Liputan6.com, Jakarta - India sedang dalam perjalanan untuk menjadi negara terpadat di dunia, menyalip China dengan hampir tiga juta orang lebih pada pertengahan tahun ini, menurut data yang dirilis oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Data demografis yang dirilis pada Rabu, 19 April 2023 oleh United Nations Population Fund (UNFPA), memperkirakan populasi India mencapai 1,4286 miliar dibandingkan 1,4257 miliar untuk China.
Advertisement
Amerika Serikat (AS) berada jauh di urutan ketiga, dengan perkiraan populasi 340 juta, menurut data State of World Population Report 2023 dari UNFPA.
Laporan itu mengatakan delapan negara akan mencapai setengah dari proyeksi pertumbuhan populasi global pada 2050: Republik Demokratik Kongo (DRC), Mesir, Etiopia, India, Nigeria, Pakistan, Filipina, dan Tanzania.
Pakar populasi yang menggunakan data sebelumnya dari PBB, juga memproyeksikan India akan melewati China bulan ini. Namun laporan terbaru dari badan global tersebut tidak menentukan tanggal kapan perubahan itu akan dilakukan, dilansir dari Al Jazeera, Kamis (20/4/2023).
Pejabat kependudukan PBB mengatakan tidak mungkin untuk menentukan tanggal karena "ketidakpastian" tentang data yang keluar dari India dan China, terutama sejak sensus terakhir India dilakukan pada 2011 dan yang berikutnya pada 2021 telah ditunda karena pandemi COVID-19.
Meskipun India dan China akan mencapai lebih dari sepertiga dari perkiraan populasi global sebesar 8,045 miliar, pertumbuhan populasi di kedua raksasa Asia itu telah melambat, dengan kecepatan yang jauh lebih cepat di China daripada di India.
Pada 2022, populasi China turun untuk pertama kalinya dalam enam dekade, perubahan bersejarah yang diperkirakan akan menandai dimulainya periode panjang penurunan jumlah warganya dengan implikasi mendalam bagi ekonominya dan dunia.
Pertumbuhan populasi tahunan India rata-rata 1,2 persen sejak 2011, dibandingkan dengan 1,7 persen dalam 10 tahun sebelumnya, menurut data pemerintah.
"Temuan survei India menunjukkan bahwa kecemasan penduduk telah merembes ke sebagian besar masyarakat umum," kata Andrea Wojnar, perwakilan UNFPA India.
"Namun, jumlah populasi seharusnya tidak memicu kecemasan atau membuat alarm. Sebaliknya, mereka harus dilihat sebagai simbol kemajuan, pembangunan, dan aspirasi jika hak dan pilihan individu ditegakkan," imbuh Wojnar.
PBB: Taruh Fokus pada Hak Reproduksi
PBB mengatakan daripada terpaku pada efek populasi dunia yang melonjak, dunia seharusnya melihat hak reproduksi perempuan untuk menopang "ketahanan demografis".
UNFPA mengakui ada kecemasan yang meluas atas ukuran populasi dunia, yang diperkirakan mencapai puncaknya sekitar 10,4 miliar selama tahun 2080-an.
Namun, UNFPA mengatakan fokusnya harus memberi perempuan lebih banyak kekuatan untuk mengontrol kapan dan bagaimana mereka memiliki anak.
"Pertanyaannya adalah, dapatkah setiap orang menggunakan hak asasi manusia mereka untuk memilih jumlah dan jarak anak mereka? Sedihnya, jawabannya tegas tidak," kata Ketua UNFPA Natalia Kanem.
Kanem berkata, "44 persen, hampir setengah dari jumlah perempuan, tidak dapat menjalankan otonomi tubuh. Tidak dapat membuat pilihan tentang kontrasepsi, perawatan kesehatan dan apakah atau dengan siapa akan berhubungan seks. Secara global, hampir setengah dari semua kehamilan tidak diinginkan."
Kanem juga bahwa mengatakan negara-negara dengan tingkat kesuburan tertinggi berkontribusi paling sedikit terhadap pemanasan global dan paling menderita dampaknya.
Advertisement
Negara dengan Tingkat Kesuburan Tertinggi Mayoritas dari Afrika
Dalam laporannya, UNFPA menemukan pandangan yang paling umum dipegang adalah populasi dunia terlalu besar.
Namun, dikatakan bahwa dua pertiga orang tinggal di negara-negara dengan tingkat kesuburan rendah dan melewati angka delapan miliar "seharusnya menjadi alasan untuk merayakannya".
"Ini adalah tonggak yang mewakili kemajuan bersejarah bagi umat manusia di bidang kedokteran, sains, kesehatan, pertanian, dan pendidikan," kata laporan itu.
"Sudah waktunya untuk mengesampingkan rasa takut, untuk berpaling dari target populasi dan menuju ketahanan demografis, kemampuan untuk beradaptasi dengan fluktuasi pertumbuhan populasi dan tingkat kesuburan."
Negara-negara dengan tingkat kesuburan tertinggi semuanya ada di Afrika, yakni Niger (6,7), Chad (6,1), DRC (6,1), Somalia (6,1), Mali (5,8) dan Republik Afrika Tengah (5,8).
Wilayah dengan tingkat kelahiran terendah adalah Hong Kong (0,8), Korea Selatan (0,9), Singapura (1,0), Makau dan San Marino (1,1) serta Aruba dan China (1,2).
Kanem kemudian mengatakan pada konferensi pers, "Populasi dunia dengan cepat mengatur ulang dirinya sendiri."
Sementara populasinya sekarang menjadi yang terbesar yang pernah dilihat, "tingkat kesuburan rata-rata global adalah yang terendah dalam ingatan hidup".
"Ini adalah pertama kalinya dalam sejarah manusia di mana tidak setiap negara menjadi lebih besar."
Pertama Kali dalam 19 Tahun, China Alami Krisis Demografis
Bicara soal populasi, salah satu kota terbesar dan terluas yang juga terkenal dengan kepadatan populasinya, Beijing, ibu kota China, akhirnya mengalami krisis demografis.
Sejak tahun lalu untuk pertama kalinya dalam 19 tahun, populasi masyarakat di Beijing mengalami penurunan.
Melansir dari CNN, Kamis (23/3/2023), saat ini diketahui ibu kota China tersebut sedang bergulat dengan krisis demografis yang sedang berlangsung selama beberapa dekade ke belakang.
Populasi penduduk tetap Beijing diketahui menurun dari sebesar 21,88 juta pada 2021 menjadi sebesar 21,84 juta pada 2022, itu berarti penurunan populasi mencapai 84.000.
Sebelumnya, Beijing merupakan kota yang ramai oleh migran, masyarakat pedesaan banyak yang datang ke kota untuk bekerja.
Namun, jumlah migran di Beijing yang datang dari pedesaan ternyata juga menurun pada 2022.
Terakhir kali Beijing memperlihatkan lebih banyak angka kematian daripada angka kelahiran adalah pada 2003, ketika wabah sindrom pernafasan parah (SARS) yang fatal muncul di China selatan dan akhirnya menginfeksi lebih dari 8.000 orang di seluruh dunia.
Advertisement