Liputan6.com, Brasilia - Federasi Rusia masih terus dibelenggu sanksi-sanksi ekonomi akibat invasi terhadap Ukraina. Hal itu dikeluhkan Menteri Luar Negeri Brazil Muaro Vieira. Ia menyebut negara berkembang jadi ikut rugi.
Pernyataan itu dibuat oleh Vieira ketika bertemu delegasi Rusia yang berkunjung ke negaranya. Delegasi Rusia dipimpin Menteri Luar Negeri Sergey Lavrov.
Advertisement
Menlu Brazil juga berkata sanksi-sanksi yang diberikan berbagai negara itu bersifat unilateral. Vieira berkata sanksi harusnya berasal dari Dewan Keamanan PBB. Rusia adalah anggota DK PBB.
"Saya menegaskan kepada Lavrov tentang posisi Brazil pada sanksi-sanksi unilateral. Selain tidak dikoordinasi dengan Dewan Keamanan PBB, mereka memiliki konsekuensi negatif ke ekonomi-ekonomi di seluruh dunia, terutama negara-negara berkembang, banyak dari mereka yang belum pulih dari pandemi," ujarnya seperti dikutip media pemerintah Rusia, TASS, Selasa (18/4/2023).
Brazil adalah anggota BRICS bersama Rusia, India, China, dan Afrika Selatan.
Sikap Brazil terhadap konflik Rusia-Ukraina dapat dikatakan netral. Pada awal 2023, Presiden Brazil Luiz Inacio Lula juga menyalahkan Ukraina atas invasi yang terjadi. Presiden Volodymyr Zelensky dituding tidak mau negosiasi ketika negaranya diserang.
Presiden Lula juga menyebut AS agar tidak mendorong terjadinya peperangan dan mulai membahas perdamaian. Retorika yang dikeluarkan Brazil akhirnya memancing respons negatif dari Amerika Serikat.
Dilaporkan BBC, juru bicara Dewan Keamanan Nasional John Kirby menuding bahwa Presiden Lula seperti "membeo propaganda Rusia dan China".
Menlu Vieira membalas bahwa ia tak setuju atas ucapan Kirby.
"Saya tidak tahu bagaimana atau mengapa ia meraih kesimpulan tersebut, tetapi saya tidak setuju sama sekali," kata Menlu Brazil.
Saat ini, gencatan senjata antara Ukraina-Rusia masih sulit. Ukraina meminta agar Rusia meninggalkan daerah-daerah yang mereka jajah dulu, tetapi Rusia tidak mau.
Vladimir Putin Teken UU Pemberitahuan Wajib Militer Elektronik yang Bikin Warga Rusia Tidak Bisa Kabur
Vladimir Putin pada Jumat (14/4/2023) menandatangani undang-undang yang memungkinkan pihak berwenang mengeluarkan pemberitahuan elektronik kepada wajib militer dan pasukan cadangan di tengah perang Ukraina.
Aturan dinas militer Rusia sebelumnya mewajibkan pemberitahuan secara langsung kepada wajib militer dan pasukan cadangan yang dipanggil bertugas.
Mereka yang mendapat pemberitahuan tapi tidak hadir dalam layanan akan dilarang meninggalkan Rusia, SIM mereka akan ditangguhkan dan akan dilarang pula menjual apartemen serta aset lainnya. Demikian seperti dikutip dari AP, Minggu (16/4).
Kritikus Kremlin dan aktivis HAM mengecam UU baru tersebut sebagai langkah menuju kamp penjara digital, yang memberikan kekuatan yang belum pernah terjadi sebelumnya kepada kantor wajib militer.
Lyudmila Narusova, janda mantan wali kota Sankt Peterburg Anatoly Sobchak, adalah satu-satunya anggota dewan yang berbicara menentang tindakan itu ketika Dewan Federasi, majelis tinggi parlemen, mempertimbangkan RUU itu pada Rabu (12/4).
Narusova, yang mendiang suaminya adalah mentor Putin, menuduh RUU itu bertentangan dengan konstitusi negara dan berbagai undang-undang. Dia sangat keberatan dengan persetujuannya yang tergesa-gesa.
Pemberlakuan undang-undang yang cepat memicu kekhawatiran pemerintah memulai gelombang baru mobilisasi menyusul serangan musim gugur Rusia.
Advertisement
Bantah Ada Agenda Mobilisasi Lagi
Otoritas Rusia menyangkal bahwa mobilisasi lain sedang direncanakan. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan minggu ini bahwa tindakan itu diperlukan untuk merampingkan sistem panggilan yang sudah ketinggalan zaman mengingat kekurangan yang terungkap oleh mobilisasi parsial musim gugur lalu.
"Banyak kekacauan di kantor wajib militer," katanya. "Tujuan dari RUU ini adalah untuk membersihkan kekacauan ini dan membuat sistem menjadi modern, efektif, dan nyaman bagi warga negara."
Putin mengumumkan pemanggilan 300.000 pasukan cadangan pada September 2022 setelah serangan balasan Ukraina mendorong pasukan Rusia keluar dari wilayah luas di timur.
Perintah mobilisasi mendorong eksodus pria Rusia yang diperkirakan berjumlah ratusan ribu.
Pengamat mengatakan undang-undang baru itu tampaknya memberi pihak berwenang mekanisme untuk dengan cepat memperkuat barisan dalam persiapan untuk serangan baru Ukraina.
"Alasan yang mungkin adalah bahwa mereka melihat bahwa Ukraina bersiap-siap untuk serangan," kata Abbas Gallyamov, mantan penulis pidato Putin yang kini menjadi kritikus Kremlin dan telah meninggalkan Rusia.
Gallyamov telah dicap sebagai "agen asing" oleh otoritas Rusia, julukan yang menyiratkan pengawasan tambahan dan membawa konotasi merendahkan yang bertujuan merusak kredibilitas penerima. Dia juga telah dimasukkan dalam daftar orang yang dicari untuk tersangka kriminal.
Menurut Gallyamov, undang-undang itu dapat memicu ketidakpuasan yang membara tetapi tidak mungkin memicu protes.
"Di satu sisi, ada ketidakpuasan dan keengganan untuk berperang, tetapi di sisi lain ada ketakutan akan meningkatnya represi," katanya. "Orang-orang dihadapkan pada pilihan yang sulit antara pergi berperang dan mati, atau dipenjara jika mereka memprotes."
Xiaomi Bantah Tudingan Jadi Sponsor Perang di Ukraina
Perang Ukraina dan Rusia masih berlangsung. Baru-baru ini, nama perusahaan teknologi Tiongkok Xiaomi, terseret ke dalam pusaran konflik yang belum terlihat ujungnya ini.
National Agency for the Prevention of Corruption Ukraine (NAZK), baru-baru ini menuding Xiaomi sebagai "sponsor perang internasional" atau "International War Sponsor" dalam daftar mereka.
Lembaga itu, seperti dikutip dari Gizmochina, Senin (17/4/2023), mengklaim bahwa Xiaomi tetap aktif di pasar Rusia, dan telah menjadi merek smartphone di negara itu sejak perang Rusia dan Ukraina dimulai.
Data NAZK terbaru juga menyebut, pangsa pasar Xiaomi di Rusia berlipat ganda pada tahun 2022, dengan pengiriman per kuartal tiga meningkat sebesar 39 persen dibandingkan dengan kuartal sebelumnya.
Siaran pers dari Ukraina ini pun menyatakan, keputusan memasukkan Xiaomi ke dalam sponsor perang internasional, berdasarkan kelanjutan operasi perusahaan Rusia setelah "invasi skala penuh."
Pada Juli 2022, Xiaomi dan sub-brand mereka Poco, juga dilaporkan menguasai 42 persen pangsa pasar untuk ponsel pintar Rusia, menduduki peringkat pertama dalam hal pendapatan.
Data pada 2021 juga menyebut, anak perusahaan Xiaomi di Rusia telah menghasilkan pendapatan USD 202 juta.
Biro Antikorupsi Nasional Ukraina ini juga mengklaim pajak yang dibayarkan atas pendapatan yang signifikan ini, telah digunakan untuk mendukung militer Rusia dan "mendanai perang melawan Ukraina."
Adapun dalam tudingan biro Ukraina itu, ada 21 perusahaan yang dimasukkan dalam sponsor perang internasional oleh mereka.
Advertisement