Liputan6.com, Jakarta Air minum dalam kemasan (AMDK) yang bebas senyawa Bisphenol A (BPA) akhir-akhir ini menjadi perbincangan dan menarik perhatian kaum ibu. Itu karena produk AMDK bebas BPA (BPA free) dapat memengaruhi kesehatan keluarga pada umumnya dan anak pada khususnya.
Para pelaku usaha AMDK pun mengaku, terjadi peningkatan pembelian galon bening bebas BPA. Derasnya arus informasi mengenai hal tersebut, membuat para ibu dengan sigap mencari informasi yang tepat dan memilih produk bebas BPA yang lebih aman, untuk menjaga kesehatan dan keselamat anak-anak.
Advertisement
Berdasarkan penjelasan pakar pendidikan anak autis dan pendiri sekolah berasrama Imaculata Autism Boarding School di Bekasi, Jawa Barat, Dr Imaculata Sumayati, penggunaan kemasan plastik yang mengandung bisphenol A (BPA) secara terus menerus, dapat menyebabkan anak lahir dengan gangguan spektrum autisme atau Autism Spectrum Disorder (ASD).
Menurutnya, dalam perilaku keseharian, banyak orang hampir tak pernah lepas dari plastik yang mengandung BPA. Misalnya, untuk penggunaan kemasan makanan, minuman, bahkan mainan pun menggunakan plastik yang mengandung BPA.
Jumlah Penyandang Autis Meningkat di Indonesia
Data dari Kementerian Kesehatan pada 2021 melaporkan, jumlah anak di Indonesia yang menderita autis angkanya meningkat drastis hingga mencapai sekitar 2,4 juta. Dari data tersebut diperkirakan jumlah penderita autisme mengalami peningkatan 500 orang setiap tahunnya.
Berkaitan dengan hal tersebut, Dr Imaculata pun mengamati kenaikan jumlah siswa yang mengidap autis ini di sekolahnya. Ketika baru didirikan pada 2000, siswa dengan penderita gangguan spektrum autis hanya berjumlah lima orang, kemudian jumlah siswanya terus meningkat. Bahkan sampai 2021, ada sekitar 600 anak autis yang masuk daftar waiting list untuk bisa masuk sekolah tersebut.
Pada 2000, tercatat perbandingan anak autis di Indonesia adalah 1:500. Artinya, setiap 500 anak terdapat satu anak penyandang autisme. Empat tahun kemudian, (mantan) Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menyatakan jumlah anak penyandang autis naik jadi 475 ribu.
Kemudian pada 2006, jumlah anak penyandang autis di Indonesia adalah 1:150, artinya setiap 150 anak terdapat satu anak autis. Itu artinya, jumlah penderita autis naik 300% hanya dalam waktu enam tahun. Jika diurai lebih luas lagi dengan mengacu pada jumlah anak Indonesia pada 2012 sebanyak 52 juta, maka jumlah anak autis pada 2012 sebanyak 532.200 anak.
Jika pertambahan anak autis tiap tahun sebesar 53.220 anak dan tiap hari ditemukan kasus baru sebanyak 147 anak, maka dalam 10 tahun jumlahnya mencapai 529.200. Dari penghitungan itulah diketahui bahwa pada 2021 jumlah anak yang menyandang autis angkanya meningkat menjadi 2,4 juta.
Advertisement
Riset Pengaruh BPA dan Gangguan Autis pada Anak
Dalam riset yang dilakukan Jinan Zeidan dari McGill University Montreal dan tim di jurnal Autism Research pada awal Maret 2022 dan diterbitkan di International Society for Autism Research and Wiley Periodicals LLC, ditemukan sekitar 1 dari 100 anak didiagnosis dengan gangguan spektrum autisme di seluruh dunia. Itu artinya, prevalensi autisme secara global meningkat.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dalam publikasinya pada akhir Maret 2023 pun menggunakan kajian Zeidan sebagai rujukan prevalensi autisme 1:100 anak rata-rata secara global. Mengenai hal ini, Indonesia memang minim dan tertinggal jauh dalam riset yang fokus mengaitkan antara senyawa BPA dan penyakit autisme pada anak. Meski demikian, riset sejenis di dunia internasional bukanlah hal baru.
Pada 2021 misalnya, tercatat ada lima riset tentang pengaruh BPA dan gangguan autisme pada anak. Salah satunya studi dari Universitas Chulalongkorn, Universitas Tohoku, dan Universitas George Washington dan dipublikasikan pada 2021 di jurnal Scientific Reports dengan judul Identification of sex-specific autism candidate genes responsible for the effects of Bisphenol A exposure in the brain.
Asisten Profesor Dr.Tewarit Sarachana sebagai Kepala Unit Riset SYstems Neuroscience of Autism and PSychiatric Disorders (SYNAPS) di Fakultas Ilmu Kesehatan Sekutu (Faculty of Allied Health Sciences), Universitas Chulalongkorn mengatakan, banyak penelitian menunjukkan BPA merusak fungsi neurologis yang berpotensi menyebabkan anak lahir dengan autisme.
"Hal ini membuat para ilmuwan percaya bahwa BPA mungkin menjadi salah satu faktor risiko lingkungan utama untuk ASD," kata Dr. Tewarit Sarachana, seperti dikutip laman tohoku.ac.jp.
Bahkan, lebih satu dekade sebelumnya, tepatnya pada 2009, ada studi yang dipublikasikan di Journal of Autism and Developmental Disorders yang menemukan adanya hubungan antara konsumsi air dari kemasan polikarbonat yang mengandung BPA dan peningkatan risiko autisme pada anak.
Studi yang dipublikasikan dengan tema Prenatal Bisphenol A Exposure and Neurobehavioral Development of Male and Female Children at 36 Months itu dilakukan para peneliti yang dipimpin Dr. Bruce Lanphear dari Simon Fraser University, Vancouver, British Columbia.
Hasil studi menunjukkan bahwa anak-anak yang dilahirkan dari wanita dengan kadar BPA lebih tinggi cenderung memiliki risiko autisme lebih tinggi.
"Kami menemukan bahwa konsumsi air kemasan botol oleh ibu hamil yang merupakan salah satu sumber potensial paparan BPA, terkait dengan peningkatan risiko autisme pada keturunan," demikian penjelasan dari riset tersebut.
Nah, berkaitan dengan Hari Autisme Sedunia yang diperingati pada 2 April setiap tahun, ditambah semakin banyaknya para ibu yang melek informasi, tingkat kesadaran terhadap produk-produk plastik kemasan bebas BPA pun meningkat. Perilaku sadar kesehatan yang dilakukan para ibu terkait penggunaan produk kemasan bebas BPA pun patut diapresiasi, demi menjaga kesehatan anak-anak Indonesia di masa depan.
(*)