Liputan6.com, Gaza - Jalan lalu lintas di Jakarta ketika mendekati jam berbuka puasa biasanya penuh dengan padatnya kendaraan.
Tidak hanya di Jakarta, Kota Gaza di Palestina juga mengalami hal yang sama. Dengan mayoritas masyarakat berpuasa, jalanan dipenuhi dengan orang yang berpergian, pulang kerja, dan juga yang bergegas untuk buka puasa bersama keluarga di rumah.
Advertisement
Pengemudi yang frustrasi membunyikan klakson atau mencoba menerobos kemacetan, dan tak ayal terjadi lebih banyak kecelakaan daripada biasanya. Terutama karena orang yang tidak makan atau minum seharian, konsentrasi berkurang dan menjadi cepat emosi.
Kemacetan menjadi penyebab banyak orang kurang beruntung sampai ke rumah saat waktu buka puasa. Tak ayal mereka harus berbuka puasa di tengah jalanan Gaza yang macet.
Dikabarkan oleh Middle East Monitor yang dikutip Sabtu (15/4/2023), seorang umat Kristen bernama Ehab Ayyad, dari Gaza menawarkan kurma dan air kepada umat Islam yang terjebak macet atau terlambat pulang untuk berbuka puasa.
Berbuka puasa dengan kurma dan air merupakan tradisi Nabi yang sering diikuti umat Islam.
"Sebagai seorang Kristen, saya menawarkan kurma dan air kepada saudara-saudara Muslim saya sebagai bentuk berbagi karena kami tinggal di tanah air yang sama, dan kami memiliki darah yang sama," kata Ayyad yang berusia 23 tahun, di rumahnya yang didekorasi patung-patung kecil Perawan Maria.
"Mereka pertama kali bertanya-tanya bagaimana seorang umat Kristen melakukan itu, tetapi seiring berjalannya waktu, mereka senang melihat saya setiap tahun," tambahnya.
Kebiasaan Positif
Lima tahun lalu, Ayyad memulai dengan menawarkan kurma dan air kepada tetangganya, makanan pertama yang biasanya dimakan umat Islam saat mereka mengakhiri puasa saat matahari terbenam.
Kemudian, dia memutuskan untuk melakukan itu pada masyarakat umum.
"Reaksinya positif dan saya senang dan bangga," katanya.
Gaza adalah jalur pesisir di bawah blokade yang dipimpin Israel sejak 2007 dan dijalankan oleh kelompok Hamas. Di sana hanya ada sekitar 1.000 orang Kristen, dan kebanyakan dari mereka Ortodoks Yunani, dalam populasi 2,3 juta jiwa.
"Ini bukan bulan mereka dan mereka tidak berpuasa, tetapi mereka merasakannya untuk kami dan itu sesuatu yang baik," kata pemilik kedai kopi, Louay Al-Zaharna, setelah menerima salah satu hadiah dari Ayyad.
Di rumahnya, Ayyad mendapat bantuan dari seorang tetangga Muslim berusia 13 tahun untuk menyiapkan bingkisan yang akan dibagikan.
“Pada libur perayaan agama kami, tetangga Muslim biasanya datang berkunjung dan memberi selamat kepada kami, dan kami melakukan hal yang sama pada liburan mereka,” kata Ayyad.
Advertisement
Toleransi Komunitas Pesisir Inggris
Aksi toleransi agama seperti yang dilakukan Ayyad, bukan hanya terjadi di Palestina saja. Kisah serupa terjadi di komunitas pesisir Inggris yang turut membantu umat Islam jalani puasa Ramadhan.
Sajida Madni, 43, dari Haverfordwest, Pembrokeshire, mengatakan kesadaran budaya Ramadhan telah meningkat di komunitas lokalnya selama setahun terakhir setelah pembukaan masjid pertama di kota itu pada Ramadhan lalu.
Nyonya Madni berkata, "Daerah ini biasanya kurang terpapar budaya lain, jadi ada kekhawatiran ketika kami pertama kali memulai apa yang kami biasa lakukan di masjid."
"Jadi kami mengundang semua tetangga untuk berbuka puasa untuk menunjukkan kepada mereka bahwa kami adalah orang biasa yang berbagi makanan dan berkumpul bersama."
Momen berbagi tersebut belakangan ini terlihat di masjid Haverfordwest di Wales, Inggris. Muslim dan non-Muslim terlihat sedang berbuka puasa bersama.
Mustafa Yunis, seorang wali di Masjid Pusat Haverfordwest, mengatakan, "Sebuah masjiddimaksudkan untuk menjadi hub, sebuah pusat komunitas di mana semua orang berkumpul dan sangat bagus untuk mempunyai perwakilan dari komunitas lokal kami yang datang untuk makan bersama."
"Kami ingin orang merasa bahwa mereka adalah bagian dari komunitas kami juga."
Dukungan Sekolah
Ibu Madni juga menyoroti tingkat dukungan yang ditawarkan oleh sekolah anak-anaknya.
Putri Nyonya Madni, Aayah Yunis, dan dua anak di mana dia menjadi wali - Aziza dan Mariam Akhtar - adalah satu-satunya Muslim di sekolah menengah mereka, tetapi dia mengatakan sekolah sangat mendukung dan membantu mereka merayakan bulan suci Ramadhan.
Castle School di Pembrokeshire bahkan telah mengadakan majelis di bulan Ramadhan, memberikan tips kepada siswa tentang bagaimana mereka dapat membantu teman sekolah mereka yang berpuasa, serta menyediakan mushola untuk ketiga anak tersebut.
Pertemuan juga membantu mendobrak batasan dan membuka percakapan tentang keyakinan Muslim.
"Begitu banyak temannya mengajukan pertanyaan yang sebelumnya mereka rasa tidak dapat ditanya setelah usai pertemuan itu," kata Nyonya Madni.
Untuk baca cerita lengkapnya, klik di sini.
Advertisement