Liputan6.com, Yogyakarta - Perbedaan perayaan Hari Raya Lebaran Idul Fitri kembali terjadi. Terjadinya perbedaan ini lantaran adanya metode yang berbeda pula dalam penetapannya.
Merangkum dari berbagai sumber perbedaan antara Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) terjadi karena metode perhitungan kalender Hijriyah. Muhammadiyah menggunakan metode hisab, sedangkan NU menggunakan metode rukyat.
Kedua metode ini memiliki perbedaan dalam cara menghitung dan menentukan awal bulan Hijriyah dan penetapan hari raya.
Metode hisab didasarkan pada perhitungan matematis dan astronomi. Metode ini memperhitungkan gerak bulan dan matahari dalam sistem tata surya, yang kemudian dipadukan dengan rumus-rumus matematis untuk menentukan kapan awal bulan Hijriyah dimulai. Metode ini diyakni lebih bersifat ilmiah dan akurat karena memperhitungkan pergerakan bulan dan matahari.
Baca Juga
Advertisement
Sedangkan, metode rukyat didasarkan pada pengamatan langsung hilal (bulan baru) dengan mata telanjang. Metode ini memerlukan pengamatan hilal pada malam hari ketika langit bersih.
Jika hilal terlihat, maka awal bulan Hijriyah dianggap dimulai pada hari tersebut. Metode ini lebih bersifat empiris dan tradisional karena mengandalkan pengamatan secara langsung oleh manusia. Meskipun demikian metode rukyat juga berdasarkan teori atau ilmu-ilmu tertentu yang menjadi patokannya.
Perbedaan penetapan hari raya Idul Fitri antara Muhammadiyah dan NU sebenarnya kerap terjadi. Pada tahun 2022, Muhammadiyah menetapkan Idul Fitri jatuh pada Minggu, 1 Mei 2022, sedangkan NU menetapkan Idul Fitri jatuh pada Senin, 2 Mei 2022. Hal ini menunjukkan perbedaan satu hari dalam penetapan hari raya antara Muhammadiyah dan NU.
Menurut pengasuh utama Pondok Pesantren Selamat Kota Magelang, KH Abdurrosyid Achmad, berbeda dalam perayaan Idul Fitri sangat biasa terjadi dalam sejarah umat Islam di Indonesia. Oleh karena itu, jika terjadi perbedaan maka dihadapi sebagai kebiasaan dan sebagaimana kebiasaan yang biasa.
"Tidak ada hal yang luar biasa mengenai perbedaan ini," ujarnya.
Ia berpendapat jika umat menghadapinya tidak sebagai kebiasaan dan sebagaimana kebiasaan yang biasa, justru sikap demikian menjadi yang luar biasa. Semua tafsir terhadap agama, termasuk fikih atau hukum Islam berikut metode perumusannya, semuanya berstatus "dzonni" yaitu, pengetahuan manusia yang bersifat tidak mutlak kebenarannya. Benar dalam status "hal yang diyakini sebagai yang benar bagi sang penafsir atau pengikutnya".
Ia berpendapat, keputusan pemerintah terkait penetapan awal bulan itu bersifat memenuhi unsur kewajiban pemerintah selaku yang berwenang untuk menetapkan keputusan secara resmi negara. Bukan keputusan yang bersifat mutlak dan mengikat kepada semua umat Islam untuk mematuhinya, bukan keputusan dengan konsekuensi sanksi hukum terhadap yang menyelisihinya.
"Hal ini berbeda dengan produk hukum Islam yang ditetapkan di Indonesia dalam bentuk menjadi produk hukum positif undang-undang. Seperti UU Perkawinan, UU Zakat, UU Haji, UU Produk Halal. Karena dalam wujud UU, maka bersifat mengikat dan memiliki sanksi hukum," ucap Rosyid.
Penulis: Hermanto Asrori