Liputan6.com, Jakarta - Dahulu kala dikisahkan ada sebuah batu yang membawa kabur baju seorang nabi, yaitu Nabi Musa AS. Pada masa kenabiannya itu banyak kaum pria dari Bani Israil alias bangsa Israel yang terbiasa mandi bersama tanpa berpakaian.
Namun, ketika Nabi Musa mandi tidak pernah memperlihatkan auratnya. Nabi Musa tidak pernah mau jika diajak mereka untuk mandi bersama ia lebih memilih mandi sendirian, sehingga aurat atau bagian tubuhnya tidak pernah terlihat oleh orang lain.
Di sisi lain, tidak pernah ada nabi dan rasul yang selamat dari gangguan orang-orang jahil dari kalangan Bani Israil. Tak terkecuali Nabi Musa. Suatu saat sudah tersiar kabar kebohongan dan tuduhan bahwa dibalik tertutupnya tubuh Musa ada penyakit dan kekurangan yang tersembunyi.
Baca Juga
Advertisement
Sudah bisa dipastikan, tuduhan itu sangat menyakitkan perasaan Nabi Musa. Akibatnya, Allah pun tidak ridha melihat kebohongan yang dialamatkan kepada nabi-Nya.
Pasalnya, akan mengurangi kepercayaan umat kepadanya. Lagi pula, dalam pandangan manusia, para rasul haruslah tampil sebagai sosok paling sempurna, tidak memiliki kekurangan sedikit pun, baik dalam tampilan fisik maupun budi pekerti.
Saksikan Video Pilihan ini:
Pertolongan Allah terhadap Nabi Musa
Suatu ketika, Allah pun berkehendak membebaskan Nabi Musa dari segala tuduhan para pendusta dan cibiran orang-orang bodoh. Seperti biasa, saat mandi seorang diri, Nabi Musa meletakkan pakaiannya di atas batu. Selesai mandi, ia bermaksud mengambil pakaiannya.
Namun, ia heran karena batu yang ditumpangi pakaiannya sudah tidak ada. Sungguh mustahil jika ada batu yang bisa bergerak dan terbang membawa pakaian. Terlebih, batu hanya sebuah benda mati.
Tapi, tidak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki. Atas hikmah dan keagungan-Nya, Allah maha kuasa menerbangkan batu yang ditumpangi pakaian Nabi Musa dengan cara yang tidak biasa. Hikmah tersebut salah satunya hendak membebaskan Musa dari tuduhan buruk yang dialamatkan kepadanya.
Nabi Musa pun terheran melihat batu bisa terbang membawa bajunya. Meski demikian, ia tak sadar berlari di belakangnya sambil memanggil-manggil, “Pakaianku, hai batu. Pakaianku.”
Tapi batu itu terus membawa terbang bajunya. Sungguh pemandangan yang sangat langka. Musa seorang nabi yang sangat pemalu, tiba-tiba berlari telanjang di belakang batu yang membawa pakaiannya. Hingga, sampailah pengejaran Nabi Musa di hadapan sekumpulan Bani Israil. Dan dengan mata kepala sendiri, mereka bisa melihat tubuh Nabi Musa sangat bagus tanpa cacat sedikit pun.
Advertisement
Keajaiban Pukulan Tongkat Nabi Musa
Terhapus sudah semua kecurigaan yang dilontarkan orang-orang bodoh kepadanya. Batu yang membawa kabur pakaian Nabi Musa terhenti. Pakaiannya pun langsung diambil dan dikenakannya.
Namun setelah itu, ia mengangkat tongkatnya dan menghadap kepada batu tersebut. Tak berpikir panjang, Nabi Musa memukuli batu tersebut layaknya pukulan orang yang sedang marah kepada orang yang berbuat jahat dan zalim kepada dirinya.
Padahal, Nabi sendiri tahu bahwa ia hanya sekadar batu. Namun, ia tetap memukulinya, layaknya kepada orang yang bersalah. Yang lebih aneh lagi, walau tongkat Nabi Musa terbuat dari kayu, tetapi mampu meninggalkan bekas pada batu yang dipukulnya, sampai ada beberapa bekas pukulan.
Umumnya, kayu tidak mampu memberikan bekas pukulan pada benda keras. Pasalnya batu lebih keras dari kayu. Seringkali, tongkat kayulah yang pecah bila dipukulkan pada batu.
Lain halnya dengan tongkat Nabi Musa. Ia bukanlah sembarang tongkat yang diciptakan Allah. Ia sangat kuat yang memiliki sejumlah keistimewaan. Salah satunya mampu memberikan bekas pukulan pada batu yang telah melarikan pakaiannya, bahkan terlihat hingga ada enam atau tujuh pukulan.
Kisah ini, juga terdapat dalam Al-Quran Surah al-Ahzab ayat 69 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan Musa adalah seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah,” (QS Al-Ahzab: 69). (Umar Sulaiman, Shahih Al-Qashash An-Nabawi, [Beirut: Darun Nafa’is], 1997, halaman 91).