Belum Ada Program Skrining Kanker Usus Besar di Indonesia, Dokter Ungkap Alasannya

Simak alasan dari belum adanya program skrining kanker usus besar untuk masyarakat luas di Indonesia.

oleh Chelsea Anastasia diperbarui 19 Apr 2023, 12:00 WIB
Ilustrasi sakit perut, gejala kanker usus besar. (freepik/benzoix)

Liputan6.com, Jakarta - Saat ini, kasus kanker usus besar (kanker kolorektal) menduduki peringkat keempat angka kanker tertinggi di Indonesia. Belakangan, banyak pakar kesehatan juga membicarakan risiko kanker kolorektal yang dapat meningkat pada anak muda.

Namun, hingga kini, ternyata belum ada program skrining untuk kanker usus besar untuk masyarakat di Indonesia. Hal ini diungkap dokter spesialis penyakit dalam konsultan hemato-onkologi medik, Aru Wisaksono Sudoyo, dalam diskusi 'How Do We Live with Cancer' dari Yayasan Kanker Indonesia dan MSD secara daring pada Rabu, (12/4/2023).

“Kita tidak punya gerakan skrining (kanker usus besar). Skrining yang dimaksud adalah program pemeriksaan kepada masyarakat,” tutur Ketua Umum Yayasan Kanker Indonesia (YKI) tersebut.

Kurang Dana Jadi Penyebab Utama

Menurut Aru, penyebab belum adanya program skrining kanker usus besar untuk masyarakat umum adalah kurangnya dana. Namun, Ari mengungkap, pemerintah akan mengupayakan program skrining kanker usus besar pada tahun 2024 mendatang.

“Saya rasa, masalah dana. Tapi baru saya mendengar dari Kementerian Kesehatan, pada tahun 2024 akan direncanakan (program) skrining untuk kanker usus besar,” ujarnya.

Idealnya, Masyarakat Usia 50 Tahun Harus Jalani Skrining

Aru menjelaskan bahwa idealnya, skrining berupa kolonoskopi perlu dilakukan kepada masyarakat berusia 50 tahun ke atas. 

“Sebetulnya, idealnya skrining adalah semua warga berusia 50 tahun ke atas harus menjalani kolonoskopi,” terangnya.

Kolonoskopi adalah prosedur medis untuk melihat adanya masalah di usus besar dan rektum, seperti melansir KlikDokter.

Akan tetapi, Aru kembali menekankan, skrining pada kelompok masyarakat tersebut juga terkendala minimnya fasilitas kesehatan dan kurangnya dana.


Pemeriksaan Kotoran Dapat Menjadi Alternatif

Ilustrasi Buang Air Besar (Credit: pexels.com/Drio)

Lebih lanjut, Aru mengutarakan, pengecekan kotoran lebih mungkin untuk dilakukan. Namun, menurut pengalamannya, sering kali pasien enggan untuk melakukan pemeriksaan kotoran.

“Pasien-pasien saya bersedia untuk bayar mahal untuk cek darah. Begitu harus bawa kotoran, tidak mau karena geli atau jijik. Jadi, ada faktor barrier psikologis juga,” lanjutnya.

Deteksi Dini Setahun Sekali Sangat Penting

Aru mengungkap, skrining pribadi dalam arti deteksi dini sangatlah penting. 

“Jika kita bicara deteksi dini, kalau kita mau medical check up atau memiliki niat untuk melakukan sendiri, biasakan periksa kotoran setahun sekali atau setiap enam bulan sekali,” dia menambahkan.

Saat memeriksa kotoran, indikasi adanya masalah usus besar dapat dilihat jika terdapat darah. “Kalau ada darah samar, itu merupakan indikasi,” ucapnya.


Gejala Kanker Usus Besar

Ilustrasi buang air besar (Arfandi Ibrahim/Liputan6.com)

Di kesempatan yang sama, Aru mengungkap gejala kanker usus besar yang perlu diperhatikan.

  1. Berat badan turun. 
  2. Adanya rasa lemah berlebihan, yang biasanya disebabkan oleh anemia.
  3. Adanya perubahan pada pola buang air besar. Misalnya, hari ini terasa keras untuk mengeluarkan kotoran, esoknya encer, hari berikutnya ukuran kotoran kecil-kecil, dan sebagainya.
  4. Pendarahan melalui anus.

Berharap Skrining Masyarakat Bisa Segera Dilakukan

Tak hanya itu, Aru mengungkap harapannya, yaitu agar skrining masyarakat dapat segera dilakukan.

“Untuk skrining masyarakat, mudah-mudahan mulai tahun depan sudah bisa dijalankan, walaupun akan sangat mahal,” ungkapnya lebih lanjut.


Gaya Hidup, Penyebab Utama Kanker Usus Besar

Ilustrasi Minuman Boba, Minuman Manis (Credit: Pixabay)

Aru mengatakan, kanker usus besar sebesar 90 persen disebabkan oleh gaya hidup. Sedangkan, dari genetik hanya sebesar 10 persen.

Salah satu gaya hidup yang dapat memicu kanker usus besar adalah sering minum minuman manis.

Sebuah studi dari Washington University School of Medicine pada tahun 2021 menemukan, perempuan yang minum lebih dari dua minuman manis per hari memiliki risiko terkena kanker kolorektal dini.

Sementara itu, sebuah studi yang diterbitkan di The Lancet pada bulan lalu juga mengungkap, orang yang makan banyak makanan segar memiliki risiko yang lebih kecil untuk didiagnosis kanker usus besar.

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya