Liputan6.com, Jakarta Setelah J-Hope, kini giliran Suga BTS menumpahkan ceritanya dalam sebuah film dokumenter. Tayang di Disney Plus Hotsta mulai Jumat (21/4/2023), film bertajuk SUGA: Road to D-Day ini tayang berbarengan dengan perilisan album terbarunya, D-Day.
Seperti bisa ditebak dari judulnya, dokumenter ini akan menyingkap perjalanan Suga dalam pembuatan D-Day, yang ternyata penuh kegelisahan. Berikut sinopsis dan review film dokumenter berdurasi 81 menit ini.
Advertisement
SUGA: Road to D-Day dibuka dengan kegamangan pria bernama asli Min Yoongi ini. Suga duduk terpekur dengan wajah tertunduk. Sejurus kemudian terdengar ia bernarasi.
“Yang membuatku khawatir saat ini, adalah tak ada hal yang ingin kubicarakan. Saat ini, tak ada apa pun…yang ingin kubicarakan…Dan ini membuatku begitu sedih,” kata dia.
Selama lebih dari satu jam kemudian, Suga BTS memang tak hanya membawa penonton dalam perjalanannya memproduksi album yang merupakan bagian terakhir dari trilogi Agust D. Ia dengan jujur mengungkap emosi-emosi negatif yang menggerogoti pemikirannya sebagai seorang seniman yang mengejar kepuasan dalam berkarya.
Namun meski menampilkan sisi melankolis Suga, bukan berarti dokumenter ini berisi kemuraman melulu. Justru sebaliknya.
Pertemuan Suga BTS dengan Musisi Dunia
Dari dokumenter ini, penggemar bisa melihat bidang musik memberikan dua dunia yang bertolak belakang kepada Suga. Yang pertama tentunya kebahagiaan. Musik tak hanya memberinya ruang untuk melakoni apa yang menyalakan api dalam jiwanya, tapi juga bertemu dengan orang-orang yang paham dengan jalan hidupnya.
Ini terlihat dari bagaimana Suga tampak begitu hidup ketika bertemu sejumlah rekan musisi. Mulai dari Steve Aoki, Halsey, hingga Anderson. Paak.
Ada kalimat mengena yang ia ungkap ketika bertemu dengan Halsey.
“Aku sadar ada orang yang tak menyukai kami. Kami ini kan boy band. Apa yang kami lakukan mungkin tak berarti bagi mereka, meski kami bekerja keras. Para bintang pop adalah orang-orang yang memahami kami, dan menerima kami apa adanya, dan tak peduli dengan kebencian yang ada. Mereka memperlakukan kami sebagaimana manusia,” kata Suga.
Advertisement
Suga BTS yang Workaholic dan Perfeksionis
Di sisi lain, sisi workaholic Suga tergambar jelas dalam dokumenter ini. Dalam satu momen, ia juga sempat mengakui bahwa ia terus menerus bekerja agar penggemarnya tak merasa bosan. Ia sendiri juga bukan orang yang betah berdiam diri, dan kerap menenggelamkan diri dalam karya-karyanya.
Lagu yang ia kerjakan pun tak hanya asal jadi, ia dengar dan poles hingga ribuan kali demi mencapai standar yang ia inginkan. Kombinasi workaholic dan perfeksionisme rupanya sempat balik menyerang Suga. Pada satu titik, ia muak mengerjakan hal ini. Bahkan ia mengaku terkadang berpikir untuk berhenti bermusik.
Pertemuan dengan salah satu idola Suga, Ryuichi Sakamoto, menjadi momen yang menarik yang humanis dalam dokumenter ini. Betapa Suga yang dielu-elukan sebagai superstar, punya idolanya sendiri yang ia teladani. Dari pertemuan ini pula, ia bertukar pikiran dengan sang legenda musik Jepang, belajar untuk terus menyalakan semangat bermusik dalam jiwanya.
Pertemuan ini jelas meninggalkan bekas mandalam kepada Suga. Tak heran, kematian Ryuichi Sakamoto paa awal April ini membuatnya begitu berduka.
Penampilan Suga Membawakan Lagu Baru
Dokumenter SUGA: Road to D-Day juga diselipkan dengan penampilan Suga dalam membawakan lagu-lagu barunya dari album D-Day. Namun penampilannya bukan sekadar untuk mempermanis tayangan ini semata, tapi juga memperkuat narasi dalam dokumenternya.
Karena pada intinya, SUGA: Road to D-Day adalah perjalanan Suga dalam pembuatan album yang merupakan hasil kontemplasi dirinya.
Kontemplasi mengenai apa yang memberinya ketenangan, pentingnya menghadapi memori buruk pada masa lalu--dan hingga pada akhirnya--bagaimana cara berdamai dengan kegelisahan.
Advertisement