negeri pemerintah relatif aman dan terkendali mengingat hampir seluruh Utang Luar Negeri memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,7 persen dari total Utang Luar Negeri pemerintah.
Advertisement