Beri Ruang untuk Lakukan Berbagai Hal Sendiri, Cara Orangtua Tanamkan Kemandirian pada Anak Tunanetra

Orangtua dengan anak yang menyandang disabilitas netra sering kali memiliki naluri mengayomi yang besar. Tak jarang, berbagai hal dilakukan untuk sang anak agar tak kesulitan dalam menjalani keseharian.

oleh Ade Nasihudin Al Ansori diperbarui 13 Apr 2023, 20:00 WIB
Beri Ruang untuk Melakukan Berbagai Hal Sendiri, Cara Orangtua Tanamkan Kemandirian pada Anak Tunanetra. Foto: (Ade Nasihudin/Liputan6.com).

Liputan6.com, Jakarta Orangtua dengan anak yang menyandang disabilitas netra sering kali memiliki naluri mengayomi yang besar. Tak jarang, berbagai hal dilakukan untuk sang anak agar tak kesulitan dalam menjalani keseharian.

Namun, tak jarang pemberian materi atau kasih sayang menjadi terlalu berlebihan sehingga tidak membuat anak tunanetra jadi mandiri.

Menurut penulis tunanetra dari Yayasan Mitra Netra Juwita Maulida, kerap ditemui orangtua yang terus-menerus mendampingi anaknya yang tunanetra tanpa memberikan ruang untuk buah hati belajar mandiri.

“Bahkan ada pula yang membantu pekerjaan atau menyelesaikan segala permasalahan yang semestinya bisa dihadapi oleh anak tunanetra seusianya. Alhasil, keterampilan anak tunanetra dalam kemandirian, menyelesaikan masalah, hingga beradaptasi dan berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya menjadi tumpul karena tidak diasah,” tulis Juwita dalam artikel di laman Resmi Yayasan Mitra Netra.

Salah satu cerita soal pembentukan kemandirian anak tunanetra disampaikan oleh orangtua dari anak tunanetra, Jahroh dan pengalamannya membimbing sang anak di masa pertumbuhan.

Jahroh adalah ibu dari Rakha Adyatma Subagyo yang menyandang disabilitas netra. Putra semata wayangnya itu merupakan siswa tunanetra kelas 6 di SLB-A Pembina Tingkat Nasional, Lebak Bulus, Jakarta Selatan.

Rakha terlahir sebagai anak dengan penglihatan yang berfungsi dengan baik hingga menginjak umur lima tahun. Saat itu, ia mengalami gejala ablasi retina, yaitu kondisi berupa terlepasnya selaput jala atau retina mata.


Upaya Pengobatan Selama Dua Tahun

Selama dua tahun, Jahroh berupaya mencari bantuan medis untuk mempertahankan sisa penglihatan Rakha termasuk telah melakukan tindakan medis dan operasi. Namun, sembilan kali tindakan operasi mata tersebut tak mampu mempertahankan penurunan penglihatan Rakha hingga menjadi tunanetra total.

“Waktu itu sebagai orangtua saya bisa kuat ya karena lihat Rakha juga kuat. Mungkin kalau waktu itu anaknya down atau berubah tingkah lakunya, saya mungkin juga ikut sedih. Karena usianya udah harus masuk sekolah, saya bilang sama dokternya, gimana caranya biar anak ini enggak ngeluh terus kalau matanya sakit,” katanya.

Seiring berjalannya waktu, mata Rakha pun sudah tidak sakit meski menjadi tunanetra total.

“Alhamdulillah sekarang udah nggak ada keluhan apa-apa, dan dari situ saya mulai memikirkan Rakha untuk masuk sekolah karena usianya sudah tujuh tahun”, tambah perempuan yang karib disapa Mama Rakha ini.


Diperlakukan Sama Seperti Non Tunanetra

Jahroh pun berpesan untuk orangtua yang memiliki anak tunanetra adalah senantiasa memberikan motivasi yang positif. Dalam tumbuh kembangnya, Rakha selalu diperlakukan sama dengan anak non-tunanetra.

Dia selalu memberikan motivasi dan semangat pada Rakha ketika hendak melakukan kegiatan-kegiatan yang positif. Menurut Mama Rakha, tujuan pemberian motivasi yang positif adalah agar sang putra lebih percaya diri untuk meraih impian dan cita-citanya. Salah satu pengalamannya dalam memberikan motivasi pada Rakha adalah saat kontes bahasa Inggris pada 2019.

“Waktu itu Rakha juga pernah ikut kelas mendongeng dan ikut english contest. Itu pengalaman pertamanya Rakha ikut lomba dongeng dan pakai bahasa inggris, dan alhamdulillah jadi juara dua. Saya jadi punya rasa bangga dan haru bisa lihat Rakha seperti itu. Nggak bisa diungkapin dengan kata-kata”


Berikan Kesempatan Belajar Mandiri tanpa Pendampingan Berlebihan

Jahroh juga berpesan, dalam membangun kemandirian anak tunanetra, orangtua perlu memberi ruang untuk anak belajar mandiri dengan tidak mendampinginya secara berlebihan.

“Dalam hal pendampingan, orangtua diharapkan melakukannya dengan wajar atau tidak berlebihan. Pada beberapa kejadian, orangtua memiliki banyak kekhawatiran dan ketakutan, misalnya takut sang anak jatuh dan terluka, khawatir anaknya membutuhkan pertolongan dan tak ada yang membantu.”

Dorongan ketakutan dan kecemasan tersebut yang membuat orangtua merasa wajib melindungi. Padahal, mendampingi terus-menerus, serta mengambil alih seluruh tugas yang harusnya diselesaikan oleh anak tunanetra bukanlah ide bagus.

“Memberikan ruang pada anak tunanetra untuk belajar mandiri sangatlah penting. Orangtua dapat memberikan contoh dengan cara membantu terlebih dahulu. Misalnya ketika memilih dan memakai baju. Selanjutnya, biarkan anak lakukan sendiri,” kata Jahroh.

Infografis Akses dan Fasilitas Umum Ramah Penyandang Disabilitas. (Liputan6.com/Triyasni)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya