Merenungkan Kopassus dan Ide Separatisme Papua (Di Hari Jadi yang Ke-71)

Tantangan yang harus dijawab oleh Kopassus adalah, melaksanakan fungsi operasional pertahanan keamanan di Papua tanpa dukungan kondisi politik terkait yang tepat.

oleh Liputan6.com diperbarui 19 Apr 2023, 10:28 WIB
Abdullah Mahmud Hendropriyono

1. Tantangan yang Dihadapi

Liputan6.com, Jakarta Konflik politik mengenai Irian Jaya antara kita dengan Belanda sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka tahun 1945 yang tidak selesai dalam Konperensi Meja Bundar (KMB) 1949 dan pada tahun 1960-1963 dilanjutkan melalui perundingan Middleburg dan perjanjian New York yang dimediasi oleh Amerika Serikat (AS).

Kepentingan AS di era perang dingin tersebut adalah membendung komunisme di Asia dan menjauhkan hubungan Indonesia dengan Uni Soviet. Akhirnya melalui Referendum Act of Free Choice atau Pepera pada tahun 1969 oleh PBB yang didominasi oleh AS, Irian Jaya diakui dunia masuk dalam wilayah RI. Kepentingan AS pada waktu itu adalah mendirikan perusahaan tambang tembaga di Ertsberg pada tahun 1970, namun pemerintah RI tidak memberi syarat kepada AS untuk ikut memerangi ide separatisme Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang telah berdiri sejak tahun 1963 atas dukungan Belanda.

Selanjutnya Belanda mendorong terlaksananya proklamasi negara Papua pada tanggal 1 Juli 1971, tanpa adanya gugatan politik yang signifikan dari pemerintah RI. Demikian juga ketika terjadi perpecahan internal OPM menjadi faksi Pemulihan Keadilan (Pemka) pimpinan Jakob Prai sarjana lulusan Universitas Cenderawasih dan faksi Tentara Pembebasan Nasional (TPN) pimpinan Seth Rumkorem perwira lulusan Secapa Angkatan Darat 1964, tidak ada manuver politik untuk menyusun kekuatan menghadapi perkembangan situasi tersebut.

Dengan demikian maka tantangan yang harus dijawab oleh Kopassus adalah, melaksanakan fungsi operasional pertahanan keamanan di Papua tanpa dukungan kondisi politik terkait yang tepat. Pada tataran politik sejatinya baik disimak bagaimana manuver politik kerajaan Maroko, ketika menghadapi isu separatisme Front Polisario yaitu suatu gerakan untuk kemerdekaan Sahara-Barat yang kaya dengan emas.

Gerakan separatis bersenjata tersebut pada tahun 1979 justru didukung PBB, namun Maroko pada 1989 telah berhasil gemilang mengatasi Polisario dengan menggalang kekuatan diplomasi politik Uni Eropa, AS dan negara-negara Uni-Afrika, untuk menghentikan kemauan separatisme Polisario yang semula didukung oleh PBB tersebut. Juga ketika Spanyol menghadapi gerombolan bersenjata ETA (Euskadi Ta Askatasuna) yang beraspirasi separatisme Basque sejak 1959, Pemerintah Spanyol, Perancis dan AS pada tahun 1971 menetapkan ETA sebagai pasukan teroris, sehingga Spanyol berhasil menekan ETA pada 20 Oktober 2011 untuk menyerah dan mengumumkan gencatan senjata secara permanen.


2. Dasar Operasional

  • Pancasila sebagai dasar filsafat negara diwujudkan nilai-nilainya di bidang Hankam, dengan bentuk partisipasi rakyat dalam pembelaan negara.
  • UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.
  • UU RI nomer 34/2004 menyatakan bahwa Hankamrata adalah sistem yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah dan sumber daya nasional.

3. Acaman, Gangguan dan Hambatan

Seiring dengan perkembangan hubungan Indonesia dengan AS yang secara terpendam menurun, karena kita tidak mau memusuhi musuhnya yaitu China, maka berhamburan serangan-serangan hoaks dan simulakra dari NGO-NGO asal AS di medan laga siber. Isu politik yang diangkat adalah kebijakan pemerintah yang diskriminatif terhadap orang Papua.

Tercatat setidaknya ada 11 (sebelas) NGOs (Non Government Organizations) Amerika Serikat (AS), Inggris dan LSM-LSM domestik kita sendiri di panggung The United Nations Council. NGOs dari AS yaitu Franciscans International, Geneva for Human Rights, VIVAT International, Commission of the Churches on International Affairs of the World Council, CIVICUS, Asian Forum for Human Rights and Development, International Coalition for Papua, Westpapua Netzwerk, Commission for Justice, Peace and Integrity of Creation of the Franciscans in Papua, Human Right Watch (HRW) dan Amnesty International dari Inggris, dengan data dari LSM-LSM domestik terutama KontraS dan TAPOL.

Mereka digerakkan oleh pemerintah Amerika Serikat melalui USAID (United States Agency for International Development), seperti yang biasa mereka lakukan untuk mengancam kita sejak negara Indonesia dalam periode revolusi fisik pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945. Serangan-serangan hoaks terhadap Kopassus terbungkus oleh isu pelanggaran HAM (Hak Azasi Manusia) di medan pertempuran fisik dengan sebaliknya, mengabaikan kenyataan terorisme KSTB terhadap rakyat dan orang-orang sipil yang tak berdosa (Innocent Persons).

Perkembangan teknologi yang serba internet dan berkecerdasan buatan di zaman ini, menggiring setiap sengketa politik ke medan perang siber.

4. Tujuan yang Ingin Dicapai

Tujuan politik pemerintah RI adalah berhentinya kehendak disintergasi periferal OPM untuk melepaskan diri dari pangkuan NKRI, sehingga tujuan Kopassus adalah berhentinya perlawanan bersenjata pasukan gerilya Kelompok Separatis Teroris Papua (KSTP).


5. Keadaan Lingkungan

 Perkembangan teknologi yang serba internet dan berkecerdasan buatan di zaman ini, menggiring setiap sengketa politik ke medan perang siber. Namun dalam catatan National Cyber Security Index (NCSI) keamanan siber Indonesia berada pada tingkat yang sangat rendah, yaitu peringkat ke 3 terendah di antara negara-negara G20. Kelemahan ini terbukti dengan ‘Skandal Bjorka’ pada tahun 2022 yang membocorkan semilyar lebih data SIM Cards, doxing sejumlah pejabat tinggi negara dan tokoh nasional.

Pada titik lemah itu bergaung informasi tentang sejumlah purnawirawan yang bergabung dalam partai politik. Sebagai generasi penerus TNI yang setia kepada Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, Kopassus berbeda dengan purnawirawan dalam parpol pada aspek disiplin dan kesetiaan. Para prajurit Kopassus harus tunduk, setia, hormat serta taat kepada atasannya dengan tidak membantah perintah atau putusan, sedangkan para purnawirawan tersebut harus setia kepada parpolnya masing-masing sampai mereka duduk dalam administrasi pemerintahan.

Karenanya, jika para purnawirawan mempengaruhi Kopassus sebagai prajurit baik individu maupun satuan ke ranah Parpolnya, maka pada suatu waktu yang kritis pengaruh tersebut dapat berubah tiba-tiba menjadi ancaman yang nyata terhadap Kopassus. Sebaliknya, Kopassus justru memerlukan dukungan para purnawirawan dalam memperluas jejaring (network) di masyarakat dan di media sosial, untuk membangun dan memperkuat ketahanannya di medan siber.


6. Subyek , Sasaran-Sasaran dan Strategi

Kopassus bukan prajurit yang hebat tetapi prajurit yang terlatih, untuk merebut sasaran-sasarannya yang bernilai taktis dan strategis. Sasaran-sasaran taktis Kopassus adalah gerombolan bersenjata KSTB, sistem komunikasi, sistem logistik, Key Persons (para personil kunci), agen intelijen dan klandestin, obyek-obyek vital dan dokumen-dokumen penting mereka.

Semua sasaran personil yang jatuh ke tangan Kopassus dikehendaki dalam keadaan hidup, karena mayat tidak memperbesar hasil baik bagi Kopassus. Obyek vital dan dokumen yang hancur atau terbakar, juga tidak bermanfaat bagi Kopassus dalam merebut sasaran lebih lanjut yang strategis. Selain itu keutuhan mereka juga sangat bermanfaat bagi Kopassus, dalam penyelenggaraan perang informasi di dunia siber.Kekuatan informasi dapat menggalang rakyat untuk melaksanakan ‘pagar betis’ baik fisik maupun psikologis terhadap pasukan gerilya di hutan atau yang bersembunyi di kota dan kampung-kampung.

Kekuatan rakyat yang tergalang merupakan dukungan bagi Kopassus untuk melakukan pendekatan lunak, cerdas dan keras yang terintegrasi secara harmonis sesuai dengan sistem Hankamrata. Dengan demikian maka ada 3 (tiga) syarat utama yang dipenuhi oleh Kopassus yang bertugas di Papua, yaitu mengenal rakyat, mengetahui musuh dan menguasai medan pertempuran.

Keberhasilan pasukan yang terlatih sangat tergantung kepada kebijakan politik, untuk menetapkan suatu lokasi tertentu sebagai daerah operasi militer yang steril dari rakyat. Operasi pengungsian rakyat yang terencana, terorganisir dan terawasi dengan cepat dan tepat, akan memperkecil kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM. Di medan pertempuran yang ada hanya Kopassus bersama rakyat yang berhadapan dengan KSTB, di bawah hukum pertempuran untuk : membunuh atau dibunuh.

Penulis:

AM Hendropriyono

Komandan Detasemen Tempur 13 Pasukan Para Komando tahun 1981.

Komandan Operasi Sandi Yudha Nanggala 13 tahun 1977.

 

Klik videonya di sini:

 

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya