Silaturahmi dengan Baku Pukul Sapu Lidi, Tradisi Menyambut Lebaran Idul Fitri dari Maluku

Pukul Sapu, tradisi menyambut Idul Fitri ala warga Maluku Utara ini cukup unik dimana para pemuda akan saling baku pukul dengan menggunakan sapu lidi yang terbuat dari pohon enau.

oleh Mega Dwi Anggraeni diperbarui 20 Apr 2023, 07:59 WIB
Pukul Sapu menjadi tradisi menyambut Idul Fitri yang dilakukan oleh warga Maluku. (Foto: Dinas Pariwisata Provinsi Maluku)

Liputan6.com, Jakarta - Tradisi menyambut Hari Raya Idul Fitri di Indonesia memang sedikit berbeda dengan negara lain. Mulai dari mudik hingga berbagi uang THR untuk keponakan. Tapi di samping itu, ada juga berbagai tradisi menyambut Idul Fitri dari berbagai daerah, salah satunya tradisi Pukul Sapu.

Tradisi Pukul Sapu ini biasanya dilakukan oleh warga dari Desa Morela dan Mamala di Maluku Tengah. Tradisi menyambut Idul Fitri ala warga Maluku Utara ini cukup unik dimana para pemuda akan saling baku pukul dengan menggunakan sapu lidi yang terbuat dari pohon enau.

Meski kegiatan yang satu ini sering menimbulkan guratan merah di kulit atau bahkan bisa mengeluarkan darah, namun Pukul Sapu selalu tetap digelar setiap hari ke-7 setelah warga merayakan Idul Fitri. Bahkan tradisi ini juga dianggap sebagai salah satu cara mempererat silaturahmi antar kedua desa.

Tradisi Pukul Sapu tak hanya diikuti oleh para pemuda setempat, tetapi juga anak-anak. Bahkan, jumlah peserta pun tidak dibatasi namun biasanya disesuaikan dengan area.

Selama jalannya tradisi ini, para peserta akan dibekali dengan dua ikat lidi mentah yang digunakan untuk saling memukul. Sementara itu, seorang tokoh desa akan berlaku sebagai wasit.

Namun biasanya sehari sebelum acara dimulai, para peserta akan berkumpul dalam rumah adat adat untuk melakukan upacara adat dan berdoa. Proses ini dilakukan untuk meminta pertolongan dan restu kepada Sang Pencipta dan para leluhur.

 


Sejarah Tradisi Pukul Sapu

Tradisi Pukul Sapu, yang dilakukan untuk mengenang Achmad Leakawa atau Kapitan Perang Telukabessy dan anak buahnya saat menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala pada tahun 1636 M. (Foto: Kementerian Kelautan dan Perikanan)

Selain selalu dilakukan untuk mempererat hubungan antar tetangga dan saudara, tradisi unik ini juga dilakukan untuk melestarikan budaya. Karena konon, Pukul Sapu dilakukan untuk mengenang Achmad Leakawa atau Kapitan Perang Telukabessy dan anak buahnya saat menghadapi tentara Belanda dalam Perang Kapahala pada tahun 1636 M.

Mengutip dari situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Kebudayaan, Perang Kapahala dipicu oleh pendirian markas VOC (kongsi dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, tahun 1636 M. Selain itu, Belanda juga berniat merebut Benteng Kapahaha milik warga Maluku, hingga perang pun tak terelakan.

Tentara Belanda yang mengepung dari berbagai penjuru, menyerang membabi buta dari darat serta serangan meriam dari kapal VOC di laut. Mereka terus mendesak para pejuang hingga akhirnya benteng yang jaraknya sekitar tiga kilometer dari Desa Morela itu dapat dikuasai Belanda.

Pada perang itu, Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun anak buahnya banyak ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka dijadikan tawanan di Teluk Sawatelu dan sisanya lagi dibuang ke Batavia.

Kapitan Telukbessy kemudian dihadapkan dengan pilihan: menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh kompeni. Namun akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan Verheijeden pada 19 Agustus 1646. Dia kemudian dijatuhi hukuman gantung Benteng Victoria pada 27 September 1646.

Sementara itu, anak buah Kapitan Telukabessy dibebaskan Belanda setelah tiga bulan ditawan di Teluk Sawatelu. Sebelum berpisah dan kembali ke daerah masing-masing, mereka melakukan perpisahan dengan tarian adat, menyanyikan lagu daerah dan acara pukul sapu.

Tujuannya adalah agar tetesan darah dari tubuh mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya