Rokok Murah Menjamur, Penerimaan Cukai Terancam Turun

Koreksi penerimaan cukai rokok disebabkan oleh penurunan produksi hasil tembakau dan maraknya fenomena downtrading dimana konsumsi rokok golongan 1 dengan cukai lebih mahal berpindah ke golongan cukai yang lebih rendah.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Apr 2023, 13:18 WIB
Sejumlah batang rokok ilegal diperlihatkan petugas saat rilis rokok ilegal di Kantor Direktorat Jenderal Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

 

Liputan6.com, Jakarta Pemerintah telah mengumumkan kinerja APBN kuartal pertama (Januari – Maret) 2023. Penerimaan kepabeanan dan cukai tercatat Rp72,24 triliun, merosot 8,93 persen dibanding kuartal I tahun lalu.

Hal ini merupakan kali pertama penerimaan Bea Cukai kuartal I dalam enam tahun terakhir mencatat angka negatif.

Adapun yang mengalami penurunan ialah penerimaan cukai di sektor cukai hasil tembakau. Penerimaan cukai hasil tembakau kuartal I 2023 dibandingkan kuartal I 2022 terkoreksi 0,74 persen (year-on-year) menjadi hanya Rp55,24 triliun.

Koreksi penerimaan cukai rokok disebabkan oleh penurunan produksi hasil tembakau dan maraknya fenomena downtrading dimana konsumsi rokok golongan 1 dengan cukai lebih mahal berpindah ke golongan cukai yang lebih rendah.

Secara keseluruhan, produksi rokok kuartal pertama 2023 tercatat sebesar 69,4 miliar batang atau turun 19,05 persen dibanding kuartal 1 2022. Penurunan terbesar terjadi di Golongan 1 dari 55.1 miliar batang ke 38,8 miliar batang, anjlok 29,58 persen (yoy). Golongan 2 turun 12,4 persen ke 17,9 miliar batang. Sedangkan produksi rokok golongan III melonjak 24,68 persenmenjadi 12,60 juta batang. 

Sejumlah analis juga telah mengingatkan bahwa downtrading di industri rokok akan marak seiring masih tingginya selisih tarif cukai antar-golongan.

Analis Ciptadana Sekuritas Putu Chantika mencontohkan selisih tarif cukai rokok golongan I dengan golongan 2 di segmen SKM saat ini rata-rata Rp432 per batang. Padahal, tahun lalu selisih di antara keduanya hanya sebesar Rp385 per batang.

"Mengingat latar belakang ini, kami perkirakan downtrading akan terus berlanjut di tahun ini, menguntungkan pemain tier-2" ujarnya beberapa waktu lalu.

Sebelumnnya, kebijakan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok dinilai masih belum cukup untuk mengatasi tingginya prevalensi perokok di Indonesia.

Faktanya, masyarakat masih memiliki banyak pilihan produk rokok dengan berbagai variasi harga. Sekalipun terjadi kenaikan harga rokok akibat kebijakan cukai, perokok masih dapat berpindah ke produk rokok yang lebih murah. Tidak heran jika perusahaan rokok pun akhirnya memilih menjual produk rokok murah dari golongan 2.

Direktur Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda mengatakan, kenaikan cukai belum cukup untuk mengatasi tingginya angka perokok di Indonesia.

“Opsi rokok murah juga masih sangat banyak sehingga masyarakat punya banyak pilihan. Fenomena downtrading dan maraknya rokok murah seharusnya menjadi dasar pemerintah menaikkan harga cukai,” ujarnya.


Kenaikan Cukai

(Foto:Dok.Bea Cukai)

Itulah sebabnya, lanjutnya, CISDI mendorong kebijakan kenaikan cukai yang optimal, yang ini masih menunggu dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK).

 Apalagi, perusahaan rokok pun tampaknya terus berupaya menjual rokok dengan harga murah. Perusahaan kini berlomba-lomba memproduksi rokok kelas dua dengan tarif cukai yang lebih murah.

“Pengusaha juga masih bisa memilih atau mengakali agar bisa menggunakan tarif cukai yang lebih rendah,” ujarnya.

“Setiap golongan memiliki 2-3 tarif cukai yang berbeda. Dengan begitu, opsi rokok murah akan selalu ada. Simplifikasi tarif cukai itu kebijakan yang penting untuk memimalkan ketersediaan rokok murah di pasaran,” katanya. 


Selisih Tarif Cukai Rokok

Petugas memperlihatkan rokok ilegal yang telah terkemas di Kantor Dirjen Bea Cukai, Jakarta, Jumat (30/9). Rokok ilegal ini diproduksi oleh mesin dengan total produksi 1500 batang per menit. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Senada, Peneliti Center of Human and Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis Ahmad Dahlan (ITB-AD) Roosita Meilani mengatakan bahwa selisih tarif cukai rokok antargolongan masih sangat lebar dan memicu masalah seperti downtrading. Dia mengatakan, selisih tarif ini memicu perusahaan rokok memainkan produksi di golongan lebih rendah dengan beragam merek. 

“Dari sisi pengendalian konsumsi, ini sangat merugikan karena adanya penurunan golongan sehingga menurunkan juga harga jual eceran terendahnya. Sehingga dengan HJE di golongan II harga transaksi pasarnya (HTP) nya lebih rendah dan mengganggu pengendalian konsumsi masyarakat,” kata Roosita. 

Dia menjelaskan bahwa perusahaan yang turun golongan ini memicu perpindahan preferensi juga di kalangan masyarakat, karena downtrading mempengaruhi HJE dan HTP. 

“Selisih tarif ini sebaiknya didekatkan, dijadikan satu saja tidak perlu ada golongan. Tahapannya dapat melalui PMK yang terbit tiap tahun tarif cukainya didekatkan, dan yang sudah selisih kecil dijadikan satu. Bahkan kalau bisa hanya sesuai jenisnya saja, tanpa ada golongan,” katanya. 


Khawatir Kena PHK, Serikat Pekerja Protes Cukai Naik 10 Persen

Ratusan buruh Indonesia bekerja di pabrik tembakau memproduksi rokok kretek di Malang Jawa Timur, (24/6/2010). (AFP/AMAN RAHMAN)

Keputusan Pemerintah menaikkan tarif cukai hasil tembakau (CHT) atau cukai rokok sebesar 10 persen pada tahun 2023 dan 2024 menuai protes dari serikat pekerja. Pasalnya, para pekerja yang bergantung hidup pada industri hasil tembakau (IHT) terancam kehilangan pekerjaan akibat kenaikan cukai rokok yang angkanya di atas inflasi.

“Kami cukup terkejut dan prihatin atas keputusan pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau. Padahal sebagaimana yang selama ini disampaikan pemerintah, kita harus waspada atas situasi pasca pandemi COVID-19 dan stabilitas international terhadap perekonomian Indonesia,” ujar Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok, Tembakau, Makanan dan Minuman (FSP RTMM) SPSI Sudarto dalam keterangan tertulis di Jakarta, Jumat (11/11/2022).

Belum lagi, lanjutnya, pemerintah baru saja menetapkan kenaikan harga BBM yang memicu kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Hal ini otomatis menyebabkan melemahnya daya beli masyarakat.

FSP RTMM SPSI juga menyayangkan kenaikan cukai SKT yang dampaknya sangat terasa pada pekerja di sektor ini. ”Pekerja rokok SKT yang padat karya sesungguhnya sudah jadi korban bertahun-tahun, mulai dari turunnya penghasilan sampai PHK,” ucapnya.

Sudarto mengatakan, keputusan pemerintah menaikkan tarif cukai ini bukanlah langkah yang tepat. “Menurut kami, keputusan ini tidak bijaksana karena kami memiliki hak bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak. Dampak penurunan penghasilan dan PHK selama ini sudah terjadi. Terlebih di situasi saat ini, dapat dipastikan pekerja adalah korbannya,” katanya.

Oleh sebab itu, pihaknya meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali kebijakan cukai yang bakal berlaku dua tahun tersebut. “Karena yang kami tahu baru berupa pengumuman. Besar harapan kami, dalam dokumen (Peraturan Menteri Keuangan), keputusannya benar-benar mempertimbangkan dengan teliti imbas kenaikan cukai rokok terhadap industri dan pekerja,” katanya.

Sudarto menambahkan, cukai SKT idealnya tidak perlu naik, khususnya ketika pemerintah memahami bahwa sistem renumerasi dan hubungan pekerja SKT sangat dipengaruhi kebijakan cukai yang berlaku.  

(Liputan6.com / Abdillah)

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya