Dihantui Krisis Perbankan, Janet Yellen Yakin Inflasi AS Tidak Terganggu

Menteri Keuangan AS Janet Yellen yakin bahwa krisis perbankan di negaranya tidak akan mengganggu upaya meredam inflasi.

oleh Natasha Khairunisa Amani diperbarui 17 Apr 2023, 17:30 WIB
Menteri Keuangan AS Janet Yellen dalam sesi House Financial Services Committee. (AP)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Keuangan Amerika Serikat, Janet Yellen optimis bahwa krisis perbankan yang melanda Silicon Valley Bank dan Signature Bank tidak akan mengganggu upaya meredam inflasi di Amerika. 

"Saya pikir ada jalan untuk menurunkan inflasi sambil mempertahankan apa yang menurut saya kita semua anggap sebagai pasar tenaga kerja yang kuat,” kata Janet Yellen, dikutip dari CNN Business, Senin (17/4/2023).

"Dan bukti yang saya lihat menunjukkan bahwa kita berada di jalur itu," ujarnya

"Apakah ada risiko? Tentu saja. Saya tidak ingin meremehkan risikonya di sini, tetapi saya pikir itu mungkin," sebutnya.

Seperti diketahui, kolapsnya Silicon Valley Bank dan Signature Bank memicu krisis di sektor perbankan AS, mengguncang pasar keuangan, dan memicu ketidakpastian tentang potensi efek negatif yang menyebar ke ekonomi global yang lebih luas.

Departemen keuangan AS, bersama dengan Federal Reserve dan Federal Deposit Insurance Corporation, melakukan intervensi setelah kegagalan bank regional untuk memastikan nasabah bank dapat mengakses semua uang mereka.

Yellen mengatakan faktor-faktor yang mendorong inflasi di AS jauh melampaui pengetatan yang terlihat di pasar tenaga kerja AS, terutama perang Rusia Ukraina, yang menaikkan harga pangan dan energi; dan gangguan rantai pasokan era pandemi, yang menyebabkan kekurangan bahan utama yang mengguncang bagian-bagian penting ekonomi, seperti industri otomotif.

"Kami melihat bahwa kemacetan rantai pasokan yang mendorong inflasi, mereka mulai teratasi," jelas Yellen.

Kami mengalami perubahan besar dalam cara hidup orang dan suku bunga rendah, dan biaya rumah tangga naik. Sekarang, biaya pada dasarnya sudah turun," bebernya.

Pada Maret 2023, inflasi AS kembali menunjukkan peredaan, di mana indeks harga konsumen yang menjadi ukuran biaya barang dan jasa naik 0,1 persen menjadi 5 persen.

Biaya pangan di negara itu juga tercatat menurun 0,3 persen pada Maret, menandai penurunan pertama sejak September 2020. 

 


Waspada, Krisis Perbankan AS Berpotensi Jadi Resesi Ekonomi

Seorang penjaga keamanan memantau barisan orang yang mencoba mengambil kembali dana mereka di luar kantor Silicon Valley Bank di Santa Clara, California, Senin (13/3/2023). Silicon Valley Bank (SVB) tengah menjadi sorotan karena mengalami kebangkrutan bank terbesar di Amerika Serikat sejak tahun 2008. ( Justin Sullivan/Getty Images/AFP )

Krisis perbankan yang disebabkan oleh ambruknya Silicon Valley Bank dan Signature Bank telah meningkatkan kemungkinan resesi di Amerika Serikat. Hal itu diungkapkan oleh CEO JPMorgan Chase, Jamie Dimon. 

Mengutip CNN Business, Sabtu (8/4/2023) Dimon mengatakan bahwa sementara sistem perbankan kuat dan sehat, gejolak baru-baru ini di sekitar sistem keuangan mendorong kemungkinan resesi.

"Kami melihat orang-orang mengurangi sedikit pinjaman, mengurangi sedikit, dan menarik sedikit," ungkap Dimon dalam sebuah wawancara eksklusif  dengan CNN.

"Itu adalah (tanda) resesi," sebutnya.

Kenaikan suku bunga Federal Reserve saat ini, ditambah inflasi yang tinggi serta perang Rusia Ukraina menjadi risiko terbesar yang Dimoo lihat untuk perekonomian AS.

Terapi Dimon mengatakan dia masih optimis dengan kekuatan sumber daya manusia di Amerika Serikat.

"Saya pikir kita harus memuji usaha bebas dan kita harus mendorong keuntungansementara kita memperbaiki yang negatif, bukan merendahkan semuanya," ujarnya.

Namun, Dimon belum yakin apakah ekonomi AS sudah berhasil melalui krisis perbankan.

"Saya berharap ini akan selesai, Anda tahu, semoga tidak lama lagi," katanya.

Dimon mengatakan dia tidak bisa memprediksi apakah akan ada bank lain di AS yang akan bangkrut tahun ini, mengatakan bahwa krisis perbankan saat ini berbeda dengan krisis keuangan tahun 2008.

"Kegagalan tidak apa-apa, asal tidak ada efek domino," imbuhnya.

Dimon tetap memperingatkan bahwa bank regional dan konsumen di Amerika harus "bersiap untuk tingkat (bunga) yang lebih tinggi untuk waktu yang lebih lama. Saya tidak tahu apakah itu akan terjadi, tetapi bersiaplah untuk gelombang itu".


Krisis Perbankan di AS dan Eropa Belum Usai, Sri Mulyani: Kita Harus Waspada

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati dalam Rakornas Kepala Daerah dan Forkopimda tahun 2023, yang dipantau secara daring di Jakarta, Selasa, (17/1/2023).

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kembali mengingatkan kewaspadaan pada dampak krisis perbankan di Amerika Serikat dan Eropa, terhadap perekomonian di Tanah Air.

Seperti diketahui, bank pemberi pinjaman di Amerika Serikat yakni Silicon Valley Bank dan Signature Bank tengah dilanda krisis keuangan, juga bank terbesar kedua di Eropa, Credit Suisse.

Sri Mulyani melihat, jatuhnya bank SVB (Silicon Valley Bank), Signature Bank menimbulkan banyak sekali perhatian mengenai seberapa resilient lembaga keuangan di Amerika Serikat dan Eropa.

"Coba kita lihat, kalau seluruh negara biasanya goyang, nilai tukarnya goyang, semua larinya ke Swiss Franc, sama seperti Amerika Serikat. Persepsi stability itu sekarang hancur dengan munculnya persoalan (tersebut)," ujar Sri Mulyani dalam acara Rapat Koordinasi Pembangunan Pusat 2023 yang disiarkan di laman Youtube Bappenas pada Kamis (6/4/2023).

Ini merupakan sesuatu yang harus kita waspadai, menurut Menkeu, karena Amerika dan Eropa dalam menaikkan suku bunga secara ekstrim untuk mengendalikan inflasi memberikan dampak yang tidak kecil pada stabilitas sektor keuangannya.


Pilihan Kebijakan

Forbes menjelaskan, jika Sri Mulyani dikenal mempromosikan kesetaraan gender dan anti-korupsi. Setelah ditunjuk kembali menjadi Menkeu pada 2016. [@smindrawati]

Menkeu mengakui, pilihan pilihan kebijakan tersebut bisa menjadi sangat dilematis. Karena harus menghadapi antara memilih stabilitas, dari sisi pengendalian inflasi, atau stabilitas dari lembaga keuangan.

"Banyak situasi sebagai policy makers sering kita dihadapkan pada pilihan yang di mana kedua tidak ingin kita pilih, karena dua duanya dianggap penting, sama seperti memilih antara Ayah dengan Ibu. Itu adalah kondisi policy makers yang paling sulit yaitu pada saat dihadapkan dengan dilema atau dalam bahasa teknisi ekonominya, trade off : pilihan yang tidak mengenakkan," beber Sri Mulyani.

"Environment inilah yang sedang berjalan untuk kita semua kelola, di tahun 2023. Alhamdulillah untuk Indonesia, guncangan guncangan ini pasti tidak akan seratus persen kita rasakan," ungkap Sri Mulyani.

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya