Hikayat Ketupat Lebaran Idul Fitri dan Maknanya yang Patut Direnungkan

Ada banyak makna ketika disajikan ketupat Lebaran idul Fitri

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 21 Apr 2023, 19:43 WIB
Pedagang musiman membuat kulit ketupat di bawah kolong jembatan kawasan Pesanggrahan, Jakarta, Jumat (8/7/2022). Kulit ketupat untuk perayaan Idul Adha tersebut dijual dengan harga 10ribu hingga 30ribu rupiah. (Liputan6.com/Johan Tallo)

Liputan6.com, Semarang - Solikah, warga Tanjungsari Pedurungan Tengah Semarang sejak dua hari belakangan sibuk menganyam janur. Ia membuat selongsong ketupat. Bukan untuk dijual, namun untuk keluarga besarnya.

Setiap Lebaran Idul Fitri memang sudah menjadi tradisi keluarga besarnya untuk menyajikan ketupat dan opor ayam atau lainnya.

"Anyaman ini rumit. Tapi kalau sudah biasa membuat gampang kok. Kata almarhum bapak, hidup juga rumit, tapi kalau kita terlatih menghadapi semua akan lebih mudah dilalui," kata Solikah sambil tangannya sibuk menganyam.

Solikah mengaku tak tahu awal orang membuat ketupat. Hanya saja ia meyakini semua pasti menyimpan pesan.

H. J. de Graaf pernah menulis tentang ketupat ini dalam catatan bertajuk Malay Annual. Dituliskan bahwa ketupat pertama kali dikenalkan oleh Raden Mas Sahid alias Sunan Kalijaga. 

Awalnya ketupat tidak disajikan pada hari pertama Lebaran Idul Fitri. Saat itu menu ketupat disajikan pertama kali dalam sebuah acara perayaan yang dilaksanakan setiap tanggal 8 Syawal atau sepekan setelah Idul Fitri. Jadi semacam perayaan setelah sukses melalui enam hari puasa Syawal. 

Saat ini momen tersebut di Jawa Tengah dan mungkin di daerah lain dikenal menjadi lebaran ketupat. 

Karena masih menjadi menu istimewa, masyarakat sering tidak sabar menunggu selesai puasa Syawal. Itulah sebabnya dalam perkembangannya ketupat tersaji sejak hari pertama Lebaran Idul Fitri.

Mengapa Sunan Kalijaga memilih selongsong ketupat dari janur?

Pada saat itu, sekitar abad 15, kondisi geografis Demak yang berada di pesisir didominasi pohon kelapa. Memilih janur sebagai selongsong dimaksudkan sebagai identitas lokal yang mudah diterima masyarakat.

Dalam kultur Jawa, sampai sekarang masih hidup mitologi yang berhubungan dengan hasil pertanian. Adalah Dewi Sri yang menjadi Dewi yang mengurus soal ini dan kesuburan bumi.

Keberadaan ketupat dalam bentuk yang sekarang merupakan adaptasi dari ketupat sompil atau ketupat kecil bentuknya sederhana dan hanya sebesar ibu jari kaki saja. Ketupat sompil ini biasa disajikan saat upacara wiwit atau memulai panen padi. Menjadi salah satu syarat sesajen untuk menghormati Dewi Sri.

Budayawan Darmanto Jatman (alm) pernah bercerita bahwa keberadaan ketupat semacam simbol auto kritik dan sportivitas.

"Ketupat itu dalam bahasa Jawa disebut Kupat. Ini bermakna Laku Papat dan Ngaku Lepat," kata Darmanto Jatman dalam sebuah obrolan santai dengan penulis, entah berapa tahun lalu.

Makan awal ngaku Lepat adalah mengakui kesalahan. Entah disengaja atau tidak disengaja. Maka ketika mengakui kesalahan sebaiknya dilakukan sambil mengingat dan jika perlu menyampaikan apa kesalahannya.

"Jadi bukan hanya basa basi, maaf lahir batin. Buka gitu. Maaf ya saya pernah salah Dengan berbohong bahwa saya.....gitu. itu akan lebih ikhlas, meski secara psikologis nanti akan berpengaruh pada lawan yang dimintai maaf. Terima atau tidak. Tapi itulah didikan auto kritik dan sportivitas," kata Darmanto.

Tak hanya itu Darmanto juga membeber tentang laku papat. Ini berkaitan dengan kebiasaan masyarakat.

Laku Papat adalah empat hal yang biasa dilakukan. Pertama adalah Lebaran. Dengan kata dasar Lebar (Jawa) yang berarti selesai. Artinya laku pertama adalah menyelesaikan kewajiban berpuasa. Lebaran bermakna menyelesaikan puasa Ramadan.

Kemudian laku kedua adalah Laburan. Dengan kata dasar Labur (Jawa) yang bermakna kapur yang biasa digunakan untuk mengecat rumah secara tradisional.

"Laburan artinya mempercantik. Mempercantik rumah, mempercantik diri dengan pakaian pantas, dan akan berpuncak pada mempercantik perilaku," katanya.

Laku ketiga adalah leburan. Dari kata dasar lebur (Jawa), laku ketiga ini mengisyaratkan adanya peleburan atau pemusnahan kesalahan. Dengan meminta maaf kesalahan akan dihapuskan.

"Leburan ini sebenarnya bisa dimaknai sebagai manunggaling kawula Gusti juga. Dalam pemahaman Jawa, orang yang sudah mencapai level tertinggi, seluruh perilakunya akan menyatu dengan yang dikehendaki Tuhan," kata penyair Bangsat ini.

 


Kita yang Sibuk

Pedagang menunjukkan cangkang ketupat di kawasan Palmerah, Jakarta, Minggu (18/7/2021). Pemberlakuan PPKM Darurat membuat penjualan cangkang ketupat jelang Idul Adha tahun ini sepi pembeli. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Laku keempat adalah Luberan. Dari kata dasar luber (Jawa) yang berarti berlimpah. Luberan ini biasanya diekspresikan dengan memberi hadiah kepada pihak lain.

"Anak-anak diberi uang saku, teman dan saudara diberi bingkisan dan lain-lain. Ini yang kemudian sering disalahgunakan dengan memberi sesuatu dengan maksud mendapatkan sesuatu. Bahasa sederhananya ya gratifikasi menumpang momentum Lebaran," kata Darmanto.

Sementara itu, di Jawa, ketupat kerap digunakan dalam berbagai upacara slametan, syukuran panen atau momen khusus seperti Sekaten atau Grebeg Mulud. Selain itu, masyarakat Jawa juga kerap menggantung ketupat di pintu masuk rumah sebagai penolak sial.

Selain alasan geografis yang memang banyak pohon kelapa, maka pemilihan janur sebagai pembungkus akhirnya juga diberi makna. Darmanto Jatman menyebut pemaknaan menggunakan ilmu "othak athik gathuk" alias sihubung-hubungkan namun memberi nilai bagus.

"Janur itu kalau dalam Jarwa Dhosok (keterangan menurut penjabaran kata dengan dikira-kira atau menurut pikiran orang yang menerangkan) artinya Sejatining Nur (kesehatan cahaya). Nah dalam bahasa Arab bisa dihubungkan dengan 'jaa a al-nur', berarti telah datang cahaya," kata Darmanto.

Nah setelah tahu maknanya, kita yang sibuk apakah masih akan terus sibuk dan hanya menikmati ketupatnya saja tanpa ada perenungan apa pun?

Rekomendasi

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya