Liputan6.com, Bandung - Desa Neglasari, Kabupaten Subang, Jawa Barat memiliki kesenian tradisional yang disebut sisingan, susingaan reog, atau gotong singa. Kesenian sekaligus tradisi ini konon lahir dari bentuk perlawanan masyarakat.
Mengutip dari subang.go.id, menurut seorang perajin patung singa, Abah Salim, keberadaan kesenian sisingaan di Kabupaten Subang berawal dari kegiatan ritual masyarakat yang akan menyunat anak laki-laki. Sebelum disunat atau khitan, anak laki-laki tersebut akan dihibur terlebih dahulu dan diarak keliling kampung.
Saat diarak, ia akan menduduki kursi yang dihias atau yang biasa disebut 'jampana'. Jampana diangkat oleh empat orang dewasa.
Baca Juga
Advertisement
Adapun musik pengiring dalam arak-arakan tersebut menggunakan alat musik seadanya, seperti dog-dog, kendang, kempul, dan kecrek. Pola tabuh yang digunakan adalah penca silat dan improvisasi spontan.
Seiring berjalannya waktu, jampana mengalami perubahan pada bentuk patung singa bongsang. Patung singa ini terbuat dari rangkaian bambu (carangka) yang dibungkus karung goni dengan bagian kepala dan kaki yang terbuat dari kayu randu.
Bagian rambutnya terbuat dari tali rafia, sementara matanya tebuat dari tutup botol minuman. Sama seperti jampana, singa ini juga diangkat atau diusung oleh empat orang.
Sisingaan Subang juga merupakan simbol bentuk perjuangan masyarakat Kabupaten Subang saat masa kekuasaan Kerajaan Inggris. Patung singa tersebut melambangkan kaum penguasa, yaitu lambang Negara Kerajaan Inggris.
Adapun anak yang menunggang patung singa melambangkan generasi penerus bangsa, sedangkan payung menjadi simbol pelindung generasi penerus bangsa. Sementara itu, empat orang yang menjadi pengusung melambangkan masyarakat pribumi yang tertindas.
Sementara itu, mengutip dari direktoripariwisata.id, sisingaan bermula pada 1975. Kesenian ini menceritakan suka cita perjalanan pengawal raja Singa Barong dari Kerajaan Lodaya saat menuju Kerajaan Daha.
Kemeriahan sisingaan dilengkapi dengan tabuhan musik yang dinamis serta kekompakan gerakan para penarinya. Beberapa gerakan tersebut adalah gerakan pasang atau kuda-kuda, bangkaret, ancang-ancang, gugulingan, sepakan dua, langkah mundur, kael, mincid, ewag, hingga kakapalan.
Lambat laun, musik pengiring pada kesenian ini berkembang lebih dinamis dengan genjring bonyok dan tardug. Tarian ini biasa diselenggarakan di berbagai acara.
Sementara itu, makna tarian ini juga berkaitan dengan kehidupan manusia, termasuk terkait makna sosial, makna teatrikal, makna komersial, makna universal, dan makna spiritual.
Penulis: Resla Aknaita Chak