Liputan6.com, Yogyakarta - Pemilu 2024 dinilai sebagai tahapan sejarah yang penting untuk mewujudkan cita-cita mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Karena itu, setiap gagasan yang mendorong perubahan ke arah perbaikan bangsa harus dihormati oleh semua pihak.
Dengan demikian, keinginan dan harapan publik untuk menghadirkan figur yang membawa gagasan perubahan seharusnya tak dihalang-halangi, apalagi dengan cara-cara yang dapat merusakan tatanan hidup berbangsa dan bernegara.
Hal tersebut diungkapkan oleh Kyai Muhammad Mustafid, tokoh muda Nahdlatul Ulama dan pengasuh Pondok Pesantren Aswaja Nusantara, Yogyakarta, dalam keterangan tertulis kepada redaksi, Jumat (14/4/2023).
”Pemilu harus mampu menampung berbagai harapan masyarakat. Setiap suara rakyat, seperti apapun, tak boleh diciderai. Jadi, jaminan bahwa Pemilu 2024 diselenggarakan secara demokratis, jujur, adil dan akuntabel, sangat diperlukan,” ujarnya.
Baca Juga
Advertisement
Mustafid bersama hampir 50 pegiat komunitas keumatan yang berasal dari beragam latar belakang dan wilayah, Sabtu (9/4/2023) lalu menyelenggarakan Pertemuan Lintas Basis Komunitas di Jakarta. Mereka membahas berbagai persoalan bangsa di tahun politik.
Selain Mustafid, pegiat komunitas yang hadir antara lain Muhammad Nurkhoiron (aktivis NU, mantan Komisioner Komnas HAM, Jakarta), Bambang Haryanto (pegiat KAHMI, DIY), A. Rois (santri pengusaha, Jawa Tengah), Solihin Nurodin (aktivis pedesaan, Jawa Barat), dan Khoirul Ibrahim (pegiat pendidikan, Jawa Timur).
Pertemuan tersebut menghasilkan dokumen ’Risalah Jakarta’ yang berisi beberapa seruan moral terkait penyelenggaraan Pemilu 2024, yang ditandatangani 21 perwakilan peserta.
Salah satu topik yang menjadi keprihatinan dalam ’Risalah Jakarta’ adalah isu profesionalisme dan indepensi penyelenggara Pemilu. Sebagaimana diketahui, KPU dan Bawaslu akhir-akhir ini mendapatkan sorotan tajam dari masyarakat sehubungan dengan beberapa kasus aktual yang terjadi.
Sikap Bawaslu yang dinilai tidak konsisten dan terkesan kurang adil dalam menangani kasus-kasus dugaan politisasi agama dan politik uang, mengundang keprihatinan dari para peserta. Inkonsistensi sikap Bawaslu dalam menangani kasus-kasus itu dinilai dapat menggerus kepercayaan publik terhadap netralitas penyelenggara Pemilu.
”Kami menyerukan agar penyelenggara Pemilu dapat bertugas secara profesional serta menjauhi sikap partisan. Dalam kompetisi apapun, wasit sewajarnya bersikap netral dan tidak berpihak,” kata Bambang Haryanto, pegiat Kahmi DIY yang juga berprofesi sebagai pebisnis.
Peserta pertemuan yang mayoritas merupakan warga NU dan warga Muhammadiyah itu juga menyoroti situasi kebebasan sipil yang menurun. Tren penurunan kebebasan bersuara itu diyakini dapat didobrak dengan penyelenggaraan Pemilu yang penuh dengan suasana riang gembira.
”Pemilu harus dilangsungkan secara gembira, jauh dari ketakutan dan tekanan. Untuk melawan berbagai kekhawatiran, komunitas-komunitas perlu membangun suasana menyenangkan melalui berbagai cara kreatif,” pungkas Bambang.